Panitera Pengganti Tertangkap Pakai Sabu, Bukti Negara Butuh Islam

Hamsia (komunitas peduli umat)
Hamsia (komunitas peduli umat)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Narkoba ibarat air di tepi sungai yang terus mengalir yang tidak akan pernah kering, karena narkoba bukan hanya menjerat masyarakat biasa tapi para aparat pun ikut terjerat dengan barang haram tersebut.

Masih sangat jelas dalam benak kita kasus narkoba menjerat kalangan penegak hukum. Seorang anggota Polres Natuna, Kepulauan Riau, pada Rabu (23/1) ditangkap Opsnal Polres Rokan Hulu saat ingin melakukan transaksi narkoba jenis sabu-sabu di Wisma Putri Melayu, Desa Pematang Tebih, Ujung Batu (tribunnwes.com)

Dan kini, kasus narkoba kembali menjerat salah satu panitera pengganti di Pengadilan Negeri (PN) kelas IA Kendari menjadi perhatian sejumlah kalangan. Salah satunya dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Anti Narkotika (Granat) Sulawesi Tenggara (Sultra), Laode Muhammad (LM) Bariun.

Penangkapan dan pengungkapan kasus yang ditengarai Ditresnarkoba Polda Sultra ini, kata LM Bariun, oknum PN kelas IA Kendari tersebut telah mencederai lembaga penegak hukum itu. Pasalnya, berdasarkan penyampaian Ketua PN Kelas IA Kendari, lanjut dia, perkara yang dilimpahkan ke PN pada 2020 itu didominasi kasus narkoba. DETIKSULTRA, (3 Maret 2021).

Makin akutnya kejahatan narkoba, disebabkan penanganan yang salah dan penegakan hukum yang lemah serta hukuman yang tidak memberikan efek jera. Di satu sisi penyalahgunaan narkoba dipandang sebagai kriminalitas, tapi di sisi lain seorang pengguna yang jelas-jelas menyalahgunakan narkoba justru dianggap bukan pelaku kriminal. Hanya produsen dan pengedar yang dikriminalkan.

Akar Masalah

Penanggulangan narkoba tidak akan pernah tuntas ketika sistem belum berubah. Karena sistem kapitalis sekuler lah akar persoalan peredaran narkoba, hingga menjerat aparat penegak hukum. Jaringan narkoba berawal dari perdagangan luar negeri yang tidak ada filter. Perjanjian dagang dan kerja sama awal dari peredaran narkoba masuk ke dalam negara. selama masih ada yang membuka jaringan, maka peredaran itu akan tetap ada meski berbagai pelaku telah ditangkap.

Padahal, bukankah tidak akan ada penawaran jika tidak ada permintaan? Bukankah pengguna narkoba mengonsumsinya atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan? Lalu di sisi mana mereka bisa dianggap sebagai korban? Sementara peraturan tentang rehabilitasi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika tumpang tindih. Pasal 54 menyatakan, pecandu narkotika dan koran penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sementara Pasal 127 memerintahkan, setiap penyalahgunaan narkotik golongan I hingga III dipidana penjara.

Hukuman yang dijatuhkan dalam kasus narkoba yang tidak memberikan efek jera makin memperparah masalah. Sejumlah terpidana narkoba justru menikmati perlakuan istimewa di dalam rutan. Sebagian lagi mendapatkan keringanan hukuman. Dari 57 terpidana mati kasus narkoba, Mabes Polri malah mendapati terpidana mati kasus narkoba mendapatkan keringanan hukuman. Jangankan membuat jera orang lain, orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Maka, keinginan mejadikan Indonesia bebas narkoba, adalah bak jauh panggang dari api. Karena apa yang dilakukan seperti penegakkan benang basah.

Pesatnya kejahatan narkoba sebenarnya buah dari sistem sekularisme-kapitalisme yang dengan standar manfaatnya melahirkan gaya hidup hedonisme, gaya hidup yang memuja kenikmatan jasmani. Doktrin liberalismenya mengajarkan, setiap orang harus diberi kebebasan mendapatkan kenikmatan setinggi-tingginya. Maka contoh akibatnya, tempat-tempat hiburan malam yang sering erat dengan peredaran narkoba makin marak dan tidak bisa dilarang. Dan dengan dibingkai oleh akidah sekularisme yang meminggirkan agama, maka sempurnalah kerusakan itu. Tatanan kemuliaan hidup masyarakat pun makin terancam. Maka jelaslah bahwa akar masalah narkoba itu adalah pandangan hidup sekularisme kapitalisme.

