OLEH
GUSWAN HAKIM
Dosen FH UHO dan Ketua Tim Rancangan Keputusan DPP LAT tentang pelarangan membawa Taawu dalam demontrasi maupun unjuk rasa.
Prolog
Unjuk Rasa atau Demonstrasi adalah merupakan salah satu wujud kebebasan dalam menyampaikan pendapat yang merupakan implementasi dari demokrasi Pancasila yang dianut oleh negara Indonesia. Demonstrasi merupakan salah satu kegiatan menyampaikan aspirasi atau menentang kebijakan suatu pihak, baik itu organisasi/perusahaan atau pemerintah, dimana kegiatan tersebut merupakan upaya penekanan secara politik yang dilakukan oleh pihak tertentu yang memiliki kepentingan. Di Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya wilayah daratan yang mayoritas penduduknya adalah suku Tolaki, demontrasi adalah hal yang sering dilakukan oleh para pemuda Tolaki baik dari Suku Tolaki Konawe maupun suku Tolaki Mekongga dalam menuntut keadilan dan kesetaraan dengan suku-suku lainnya di Indonesia maupun tuntutan dalam pengelolaan kekayaan sumber daya alam di wilayah adat mereka.
Hampir setiap melakukan Unjuk Rasa atau Demonstrasi para ormas pemuda Tolaki selalu membawa parang Pusaka Taawu sebagai kelengkapan mereka pada saat unjuk rasa atau demontrasi. penyertaan parang Pusaka Taawu dalam setiap unjuk rasa atau Demonstrasi telah menimbulkan rasa prihatin dan was-was terutama masyarakat yang bukan orang Tolaki yang sering melewati tempat-tempat unjuk rasa karena sering juga peserta unjuk rasa melakukan rasia kepada pengendara bermotor, keadaan ini telah menimbulkan polemik di masyarakat maupun pihak kepolisian daerah Sulawesi Tenggara, apakah parang Pusaka Orang Tolaki (Taawu) dapat dibawa pada saat unjuk Rasa atau Demontrasi, dengan demikian diperlukan kajian menurut Hukum adat Tolaki tentang membawa parang pusaka Taawu dalam demontrasi atau unjuk rasa.
Pembahasan
Hukum adat Tolaki
Hukum adat Tolaki adalah seperangkat norma yang sebagian besar tidak tertulis yang mengatur prilaku orang Tolaki Baik Suku Tolaki Konawe maupun Suku Tolaki Mekongga yang bersumber dari adat istiadat Suku Tolaki. Hukum adat adalah merupakan hasil dari Kebudayaan Manusia dan Kalosara adalah merupakan Fokus Kebudayaan Suku Tolaki atau adat istiadat Orang Tolaki yang didalamnya terdapat beberapa prinsip atau falsafah hidup yang sering menjadi pedoman bagi suku Tolaki dalam berprilaku maupun dalam mengambil suatu putusan untuk bertindak atau tidak melakukan tindakan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi. Prinsip-prinsip tersebut yang penulis akan sistimatisasi sesuai urutan-urutannya sebagai berikut:
Prinsip kesucian (Ate Pute Penao Moroha).
Manusia Tolaki memerlukan kehidupan bersama untuk itu dalam kehidupan bersama diperlukan adanya kedamaian. untuk mewujudkan kedamaian di dalam kehidupan masyarakat maka suku Tolaki mengenal prinsip kesucian hati (Ate pute penao moroha) yaitu suatu prinsip hidup untuk selalu tulus dan beritikad baik dalam melakukan setiap hubungan hukum atau dalam berprilaku di Masyarakat. menurut prinsip tersebut tidak akan ada kehidupan bersama kalau dalam masyarakat itu terdapat orang-orang yang berhati culas terhadap sesamanya atau terhadap orang lain.
Prinsip kemakmuran dan kesejahteraan (Morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro).
Bahwa di dalam keadaan damai terdapat kelimpahan, kebutuhan terpenuhi, yang kuat tidak menindas yang lemah, yang berhak benar-benar mendapatkan haknya serta adanya perlindungan hukum bagi rakyatnya yaitu perlindungan kepentingan manusia baik secara materiel maupun imateriel dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Bagi masyarakat suku Tolaki percaya bahwa terjadinya kelaparan akibat gagal panen, bencana alam, wabah penyakit, permusuhan diakibatkan oleh manusia telah melanggar adat atau karena tidak tercapainya kedamaian.
