TEGAS.CO., SULAWESI TENGGARA – Di tengah deretan musibah yang menimpa negeri, publik dikejutkan dengan isu intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang yang memang sudah sejak lama membuat peraturan seragam berhijab untuk siswi non-muslim. Menanggapi kontroversi yang terjadi, Kepala sekolah SMKN 2 Padang Rusmadi mengatakan, “Secara keseluruhan, di SMKN 2 Padang, ada 46 anak (siswi) non-muslim. Semuanya mengenakan kerudung seperti teman-temannya yang muslim. Senin sampai Kamis, anak-anak tetap menggunakan kerudung walaupun non-muslim.” (Detik.com, 23/1/2021)
Beberapa siswi non-muslim turut memberi kesaksian, bahwa mereka tidak keberatan mengenakan hijab di sekolah dan mereka mengaku tidak ada unsur paksaan untuk memakainya. Salah satu siswi non-muslim bernama Eka menambahkan, “Aturan seperti ini (memakai jilbab) atribut saja, hanya sebagai identitas saya sebagai pelajar SMKN 2 Padang. Tidak ada kaitannya dengan iman,” kata Eka pada wartawan. (Republika.co.id, 25/1/2021)
Tokoh-tokoh daerah kota Padang juga turut bersuara tentang aturan seragam sekolah di daerahnya, seperti eks wali kota Padang, Fauzi Bahar, yang mengatakan bahwa aturan mewajibkan siswi berhijab bukanlah hal baru. Aturan itu sudah lama sekali, berlaku sejak 15 tahun lalu dan tujuannya untuk melindungi kaum perempuan. Dia heran, kenapa baru sekarang diributkan? (Detik.com, 23/1/2021).
Isu intoleransi ini begitu cepat berkobar. Bahkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim langsung memberikan instruksi untuk menjatuhkan sanksi kepada pihak sekolah. Tanpa meninjau terlebih dulu untuk mencari kebenaran berita di lapangan. Padahal ada banyak masalah serupa yang pernah terjadi di negeri ini. Misalnya, pada tahun 2014 terjadi pelarangan siswi berhijab di hampir seluruh sekolah di Bali.
Namun beritanya tak seramai sekarang, sehingga terkesan adanya ketimpangan dalam menyikapi kasus intoleransi di tengah masyarakat. Bila yang diduga melakukan adalah umat Islam maka berbagai reaksi dan kecaman dilayangkan. Namun, bila yang menjadi sasaran intoleransi adalah umat Islam, beritanya akan diredam dan tenggelam. Tidak ada pembelaan atas nama HAM, tidak ada teriakan intoleransi yang menggema di seluruh negeri.
Namun umat Islam harusnya sudah paham, memang begini kondisi umat sejak runtuhnya Khilafah. Khilafah Islamiyyah yang menaungi seluruh umat Islam, dengan menerapkan syari’at Islam untuk mengurus urusan umat. Di bawah naungan Khilafah umat Islam berjaya dan dapat menjalankan syari’at dengan bebas.
Bahkan, umat diharuskan menaati kewajiban yang ditetapkan oleh syariat termasuk hal menutup aurat. Wanita Muslimah harus menutup aurat secara sempurna. Sedangkan wanita non-muslim dalam wilayah kekhilafahan juga diperlakukan sama. Sebab hal itu ditujukan untuk melindungi dan menjaga kemuliaan wanita. Kecuali bagi para pemimpin agama mereka, dibolehkan memakai pakaian khusus yang ditetapkan agamanya.
Meski demikian tidak ada dari kalangan non-muslim yang merasa keberatan berpakaian layaknya Muslimah. Karena mereka paham bahwa pakaian itu adalah pakaian kehormatan. Keadilan Khalifah dalam meriah seluruh umat yang dipimpinnya, tidak memandang perbedaan ras, suku, dan agama.
Sehingga umat non-muslim pun merasakan kehidupan yang aman, tenteram dan sejahtera. Bahkan, bukan hanya non-muslim yang berada di wilayah kekhalifahan. Di seluruh dunia termasuk di benua Eropa dan Asia para bangsawan dan masyarakat menjadikan pakaian muslim sebagai trendsetter.
Tapi saat ini yang terjadi justru sebaliknya, bangsa barat dengan ideologi kapitalismenya tengah menguasai dunia. Sebagaimana fitrah kehidupan, siapa yang berjaya akan menjadi magnet bagi peradaban. Tak terkecuali bagi negeri-negeri kaum muslimin.
Syariat jilbab yang menjadi pakaian kehormatan dan diikuti umat agama lain, kini sering dilecehkan. Sering dilabeli sebagai pakaian teroris, radikal, dan ekstremis. Bahkan oleh sebagian orang yang mengaku beragama Islam. Mereka dengan lantang berani mengatakan jilbab bukan kewajiban melainkan budaya Arab.
Sungguh ironi, namun inilah yang sedang terjadi. Maka umat Islam tidak boleh terpengaruh dengan berbagai propaganda. Harus konsisten dalam menjalankan syariah-Nya. Selain itu harus menyadari bahwa untuk merubah keadaan ini umat Islam membutuhkan naungannya kembali, yaitu Khilafah Islamiyah yang akan menegakkan syariah secara kaffah.
Penulis: Oktavia Tri Sanggala Dewi, S.S., M.Pd (Aktivis Dakwah Islam, Jambi)
Editor: H5P
Komentar