Ketua LBH HAMI Baubau Beberkan Fakta Hukum Polemik Pelimpahan Aset

Ketua LBH HAMI Baubau, Apriluddin, SH

TEGAS.CO,. BAUBAU – Praktisi Hukum Apriluddin S.H mengulas terkait pernyataan Wakil Ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Buton yang menjelaskan bahwa penyerahan aset dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buton ke Pemerintah Kota (Pemkot) Baubau, harus melalui izin/persetujuan DPRD Buton serta harus berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).

Wakil Ketua I DPRD Buton dalam pernyataannya menjelaskan bahwa, terdapat tiga cara dalam penyerahan aset, antara lain, melalui hibah, pinjam pakai, dan risalah. Apriluddin menilai, jika pendapat tersebut yang selalu diulang oleh Wakil Ketua I DPRD Buton, dirasa kurang tepat.

Menurutnya, ketentuan yang harus digunakan bukanlah Permendagri Nomor 19 tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, sebab, hal tersebut tidak berkorelasi sama sekali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001 tentang pembentukan kota Baubau dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 tahun 2001 tentang pedoman pelaksanaan penyerahan barang dan hutang piutang pada daerah yang baru dibentuk.

“Jadi untuk pedoman pelaksanaan penyerahan barang dan hutang piutang pada daerah yang baru dibentuk, harusnya menggunakan dua produk hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Baubau dan secara teknis diatur melalui Keputusan Menteri Nomor 42 Tahun 2001 yang sampai saat ini kedua aturan tersebut masih berlaku dan tidak dicabut”, ungkapnya pada tim Tegas.co saat ditemui di kantornya. Minggu (17/1/2021).

“Coba kita lihat Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang pengelolaan barang milik negara/daerah, sama sekali tidak mengatur pedoman pelaksanaan penyerahan barang dan hutang piutang pada daerah yang baru di bentuk. kalau ketentuan ini yang digunakan, maka tidak akan nyambung karena dari nomenklatur hukumnya sangat jelas perbedaannya”, sambungnya.

Dikatakannya pula, jika melihat pada Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah pada Bab X titel Pemindahtanganan bagian kesatu prinsip umum pasal 329 ayat 2, maka akan ditemukan bentuk Pemindahtanganan barang milik daerah, yang meliputi :
a) Penjualan;
b) Tukar menukar;
c) Hibah;
d) Penyertaan modal pemerintah daerah.

Namun, lanjutnya, sesuai dengan fakta hukum yang terjadi, setelah lahir Undang-Undang terbentuknya kota Baubau ditahun 2001, maka akan berkonsekuensi dengan adanya penyerahan aset yang berada di kota Baubau (daerah yang baru dibentuk) sesuai dengan kehendak UU tentang pembentukan kota Baubau.

Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa hal tersebut jelas diatur pada pasal 14 ayat 1 yang bunyinya untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan kota Baubau, maka Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang terkait, Gubernur Sulawesi Tenggara, dan Bupati Buton sesuai dengan kewenangannya menginventarisasi dan menyerahkan kepada Pemerintah Kota Bau-Bau hal-hal yang meliputi :
a) Pegawai yang karena tugasnya diperlukan oleh Pemerintah Kota Bau-Bau;
b) Barang milik/kekayaan negara/daerah yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak dan barang tidak bergerak lainnya yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Buton yang berada di Kota Bau-Bau sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan;
c) Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Buton yang kedudukan dan kegiatannya berada di Kota Bau-Bau;
d) Utang-piutang Kabupaten Buton yang kegunaannya untuk Kota Baubau; dan
e) Dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh Kota Baubau.

Selanjutnya, tata cara atau pedoman penyerahan barang dan hutang piutang pada daerah yang baru di bentuk, hal tersebut tertuang pada Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2001 yang menjelaskan tentang tata cara inventarisasi dan penyerahan diatur oleh Mendagri dan Otonomi Daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sehingga, lahirlah Permandagri Nomor 42 Tahun 2001 tentang pedoman pelaksanaan penyerahan barang dan hutang piutang pada daerah yang baru di bentuk. Dimana, dalam ketentuan tersebut diatur pada Pasal 2 ayat 1, yang menyebutkan “Barang milik Daerah atau yang dikuasai dan atau yang dimanfaatkan Pemerintah Kabupaten induk yang lokasinya berada dalam wilayah daerah yang baru dibentuk, maka wajib diserahkan dan menjadi milik daerah yang baru dibentuk”.

“Jika kita melihat pernyataan dari Wakil Ketua I DPRD buton, itu sama sekali tidak ada regulasinya. Dari namanya saja beda, tentu penggunaan ketentuan hukumnya juga berbeda” jelasnya.

Lebih lanjut, sebagai praktisi hukum ia mendukung langkah Pemda Buton dan Pemkot Baubau yang akan saling menahan diri dan menyelesaikan masalah dengan tetap menjaga kondusifitas daerah.

“Harapan kami kepada Mendagri, agar menurunkan Permendagri tentang penuntasan masalah aset antara Pemkot Baubau dan Pemkab Buton agar tidak ada polemik lagi di kota Baubau”, harapnya.

Terkait opini yang dibentuk oleh Wakil Ketua I DPRD Buton yang menjelaskan bahwa kota Baubau merupakan peningkatan status dari Kota Administratif (Kotif) menjadi Kota Madya adalah pandangan keliru.

Menurutnya, dalam landasan yuridisnya, tidak ada peningkatan status Kotif Baubau, tetapi penghapusan status Kotif yang kemudian dibentuk menjadi kota Baubau sesuai Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2001. Hal ini agar masyarakat tahu bagaimana isi dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Baubau.

“Jadi jangan memplintir isi dari Undang-Undang”, pungkasnya.

Penulis: JSR

Editor : YA

Komentar