Membaca Konflik Partai Demokrat

Oleh: M. Zainal Arifin Ryha

Oleh: M. Zainal Arifin Ryha

Seminggu terakhir, ruang publik disesaki oleh berita serta respon publik terhadap kisruh yg menimpa Partai Demokrat (PD), terutama setelah perhelatan KLB di Sibolangit Deli Serdang yg melahirkan dualisme kepengurusan antara kubu hasil kongres Jakarta tahun lalu yg dipimpin AHY (plus sang ayah SBY) dan seterunya, kubu hasil KLB yg dipimpin Moeldoko.

Publik terbelah. Sebagian menilai langkah yg dilakukan kubu KLB tidak hanya cacat yuridis, tapi juga cacat moral terutama dengan pelibatan Moeldoko, seorang pejabat tinggi di lingkaran dalam istana yg melahirkan tuduhan penyelenggaraan KLB tsb sebagai kudeta terhadap kepemimpinan partai yg sah. Sebagian lagi menilai pelaksanaan KLB itu adalah keharusan sebagai langkah penyelamatan partai dari praktek-praktek pengeloalaannya yg tidak demokratis karena sepenuhnya bertumpuh pada hegemoni oligarki Cikeas.

Respon yg sangat keras salah satunya datang dari peneliti dan pengamat politik Saiful Mujani (SM). Menurutnya, fenomena ini baru pertama kali terjadi dalam politik Indonesia dimana seorang pejabat negara yg berasal dari eksternal PD melakukan kudeta terhadap kepemimpinan PD yg sah. Bagi direktur SMRC itu, fenomena ini adalah puncak dari kemunduran demokrasi kita yg disinyalir mengalami backsliding belakangan ini.

Sejak lama saya sudah mengidolakan senior saya SM sebagai penulis dan pemikir kaliber yg independen serta tajam analisisnya. Tapi kali ini sepertinya dia agak baper. Maklum dia adalah konsultan politik pemenangan SBY pada pilpres 2009 dan merekomendasikan Boediono sebagai Wapres. Sebagaimana kaidah ilmiah, agak sulit untuk bersikap objektif kalau tidak ada jarak antara subjek yg menilai dengan objek yg dinilai.

Membaca konflik yg menimpa PD saat ini harus utuh, dimulai dengan memahami gambar besarnya untuk dapat memahami konteks dari peristiwa yg terjadi. Tidak bisa hanya melihat sepotong-sepotong misalnya dari peristiwa KLB-nya saja, lantas membuat simpulan pihak mana yg benar dan siapa yg salah.

Dari sudut pandang moral, saya setuju dengan penilaian bahwa Moeldoko layaknya pembunuh berdarah dingin. Tapi sejak kapan moral terwadahi dalam politik Indonesia?

Saya lebih suka melihat fenomena ini dari sudut internal PD yg dititipi amanah oleh 7 prosen lebih rakyat Indonesia untuk diartikulasikan aspirasinya sehingga atas dasar itu PD harus diselamatkan sebagai aset bangsa di bidang politik.

Sayangnya hal itu tidak jadi konsen para pihak terutama elemen-elemen partai yg lebih asyik dengan jabatan masing-masing, seolah itu diperoleh dari _creatio ex nihilo,_ dan bukan atas amanat pemderitaan rakyat. Saya kira ini yg harusnya jadi konsen kita dibanding menjadi wasit moral terhadap para aktor politik yg sedang bertarung.

Mengutip pernyataan Ray Rangkuti beberapa hari lalu di TV One, fenomena PD saat ini adalah buah dari apa yg ditanam SBY sendiri saat kongres PD tahun lalu. Bahkan banyak yg berpendapat ketidakpuasan yg melahirkan benih-benih perpecahan sudah muncul di internal PD sejak SBY “kudeta” Anas Urbaningrum dari posisi Ketua Umum PD, meski ketidakpuasan itu masih bisa diredam dan tidak sampai menyeruak kepermukaan karena kuatnya posisi SBY sebagai presiden kala itu.

Kalau kata Prof. Salim Said, SBY salah menghitung ketika mewariskan jabatan Ketua Umum PD ke anaknya yg baru melek politik. AHY yg lugu dan under estimet terhadap kekuatan oposan di internal partainya. Dan Moeldoko yg salah menghitung ketika mengambil alih jabatan Ketua Umum PD dari tangan AHY. Mereka semua seakan tidak cermat dalam kalkulasi politiknya.

Hemat saya, fenomena KLB yg memunculkan Moeldoko di pucuk pimpinan PD adalah fenomena rental politik, ada yg menjual, ada yg membeli. Keluar masuk partai dan tanduk menanduk adalah hal yg sudah dianggap lazim dalam praktek politik Indonesia saat ini.

Soal siapa yg akan jadi pemenang dari dua kubu yg sedang berseteru dan bagaimana skenario akhir dari lakon konflik PD ini, masih sulit untuk diprediksi. Sangat mungkin PD akan pecah jadi dua atau malahan bubar.

Masalahnya karena karakter PD adalah partai massa yg orientasinya hanya untuk kekuasaan semata. PD bukan partai ideologis seperti PPP atau PDIP.

Pada partai ideologis, segenap anggota, terutama para fungsionarisnya sudah punya konsensus terhadap hal-hal mendasar menyangkut dasar, arah dan tujuan berhimpun di partai. Maka jika terjadi konflik seringkali hanya bersifat permukaan, tidak sampai menyentuh hal-hal mendasar menyangkut eksistensi partai sehingga mudah dicapai konsensus.

Sebaliknya, di partai massa seperti PD tidak terdapat ideologi partai yg berfungsi mengonsolidasi dan mengorientasikan segenap arus tindakan dari seluruh elemen partai. Akibatnya, konflik yg terjadi sering kali bersifat mendasar dan destruktif.

Berebut legalitas di Kemenkumham memang penting bagi kedua kubu yg bertikai. Tetapi memperoleh legitimasi publik terutama konstituen itu jauh lebih penting. Dalam konteks ini, antara legalitas dan legitimasi adalah dua hal yg berbeda.

Perpecahan yg melanda PDI dahulu misalnya, kubu Soerjadi yg memperoleh legalitas dan didukung sepenuhnya oleh rezim orde baru, tapi karena tidak mendapatkan legitimasi publik, pada akhirnya harus tumbang dan memunculkan PDIP yg dipimpin Megawati sebagai pemenangnya.

Adalah keliru kalau SBY memposisikan diri sebagai figur sentral di PD layaknya Megawati di PDIP. Megawati adalah simbol ideologi di PDIP. PDIP tanpa Megawati (trah Soekarno) bukan PDIP namanya. Sementara SBY hanyalah ikon partai yang ketokohannya bersifat sementara.

Maka siapa pun yg nantinya akan jadi pemenang dari konflik PD ini pada akhirnya hanya akan mewarisi partai yg telah berkeping-keping. Ujung-ujungnya, rakyat juga yg terlanjur menitipkan amanah untuk diperjuangkan oleh PD yg jadi korbannya. Wallahu a’lam.

#SalamKopiPagi

PUBLISHER: MAS’UD

Komentar