TEGAS.CO., NUSANTARA – Baru-baru ini umat dihebohkan dengan pernyataan pemerintah untuk pemanfaatan dana wakaf, ternyata sudah lama menjadi incaran. Mirisnya disaat umat Islam meminta penerapan Islam secara totalitas, penguasa menuding dengan kata radikal yang harus diwaspadai. Namun, saat dihadapi dengan kas negara yang menipis, utang negara menumpuk, mereka panik, dan menjadikan dana wakaf sebagai sasaran untuk menambah pasokan kas.
Kepala negara Indonesia Jokowi mengatakan, pemanfaatan dana wakaf perlu diperluas. Menurutnya pemanfaatan wakaf bisa dikembangkan ke tujuan sosial yang memberi dampak pada pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial. “Oleh karena itu, kita perlu perluas lagi cakupan pemanfaatan wakaf, tidak lagi terbatas untuk tujuan ibadah,” ujar Jokowi. (Kompas.Com, 25/01/2021)
Kepanikan pemerintah terhadap kas negara yang defisit, tidak lain akibat kesalahan manajemen pengelolaan uang negara, kebijakan yang tidak tepat, dan pembobolan uang negara oleh para pejabat. Persoalan yang tak mampu terselesaikan tersebut, menjadikan pemerintah melirik seluruh peluang untuk mengumpulkan uang.
Selain dana wakaf, dana haji telah lebih dahulu diselewengkan, dengan dalih diputar untuk mendapatkan keuntungan bagi jamaah. Faktanya dana haji digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Rupanya keberhasilan dari pemanfaatan dana haji membuat penguasa makin melek terhadap potensi dana umat.
Miris sekali melihat penguasa kita saat ini. Ketika terjadi bencana bertubi-tubi, para penguasa negara dengan segera menyerukan rakyat menghimpun dana dari infak, zakat, dan sedekah untuk membantu korban bencana. (JawaPos.Com, 16/01/2021)
Inilah bukti bahwa penguasa mengalihkan tanggung jawabnya kepada rakyat. Ditambah lagi dengan alasan bahwa Indonesia merupakan negara nomor satu di dunia paling dermawan. Berdasarkan World Giving Index 2018, dengan potensi wakaf dalam bentuk aset per tahun mencapai Rp. 2.000 triliun. Sementara wakaf dalam bentuk uang mencapai Rp 188 triliun. (CNNIndonesia.Com, 25/01/2021)
Menurut pengakuan Menteri Keuangan RI hingga 20 Desember 2020, wakaf tunai yang dikelola pemerintah telah dititipkan ke perbankan sebanyak Rp 328 miliar. Dana wakaf tunai itu telah digunakan oleh pemerintah untuk proyek pembangunan. Paradigma pemerintah yang sekuler kapitalis inilah yang menjadikan mereka berbuat sesuka hati terhadap peluang apapun yang berpotensi menghasilkan pundi-pundi rupiah tanpa melihat ketentuan dasar dari dalil-dalil syara’ yang mengaturnya.
Potensi wakaf umat muslim justru dimanfaatkan untuk perekonomian yang anjlok yang sebenarnya disebabkan oleh penerapan ekonomi kapitalis di negeri ini. Disaat yang sama pemerintah membiarkan kekayaan alam yang ada dikelola oleh para kapitalis yang dikuasai oleh beberapa kelompok termasuk kapitalis asing. Inilah salah satu penyebab perekonomian di Indonesia bobrok. Seharusnya kekayaan alam yang melimpah ruah di Indonesia bisa menjamin kebutuhan hidup rakyat.
Selain itu, ditambah dengan penyakit kronis korupsi yang mendarah daging menjadikan kerugian ekonomi di negeri ini semakin besar. Padahal jika dihitung, dana masuk dari pengelolaan sumber daya alam yang benar akan jauh lebih besar dari dana wakaf.
Jika kita menelaah dari hukum fiqih, wakaf tunai tidak diperbolehkan. Alasannya adalah pertama wakaf tunai tidak sesuai dengan definisi syar’i (ta’rif syar’i) bagi wakaf yang mensyaratkan tetapnya zat harta wakaf. Definisi wakaf secara syar’i adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan mempertahankan benda atau zat harta itu dengan tidak melakukan tindakan hukum (tasharuf) terhadap benda itu yakni menjual, menghibahkan dan seterusnya untuk disalurkan kepada sesuatu yang mubah atau boleh.