Prinsip persatuan dan Kesatuan (Medulu mepoko’aso);
Sebagai seorang yang merdeka, Maka orang Tolaki menggangap dirinya hanya akan mempunyai arti dalam segala seginya berkat adanya orang-orang lain yang mengintarinya, berkat dia hidup bersama dengan orang lain. Dari itu setiap orang untuk mempunyai arti dalam eksistensinya dalam hidupnya, tidak dapat tidak harus ada orang-orang lain yang mengintarinya. Adanya orang-orang lain yang berada dalam lingkungannya menentukan arti diri pribadinya secara mutlak. Dalam keadaan demikian sulit memisahkan individu dari masyarakatnya.
Pandangan ini membawa kepada pandangan kemanusiaan yang mengajarkan bahwa manusia harus melihat sesamanya sebagai saling bergantung satu terhadap yang lain. Dari pandangan kemanusian ini, hidup dilihat sebagai dalam kebersamaan, yang satu adalah penting bagi yang lain. Yang dalam istilah medulu mepoko’aso (persatuan dan Kesatuan).
Untuk mewujudkan ketiga prinsip tersebut Khususnya Prinsip persatuan dan kesatuan (medulu mepoko’aso) maka orang Tolaki dituntut untuk selalu berprilaku menurut Hukum adat Tolaki. kata-kata “Inae Kona sara iye pinesara inae lia sara iye pinekasarai”. Kalau diterjemahkan menurut Bahasa Hukum maka:
Inae=Barangsiapa adalah menunjuk kepada siapa saja tanpa melihat siapa orangnya, apakah dari golongan bangsawan, tamalaki, atau rakyat kebanyakan bahkan tokoh adat semua adalah sama menurut hukum adat Tolaki.
Kona Sara= yang taat pada hukum
iye= dia adalah merupakan subyek hukum yang sama artinya inae kata iye merupakan kata penghormatan untuk menjawab pertanyaan atau menyebut seseorang mis: iye inggomiu
Pinesara= dimuliakan atau dihormati
Lia sara= tidak taat hukum
Pinekasarai= dihukum
MAKA AKAN MENJADI KALIMAT SEBAGAI BERIKUT:
BARANG SIAPA YANG MENTAATI HUKUM MAKA DIA AKAN DIMULIAKAN ATAU DIHORMATI AKAN TETAPI BARANG SIAPA YANG TIDAK TAAT PADA HUKUM (melawan Hukum) MAKA ORANG TERSEBUT HARUS DIHUKUM.
Taat pada hukum apabila diterjemahkan dalam era saat ini dimaksudkan adalah taat terhadap Hukum tertulis yang berkeadilan, hukum adat Tolaki maupun hukum agama. Suku Tolaki menyadari bahwa adalah tidak mungkin untuk menjaga persatuan dan kesatuan tanpa adanya atauran hukum.
Berbagai kebutuhan ataupun kepentingan dalam melakukan hubungan sosial harus ada hukum yang mengaturnya dan orang Tolaki dituntut wajib untuk taat pada hukum itu tanpa melihat status sosial seseorang selain itu, orang Tolaki menyadari juga bahwa dalam melakukan hubungan sosial atau hubungan hukum adalah tidak mungkin tidak terjadi beda pendapat atau perbedaan kepentingan dimasyarakat maka untuk menjaga agar perbedaan pendapat atau perbedaan kepentingan tidak berubah kepada Konflik yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan maka diharuskan kepada setiap orang untuk taat pada hukum yang ada dengan cara menyelesaikan menurut mekanisme penyelesaian sengketa yang ada.
Dengan demikian kata-kata “Inae Kona sara iye pinesara inae lia sara iye pinekasarai” adalah merupakan asas hukum yang berlaku terhadap mereka yang taat pada aturan hukum dan mereka yang ingin menyelesaikan permasalahan hukumnya. ukuran kehormatan dan kemulian orang Tolaki bukanlah pada jabatan atau status sosial yang dimiliki akan tetapi diukur dari sejauhmana seseorang senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan dengan taat pada aturan Hukum/hukum adat demikianpula bila terjadi pelanggaran hukum maka akan senantiasa menyelesaiakannya melalui mekanisme atau prosedur hukum atau hukum adat Tolaki. bahkan kemuliaan maupun kehormatan orang Tolaki ketika mereka melakukan penegakkan hukum secara adil terhadap pelanggaran hukum/ hukum adat, beberapa catatan sejarah mencatat adanya proses penegakkan hukum melalui perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh orang tolaki karena terdapat orang yang lia sara sehingga orang tolaki melakukan perlawanan untuk mendapatkan keadilan seperti perlawanan Lapadi yang terjadi di Zaman Kolonila Belanda dan perlawanan Pasukan Jihad Konawe (PDK) terhadap pasukan DI/TII dan pasukan dari batalion 718 Makassar yang dianggap telah Lia sara.