Bahkan sistem hukum saat ini sendiri tidak padu. Di satu sisi, hukuman mati terhadap pelaku kejahatan pengedaran narkoba diharapkan bisa menekan maraknya kejahatan narkoba. Di sisi lain, sistem hukum yang sama menilai pengguna narkoba tidak mesti dijatuhi hukuman, tetapi cukup direhabilitasi. Hal itu tidak lagi menjadi pencegah orang untuk mengonsumsi narkoba. Dengan begitu, pasar bagi narkoba akan tetap ada, bahkan cenderung membesar. Jika ada permintaan maka akan ada pihak yang terdorong untuk memenuhi permintaan itu, apalagi jika harganya tinggi. Karena itu hukuman mati terhadap pelaku kejahatan pengedaran narkoba saat ini sulit diharapkan akan bisa efektif menekan angka kejahatan narkoba.

Solusi Dalam Islam

Sistem Islam sebagai satu kesatuan akan efektif mengatasi masalah kejahatan di masyarakat. Pertama: Islam mewajibkan negara untuk tanpa henti membina keimanan dan ketakwaan rakyat. Keimanan dan ketakwaan itu akan menjadi faktor pencegah sangat efektif dalam diri sesorang yang bisa mencegah dia dari melakukan kejahatan apa pun bentuknya.

Kedua: sistem ekonomi Islam akan bisa mendistribusikan kekayaan negeri secara merata dan berkeadilan kepada seluruh rakyat. Jika ada yang luput oleh mekanisme ekonomis, maka Islam mewajibkan pemenuhan kebutuhan pokok dijamin melalui mekanisme non-ekonomis. Islam mewajibkan negara mewujudkan hal itu. Dengan begitu, alasan ekonomi tidak lagi menjadi faktor yang orang melakukan kejahatan.

Ketiga: Jika dengan semua itu masih ada orang yang melakukan tindak kriminal, maka sistem sanksi (‘uqubat) Islam akan menjadi palang pintu terakhir yang efektif memberi efek jera yang bisa mencegah terjadinya kejahatan. Dalam kasus narkoba, Islam dengan tegasmengharamkan narkoba. Orang yang mengonsumsi narkoba berati telah melakukan kemaksiatan atau tindakan kriminal. Ia bisa dijatuhi sanksi ta’zir yang jenis dan kadarnya diserahkan kepada khalifah atau qadhi. Bagi pengedar narkoba, sanksi ta’zir-nya lebih berat, bahkan bisa sampai hukuman mati dengan memperhatikan tingkat dan dampak kejahatan itu bagi masyarakat.

Sifat memberi efek-jera yang bisa mencegah orang untuk melakukan kejahatan, bukan hanya dimiliki oleh hukuman qishash saja, melainkan ada pada seluruh sanksi hukuman dalam Islam. Efek jera akan efektif, sebab pelaksanaan eksekusi atas sanksi itu dilakukan secara cepat, tidak tertunda lama sejak diputuskan dan tidak berlarut-larut. Dalam Islam, vonis yang dijatuhkan pun harus segera dieksekusi. Kasih sayang terhadap pelaku tidak boleh menghalangi pelaksanaan hukum Allah SWT. Dengan dekatnya waktu pelaksanaan vonis dan eksekusi maka masyarakat jelas masih ingat pelaku itu dihukum atas kejahatan apa. Efek jera atas kejahatan serupa pun kuat terbentuk. Efek jera ini makin efektif karena Islam mensyariatkan pelaksanaaan sanksi hukuman itu tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi harus dilakukan secara terbuka, bisa disaksikan oleh masyarakat, sebagaimana yang diharuskan dalam pelaksanaan hukuman bagi orang yang berzina (QS an-nur [24]: 2).

Namun, harus diingat bahwa semua kebaikan itu hanya bisa terealisasi manakala seluruh sistem Islam termasuk sistem sanksi ‘uqubt diterapkan secara total. Hal itu akan bisa diwujudkan melalui penerapan syariah secara total. Wallahu a’lam bis shawwab.

Penulis: Hamsia (komunitas peduli umat)
Editor: H5P

Komentar