Jilbab Mengancam Toleransi ?

Mariana,S.Sos ( Pemerhati Sosial dan Politik )
Mariana,S.Sos ( Pemerhati Sosial dan Politik )

TEGAS.CO., NUSANTARA – Kasus intoleransi dan Perda Syariah kembali diangkat ke permukaan, setelah viralnya salah satu sekolah di padang yang menerima pengaduan orangtua murid yang merasa terganggu dengan kewajiban menggunakan jilbab karena anaknya non muslim. Dilansir oleh ANTARANEWS.COM, 26 Januari 2021, Kasus intoleransi di sekolah, disemai oleh Peraturan Daerah.

Demokrasi yang melahirkan HAM, Liberalisme, dan Sekularisme, telah menjadikan kebingungan dan kegundahan yang bersifat permanen, disatu sisi daerah diberikan otonomi khusus untuk menerapkan kebijakan yang menjadi kultur daerahnya tapi disisi lain memberikan kebebasan berekspresi kepada individu sebagai bagian dari HAM.

Iklan Pemkot Baubau

Problem kemudian muncul manakala aturan daerah yang menjadi kekhasannya berbenturan dengan keinginan individu yang menjadi keyakinannya, lagi-lagi perda syariah menjadi sorotan. Ini menjadi bukti bahwa asas demokrasi yang menjadi pilar sekaligus pijakan bernegara telah menjadikan aturan syariah terbelenggu dan tidak akan dapat diterapkan meski daerah itu memiliki kultur keislaman yang diwariskan secara turun temurun.

Harusnya ini menjadi gambaran bagi umat Islam, bagaimanapun kerasnya berjuang untuk kebangkitan umat, demokrasi tidak akan memberikan ruang dan kesempatan untuk Islam diformalkan dalam bentuk aturan sosial dan pemerintahan. Tetap saja ada tembok pemisah yang sangat kuat yang tidak mungkin dirobohkan jika aturan itu tetap demokrasi yang melindungi HAM dan kebebasan.

Padahal HAM yang lahir dari perut Demokrasi bertentangan secara vertikal maupun horizontal dengan Islam. Demokrasi meniscayakan kebebasan, bahkan dalam ruang agama sekalipun, seseorang boleh berpindah keyakinan sesukanya, boleh menyembah apapun sebebasnya karena merupakan hak dasar yang dimilikinya.

Begitu juga dalam kehidupan sosial, Demokrasi memberikan ruang bagi tumbuh kembangnya pergaulan bebas bahkan orientasi seksual menyimpang pun mendapat tempat, tata busana dan cara berpakaian pun diserahkan pada hak masing-masing individu, negara dan aturannya tidak boleh melarang seseorang mengenakan pakaian sesuai keinginannya bahkan jika itu mempertontonkan tubuh yang seharusnya ditutupi.

Bahkan dalam kepemilikan, demokrasi meniscayakan manusia untuk bebas menguasai apapun sesuai dengan modal yang dimilikinya, maka tidak heran jika laut, pulau, hutan, daratan, gunung dan lainnya telah dikuasai oleh para pemilik modal, belum lagi dengan kebebasan berpendapat, menghina dan merendahkan sekalipun diberikan ruang sebab hal itu adalah hak dasar manusia.

Demokrasi telah memberi sekat yang sangat dalam bagi intervensi agama di ranah Publik, agama tidak boleh mencampuri interaksi dalam masyarakat, begitupun dalam bernegara, Agama hanya ditempatkan pada ruang privasi masing-masing individu, sebab agama itu hanya sebatas hubungan manusia dengan Penciptanya.

Maka sekularisme menjadi asas dari keberlangsungan hubungan manusia dengan manusia lainnya, bahkan dalam setiap aturan yang dikeluarkan, terkadang agama hanya dijadikan manfaat untuk keuntungan kekuasaan tapi ketika agama menyentuh masyarakat dan dijadikan dasar dalam pendidikan maka segeralah keluar ayat tentang HAM, bahkan tidak sungkan Intoleransi dan radikal menjadi permainan untuk memojokkan Islam.

Padahal ketika agama dijauhkan dari ranah publik termasuk dalam kehidupan politik, ekonomi maupun pendidikan, nyatanya moralitas masyarakat maupun pejabat publik semakin amburadul dan jauh dari kata bermoral.

Menerima demokrasi untuk memperjuangkan Islam hanya akan menambah luka yang tidak akan pernah sembuh, kaum muslim akan terus menjadi korban bullying dan persekusi serta terus dihantui dengan beban psikologis karena memperjuangkan Islam secara benar.

