Tiga Dekade Perjuangan Korban Pelanggaran HAM Berat Talangsari

Seorang mahasiswa saat melakukan aksi unjuk rasa pelanggaran HAM, korupsi dan tindakan sosial dan lingkungan, Jakarta, 28 Oktober 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

TEGAS.CO,. VOA – Penyintas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Talang Sari, Lampung Timur, tetap menuntut pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa berdarah tersebut melalui mekanisme hukum, meski tiga dekade telah berlalu.

“Kami korban Talangsari tidak akan pernah berhenti. Kami tetap akan menuntut. Bagaimana nasib warga kami, bagaimana nasib ibu-ibu kami. Ibu saya, setiap hari-hari seperti ini pasti shock beliau. Hari-hari ini beliau pasti ingat,” kata Nurdin, salah satu korban peristiwa pelanggaran HAM berat itu.

Iklan ARS

Nurdin yang tergabung dalam Panguyuban Keluarga dan Korban Talangsari Lampung (PK2TL) berbicara pada Minggu (7/2) secara daring dari kampungnya, bersama Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Meski memiliki beban masa lalu yang kelam, suaranya jelas dan tegas ketika menuntut hak, termasuk seruan perdamaian atau islah, yang berkali-kali disampaikan pemerintah.

“Islah itu tidak mengesampingkan proses hukum. Justru islah itu ada, ketika proses hukum sudah jelas, siapa pelakunya, proses hukumnya sudah berjalan, dan statusnya sudah menjadi ketetapan hukum yang kuat,” ujarnya.

Pelanggaran HAM Berat

Peristiwa Talangsari terjadi pada 7 Februari 1989. Saat itu tentara dari Korem Garuda Hitam 043 di bawah pimpinan Kolonel Hendropriyono, menyerbu Pondok Pesantren yang dipimpin Warsidi pukul 04.00 WIB. Usai serangan, menurut catatan KontraS, setidaknya 130 warga terbunuh, 46 orang mengalami penyiksaan, 77 orang mengalami pengusiran, dan 53 orang dirampas kemerdekaannya. Komnas HAM telah memasukkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat.

Edi Arsadad dari PK2TL menyebut, upaya menempuh keadilan terus dilakukan sejak reformasi bergulir, tetapi tidak ada langkah maju yang cukup berarti. Jokowi ketika mencalonkan diri sebagai presiden di periode pertama, menjanjikan penyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Talangsari. Namun, hingga periode kedua kepemimpinannya, kata Edi, belum ada titik terang terkait proses hukum maupun upaya pemulihan terhadap korban.

Desember tahun lalu, tim dari Kemenko Polhukam datang ke Talangsari. Mereka mengajukan lima poin kesepakatan kepada korban, untuk upaya penyelesaian masalah. Menurut Edi, dia mengusulkan satu poin tambahan agar masuk dalam draft kesepakatan.

“Hanya satu yang saya minta ditambahkan, bahwa dalam upaya pemulihan itu, kita tetap meminta proses penyelesaian kasus Talangsari tetap melalui proses yudisial, sesuai dengan UU No 26 tahun 2000,” kata Edi.

UU yang disebut Edi, adalah undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia.

Awalnya, kata Edi, anggota tim sepakat dengan usulan tersebut. Namun, lima belas menit kemudian tim pemerintah menolak permintaan penyelesaian kasus melalui pengadilan HAM itu. Pembicaraan pun tidak berlanjut sampai saat ini, karena sejak awal para korban memang meminta ada proses hukum bagi para pelaku.

Menurut Edi, pemerintah selama ini selalu mengatakan bahwa bantuan kepada korban sudah dilakukan. Namun yang ada, adalah program-program pembangunan, yang dilakukan kementerian terkait. Para korban meyakini, bahkan tanpa harus terjadi peristiwa Talangsari, program pembangunan dari pemerintah tentu akan dilaksanakan di wilayah mereka.

Minim Kemauan Politik

Fatia Maulidiyanti dari KontraS menyebut, hingga saat ini lembaga itu telah mendampingi korban Talangsari selama 23 tahun. Upaya litigasi dan nonlitigasi sudah dilakukan, tetapi belum menuai hasil.

“Namun memang tidak pernah ada kemauan politik dari pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus di Talangsari atau kasus pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia, walaupun hal-hal itu menjadi salah satu tindakan yang dijanjikan oleh pemerintah kita, melalui Presiden Joko Widodo, pada masa kampanyenya,” ujar Fatia.

Beberapa catatan yang perlu diingat dalam perjalanan kasus ini, menurut Fatia, antara lain adalah penyataan Jenderal Purnawirawan Hendropriyono pada 2014 yang menyatakan diri siap menjalami sidang pengadian HAM adhoc. Ada juga rekomendasi Ombudsman yang mengatakan terjadinya maladministrasi dalam deklarasi damai kasus pelanggaran HAM Talangsari. Kemudian hasil penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan peristiwa Talangsari adalah pelanggaran HAM berat yang harus ditindaklanjuti.

Pemerintah diakui melakukan sejumlah langkah, tetapi terasa sangat kurang karena harus disertai pemenuhan hak korban seperti jaminan tidak terulangnya kasus, pemulihan korban dan pemenuhan pemulihan psikososial bagi korban. Termasuk, kata Fatia, dalam bentuk kompensasi yang harus dilakukan pemerintah sesuai UU 26 tahun 2000.

“Jadi, yang dinamakan pemulihan itu, tidak berarti menguburkan kewajiban negara untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, karena penyelesaian kasus merupakan salah satu bentuk dari pemulihan itu sendiri,” tambahnya.

Sementara itu Zaenal Muttaqin dari IKOHI mengatakan ada yang bisa dipelajari dari kasus ini. Rencana pemerintah melibatkan militer dalam kampanye melawan terorisme, jangan sampai berakhir seperti kasus Talangsari. Apalagi, lima tahun sebelumnya juga terjadi peristiwa berdarah yang dikenal sebagai tragedi Tanjungpriok.

Menurut Zaenal, penyelesaian kasus di muka pengadilan penting untuk menunjukkan komitmen Indonesia yang mengaku sebagai negara hukum.

“Pentingnya kasus Talangsari yang sudah tiga dekade ini diselesaikan untuk menjadi pelajaran bagi semua pihak, terutama institusi keamanan, yang dimasa rejim otoritarianisme Orde Baru sering melakukan tindakan kekerasan dalam proses penegakan hukum, dalam tanda kutip,” kata Zaenal. [ns/ah]

Sumber : https://www.voaindonesia.com

REDAKSI

Komentar