Adapun wakaf uang tidak memenuhi syarat tersebut, karena zat uang akan segera lenyap ketika digunakan. Berhujjah dengan definisi syar’i ini sesungguhnya telah berhujjah pada nash atau dalil syar’i. Karena definisi syar’i hakikatnya adalah hukum syar’i yang digali (diistinbat) dari nash-nash syar’i.
Kedua, wakaf tunai tidak sesuai dengan hukum asal yaitu benda atau zat wakaf harus dipertahankan zatnya. Sebab secara faktanya wakaf tunai akan lenyap zatnya. Berpegang dengan hukum asal adalah sesuatu yang yakin sedang menyalahi hukum asal yang masih diragukan, kecuali jika ada dalilnya. Kaidah fiqih menyebutkan “sesuatu yang yakin tak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Ketiga, wakaf tunai sesungguhnya lebih bersandar kepada dalil kemaslahatan (mashalih marsalah) bukanlah dalil syar’i yang mu’tabar (kuat). Inilah pendapat yang lebih kuat atau rajih mengenai wakaf tunai.
Dalam baitul mal lembaga keuangan sistem Islam, wakaf termasuk salah satu jenis pemasukan dari pos zakat. Adapun pos zakat dalam baitul mal hanya dikelola dan diperuntukkan untuk 8 golongan yang sudah ditetapkan Allah Swt dalam Al Quran. Sedangkan pembiayaan infrastruktur umum, negara atau penguasa dapat mengambil dari pos kepemilikan umum baitul mal, yang sumbernya berasal dari pengelolaan kekayaan alam.
Gambaran pengelolaan dana wakaf yang benar dapat dilihat dari bagaimana khalifah atau pemimpin dalam sistem Islam yang telah terealisasikan, seperti pada masa kekhalifahan Bani Umayyah (724-743 M) Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, beliau mengangkat Taubah bin Ghar Al-Hadhrami sebagai seorang hakim di Mesir yang menjadi perintis pengelolaan wakaf dibawah pengawasan seorang hakim. Ia juga menyediakan formulir pendaftaran khusus dan kantor untuk mencatat dan mengawasi wakaf di wilayahnya.
Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir bahkan di seluruh kawasan Islam pada masa itu. Pada saat itu juga, hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Bashrah. Sejak itulah pengelolaan wakaf berada dibawah kewenangan Lembaga Kehakiman. Keberadaan lembaga wakaf ini juga diteruskan pada pemerintahan Abbasiyah dengan membentuk sebuah lembaga wakaf yang diberi nama “Shadr Al Wuquuf”.
Ketika Shalahuddin Al Ayyubi memerintah di Mesir, ia mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada institusi agama dan sosial yang ada pada masa itu. Pada masa pemerintahan Mamluk, apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi yang paling banyak diwakafkan pada saat itu adalah tanah pertanian dan bangunan.
Pengelolaan wakaf dalam Islam ditujukan untuk kemudahan rakyat serta meraih ridho Allah Swt., diiringi dengan penguasanya mengurusi rakyat dan menjamin segala kebutuhan mereka. Bukan sebaliknya, malah memanfaatkan rakyat untuk mengambil keuntungan.
Masih banyak fakta yang terjadi pada khalifah yang mewakafkan hartanya di jalan Allah Swt., bahkan dikenal umat sebagai sosok yang sangat dermawan. Inilah bukti nyata bahwa kepemimpinan Islam (Khilafah Islamiyah) membawa keberkahan dan mensejahterakan rakyat, karena menerapkan seluruh syariat yang berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana pesan Allah Swt dalam firman Nya “Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka karena perbuatannya.” (T.QS. Al’Araf ayat 96)
Wallahu’alam bishowab.
Penulis: Siti Juni Mastiah, SE (Anggota Penulis Muslimah Jambi dan Aktivis Dakwah)
Editor: H5P
Komentar