Pada akhirnya kaum muslim yang berjuang dengan mengambil jalan demokrasi, akan dihinggapi dengan kelelahan yang berakhir dengan jumud dan apatis karena merasa terus menerus menjadi korban meskipun secara keyakinan mereka telah melakukan hal yang sesuai dengan syariat.

Kaum muslim yang berharap sembuh dan dapat bangkit dari sakit kronisnya dengan berobat menggunakan resep demokrasi hanya akan berakhir dengan kesia-siaan, sakit yang dideritanya akan semakin kronis sebab demokrasi adalah obat bius sekaligus racun, yang memberi kenyamanan temporal, setelah biusnya hilang maka racun pun bereaksi melumpuhkan setiap organ tubuh, jika tidak segera menemukan obat yang manjur maka tubuh umat Islam benar-benar akan binasa dan tidak akan dapat tegak lagi.

Bagaimanapun upaya yang dilakukan untuk menyatukan Islam dan demokrasi tetap saja islam dan demokrasi saling bertentangan yang tidak akan pernah dapat dipersatukan, memaksakan Islam bersanding dengan demokrasi adalah sebuah bentuk pengkhianatan dan penghinaan terhadap nilai-nilai Islam yang agung.

Karena itu berhentilah berharap pada demokrasi untuk memuliakan Islam dan kaum muslim, sebab itu tidak akan pernah terjadi, demokrasi adalah dekorasi Indah di atas lumpur yang penuh ular berbisa.

Menuduh syariah Intoleransi dan merusak keragamanan adalah argumentasi keliru dan tidak pernah terbukti secara nyata, hal itu dapat dibuktikan dengan kejayaan Islam sejak masa Rasulullah hingga para Khalifah Rasyidah, Islam terbukti mampu menyatukan berbagai ras, suku bangsa, agama, budaya dan lainnya.

Keberagaman adalah sesuatu yang sunnatullah tidak dapat ditolak dan tidak dapat dinafikan, dengan syariah dan Rezim yang kapabel serta amanah maka keberagaman itu dapat dipersatukan, justru dengan keberadaan syariah, konflik yang terjadi di masyarakat dapat diredam, sebab syariah itu bersumber dari Pencipta manusia, maka tentulah membawa kebaikan bagi manusia itu sendiri, sebab yang paling mengetahui manusia adalah yang menciptakannya.

Hanya saja Islam dengan aturannya harus satu paket dengan kekuasaan, tidak dapat dipisahkan sebab pemisahan hanya akan menjadikan nilai-nilai Islam tampak kecil dan tidak mempesona bahkan bisa jadi Islam akan terus menerus disudutkan dengan kata dan narasi kasar yang tidak mendasar.

Padahal Allah S.W.T Pencipta manusia dengan tegas menyatakan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir, zalim atau fasik ( QS Al-Maidah: 44, 45 dan 47).

Ayat ini sesungguhnya menjadi legitimasi bahwa syariat adalah satu-satunya yang layak untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara, sebab otoritas pembuat hukum hanyalah hak Allah, tidak boleh diserahkan pada akal manusia yang lemah dan terbatas. Menolak syariah berarti menolak Allah sebagai pengatur kehidupan manusia, apalagi sampai menuduh dan merendahkan nilai-nilai syariah sama saja dengan menghina Allah SWT.

Jilbab dan kerudung adalah bagian ajaran Islam, bagi perempuan yang sudah balig maka ada taklif atau beban hukum untuk mengenakannya sebab merupakan kewajiban yang tidak bisa dikompromikan, sebagaimana QS. Al-Ahzab: 59 “ …Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,…”, juga QS. An-Nur: 31 “…dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,…”.

Bagi non muslim maka ada pakaian khas yang akan mereka gunakan sebagai ciri dari keyakinan mereka dan negara akan mengaturnya dalam batasan yang tidak melanggar syariah sehingga kehormatan, agama dan akal masyarakat dapat terjaga. Islam akan mencegah kebebasan berekspresi yang berpotensi melanggar syariah apalagi jika menjadi pemicu rusaknya moralitas masyarakat.

Maka keberadaan Syariah Islam sangat urgen dan mendesak untuk segera diterapkan, bukan hanya sebatas perda tetapi menyeluruh pada seluruh lapisan kehidupan hingga menjadi aturan universal untuk seluruh manusia, bangsa, suku, ras, agama, budaya dan lainnya.

Bagi yang suka nyinyir tentang syariah tentulah karena ketidakpahaman ataukah karena telah terbiasa hidup dalam jeruji kedunguan dan menjadi broker Liberalisme Sekuler. Wallahu a’lam.

 

Penulis: Mariana,S.Sos ( Pemerhati Sosial dan Politik )

Komentar