Fakta dan Interpretasi

M. Zainal Arifin Ryha ( Pemerhati sosial dan mantan Ketua Umum HMI Cabang Makassar)
M. Zainal Arifin Ryha ( Pemerhati sosial dan mantan Ketua Umum HMI Cabang Makassar)

TEGAS. CO., NUSANTARA – “Tidak ada yang namanya fakta, yang ada cuma interpretasi,” ujar Friedrich Nietszche, filsuf Jerman pelopor mazhab nihilisme.

Jika demikian. “Saya bertanya kepada Anda, bagaimana kita harus membaca Nietszche. Sebagai fakta atau sebagai interpretasi?” tanya filsuf kondang Karlina Supelli di awal presentasinya yang memukau pada ‘Nurcholish Madjid Memorial Lecture’.

“Kalau kita tafsirkan itu sebagai fakta, itu kan interpretasi Nietszche terhadap fakta. Kalau kita tafsirkan itu sebagai interpretasi, ya sudah, itu memang interpretasi dia. Apa pun pilihannya, kita jatuh pada binkesma,” tandas dosen filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta itu.

Jika saya berada diantara keduanya, saya pun akan bertanya, apa sesungguhnya yang dimaksud fakta?

Bukankah definisi berupa seperangkat rumusan yang membentuk pengertian kita terhadap objek, sejatinya adalah sebuah konsepsi yang bersifat antroposentris?

Bukankah sebilah kata sebagai abstraksi dari realitas adalah lambang atau representasi (sign of reality) sehingga dimungkinkan memiliki selisih atau jarak substansial dan eksistensial dari realitas yang dilambangkannya?

Ilustrasi di atas menggambarkan betapa tidak mudah memilah antara fakta dan interpretasi. Akibatnya kita sering kali tergelincir, menganggap interpretasi sebagai fakta. Kita pun baur menentukan mana yang benar-benar dalil dan mana yang sekedar dalih. Mana landasan dan mana pembenaran.

Fenomena semacam ini begitu gamblang terlihat pada berbagai konten dari unggahan yang ramai berseliweran di media digital seiring sengkarut politik akhir-akhir ini.

Betapa tidak. Di Jagad lini maya seseorang bisa dituding menjadi komunis dan neolib pada saat bersamaan. Dituduh sebagai aparatus marhaenisme sekaligus menjadi antek para cukong borjuis. Didakwa mengintegrasikan ekonomi nasional ke dalam ekonomi pasar global yang kapitalis-liberal di satu sisi, dan di sisi lain merintis sebuah rezim pemerintahan yang etatis dan otoriter secara bergandengan.

Jujur, saya menjadi begitu kebingungan untuk bisa memahami realitas sosial semacam ini jika diasumsikan segenap tuduhan di atas sebagai sesuatu yang faktual dan benar adanya. Bagaimana harus merumuskan basis teoretis yang mampu menjelaskan realitas sosial paradoksal ini?

Mungkin kah terjadi semacam penyatuan organik antara dua konsepsi yang secara paradigmatis bersilangan dimana yang satu merupakan Anti Tesa dari yang lainnya, dan saling menegasikan secara teoretis? Mungkinkah menggabungkan konsep “kiri” dan “kanan” tanpa praksis dan landasan epistemologi?

Ataukah yang sedang terjadi di Indonesia saat ini adalah semacam anomali sosial sedemikian rupa acak sehingga tidak mungkin bisa dibaca dari kaca mata teori yang tersedia, pun yang sudah dipandang aksiomatis selama ini?

Jangan-jangan justru teori-teori tersebut memang selayaknya sudah harus diupgrade, karena ternyata sudah tidak lagi memadai, minimal untuk menjelaskan realitas sosial kontemporer tanah air?

Payah sudah saya mencari-cari referensi pada berbagai literator kalau-kalau bisa menemukan basis teoretis serta empiris realitas sosial ambigu semacam ini dalam lintasan sejarah peradaban manusia, tapi belum juga bertemu.

Ah, jangan-jangan yang sesungguhnya terjadi adalah term-term dimaksud telah mengalami distorsi akibat partikularisasi seiring tendensi politik yang menyertainya.

Jangan-jangan apa yang kita rangkai dan maknai sebagai realitas sosial itu, sejatinya adalah realitas imajiner. Sebentuk socially constructed yang kelahirannya dirangkai dari creatio ex nihilo oleh para “setan gundul” (meminjam istilah Andi Arief yang cukup populer belakangan ini), agen yang mendominasi politik dan ekonomi terhadap masyarakat sipil yang berpretensi mengelabui seluruh anak bangsa demi kepentingan politik tertentu.

Sebuah bayangan tanpa sosok yang menjadi teks sepenuh-penuhnya tanpa pernah mengacu, bahkan tidak membutuhkan realitas di luarnya. Bayangan yang telah menjadi simulasi hyperriel yang lebih riil dari realitas itu sendiri.

Beberapa waktu lalu seorang senior yang jadi mentor saya di HMI semasa jadi aktivis mahasiswa di Makassar dulu, memberi nasehat lewat pesan singkat, “Hargai akal sehat dan rawatlah selalu hati nurani,” tegasnya mencoba menepis kegalauan saya.

Di kesempatan lain seorang sahabat perempuan, doktor sosiologi yang cerdas serta lembut dan jadi teman bergaul pemikiran semenjak kuliah di Makassar dulu hingga kini, mengirim sebuah pesan whatsapp dari Portland Amerika Serikat tempat dia stay dan menginfakkan ilmunya kini. “Ilmu saya tak lagi memadai untuk menjelaskan fenomena politik bunyi-bunyian di tanah air saat ini. Jadi, mari menyanyi, kanda,” tulisnya disertai postingan sebuah lagu, Elegi Esok Pagi dari Ebiet G. Ade.

Mungkin positioning dari kedua sahabat di atas layak dijadikan contoh pilihan-pilihan sikap yang mesti diambil menghadapi cuaca politik kita yang tidak menentu akhir-akhir ini.

Ah, saya sudah ingin mengakhiri catatan kecil ini, tapi tiba-tiba saya mulai kuatir lagi. Jangan-jangan saya terlalu cepat membuat simpulan. Bukankah realitas itu bertakik-takik dan tak terbatas?

Pikiran kitalah yang terbatas untuk memahaminya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Penulis: M. Zainal Arifin Ryha ( Pemerhati sosial dan mantan Ketua Umum HMI Cabang Makassar)
Editor: H5P

Komentar