Penggunaan Parang Pusaka Taawu dalam Demontrasi Suku Tolaki mengenal berbagai macam benda serta kegunaannya seperti benda untuk bertani ladang, menokok sagu, berburu, beternak, dan menangkap ikan. benda atau Alat-alat bertani ladang adalah misalnya: o pade (parang), dan o pali (kampak). Selain itu terdapat senjata untuk mempertahankan kehormatan atau harga diri atau untuk berperang seperti ta’awu (parang panjang, sejenis kelewang), kinia (perisai), karada (tombak), kasai (tombak berkait). sedangkan untuk Senjata untuk kaum wanita adalah o piso (pisau). melihat alat dan kegunaan maka Taawu adalah merupakan senjata yang dimiliki oleh orang Tolaki untuk melakukan perlawanan atau perang dalam menegakkan harga diri dan Kehormatan Orang Tolaki. apabila dihubungkan dengan membawa parang Taawu dalam demontrasi maka harus terlebih dahulu didudukan tujuan dan manfaat dilakukannya demonstrasi atau unjuk rasa.
Demontrasi atau unjuk Rasa adalah adalah merupakan salah satu wujud kebebasan dalam menyampaikan pendapat yang merupakan implementasi dari demokrasi Pancasila yang dianut oleh negara Indonesia. Demonstrasi merupakan salah satu kegiatan menyampaikan aspirasi atau menentang kebijakan suatu pihak, baik itu organisasi/perusahaan atau pemerintah, dimana kegiatan tersebut merupakan upaya penekanan secara politik yang dilakukan oleh pihak tertentu yang memiliki kepentingan.
Dengan demikian demontrasi atau unjuk rasa adalah salah satu fase cara yang dilakukan oleh Orang Tolaki untuk menuntut agar orang mentaati hukum sebagaimana asas hukum “Inae Kona sara iye pinesara inae lia sara iye pinekasarai” atau barang siapa yang mentaati hukum maka dia akan dimuliakan atau dihormati akan tetapi barang siapa yang tidak taat pada hukum (melawan hukum) maka orang tersebut harus dihukum.
Taat kepada hukum tidak saja kepada diwajibkan kepada setiap masyarakat yang ada di tanah Tolaki tetapi juga terhadap mereka karena tugasnya harus melakukan penegakkan hukum. Hukum adat Tolaki mewajibkan untuk selalu bersikap jujur terhadap diri sendiri maupun oranglain untuk itu menurut hukum adat Tolaki dilarang untuk berbohong (tewuti-wuti), di larang untuk menggambil hak orang lain seperti mencuri (momboponini), merampok (morambasi) dan menggambil tanah ulayat orang Tolaki, dilarang untuk kawin lari atau kawin tidak melalui prosesi adat Tolaki dan orang yang melanggar hal tersebut pasti mendapatkan hukuman dan lain-lain. terhadap pelanggaran tersebut diatas, pelanggar diberi kesempatan untuk menyelesaiakan permasalahaanya menurut hukum adat Tolaki.
Demontrasi atau unjuk rasa adalah bertujuan agar orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum adat Tolaki agar mentaati hukum adat Tolaki sehingga unjuk rasa atau demontasi bukanlah untuk berperang atau melakukan perlawanan secara kekerasan karena masih terdapat upaya-upaya lain atau fase-fase yang harus dilakukan dalam menuntut keadilan sehingga tidaklah dibenarkan menurut hukum adat Tolaki membawa parang Pusaka atau Taawu dalam melakukan kegiatan Demontrasi atau unjukrasa.
Kesimpulan
Taawu adalah salah satu benda yang dikenal oleh orang Tolaki yang khusus digunakan untuk berperang dalam rangka menjaga kehormatan dan kemulian orang Tolaki. Berperang atau melakukan tuntutan secara kekerasan hanya dimungkinkan menurut Hukum adat Tolaki sebagaimana asas hukum “Inae Kona sara iye pinesara inae lia sara iye pinekasarai” kalau seluruh upaya atau fase tuntutan telah dilakukan ternyata tidak membuahkan hasil maka penggunaan Taawu baru dibolehkan menurut hukum adat Tolaki sehingga menurutku demontrasi atau unjuk rasa sebagai upaya atau salah satu fase dalam menuntut keadilan bukan tempatnya untuk mempertontonkan atau membawa Taawu kecuali untuk kegiatan-kegiatan budaya.
TIM
Komentar