TEGAS.CO., NUSANTARA – Indonesia tengah menempuh jalan menuju lumbung pangan dunia pada tahun 2045. Fokus pencanangan megaproyek ini terletak pada komoditas pangan strategis, yang meliputi padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, gula, dan daging sapi. Namun sepertinya target swasembada itu tidak akan terealisasi dengan mudah. Pasalnya di awal tahun hingga menjelang Ramadan kita di suguhi dengan berita-berita impor bahan panan yang jumlahnya sangat besar.
Diawali dengan pemerintah berencana mengimpor beras satu juta ton di tengah prakiraan lonjakan produksi padi petani. Rencana ini telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas, bahkan Kementerian Perdagangan sudah mengantongi jadwal impor beras tersebut. Walaupun rencana impor beras dibatalkan karena banyak menuai protes dari para petani dan masyarakat, namun pembatalan itu hanya sampai bulan Juni 2021. (kompas.com, 6/3/2021).
Pemerintah juga membuka keran impor garam sebanyak 3,07 juta ton di tahun 2021. Keputusan ini diambil dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 25 Januari 2021. Jika terealisasi seluruhnya, maka impor garam tahun ini menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Selain itu pemerintah juga akan mengimpor gula sebanyak 680.000 ton gula mentah (raw sugar) yang telah dilakukan sejak awal tahun sebagai stok pegangan (idle capacity). Kementerian Perdagangan juga memastikan akan melakukan impor daging sapi dan kerbau sebanyak 121.119 ton untuk memenuhi konsumsi di dalam negeri yang meningkat jelang Idul Fitri 2021. (kompas.com, 15/3/2021).
Sangat disayangkan, Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki tanah yang subuh namun harus mengimpor bahan pangan dengan berbagai alasan yang di kemukakan.
Alih-alih membuat kebijakan sistematis untuk memenuhi kebutuhan rakyat, melalui keputusan impor pemerintah justru membatalkan target swasembada dan mengabaikan jeritan para petani, peternak, dan petambak garam. Akhirnya mereka sangat merugi karena kurang mendapat dukungan dari pemerintah dan tidak mampu bersaing dengan impor.
Kurang berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap langkah-langkah pengembangan sektor pertanian terutama dalam hal penerapan teknologi baru di sektor pertanian seperti rekayasa genetik bibit pangan, membuat Indonesia kian sulit memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya.
Di sisi lain, dalam impor pangan adanya keuntungan yang besar sangat memungkinkan adanya pihak yang bisa menggagalkan swasembada. Dan mereka ini tak lain adalah pelaku monopoli distribusi pangan dan kartel.
Dalam sistem kapitalisme, potensi keuntungan yang dapat dikeruk dari komoditas beras, gula, garam, daging dan bahan pangan lain juga sangat tinggi. Wajar jika lika-liku impor turut kental mewarnai roda perekonomian , karena para importir tentu memperoleh rente impor ketika kebutuhan pangan nasional sebagiannya telah berbasis impor.
Keadaan ini memberikan gambaran yang jelas kepada kita bahwa sejatinya impor merupakan skenario kaum kapitalis dalam sistem kapitalisme. Menyerahkan penyediaan kebutuhan pangan pada pihak korporasi membuat semua kebutuhan rakyat ibarat ladang bisnis. Pemerintah membuat kebijakan dan kaum kapitalis lah yang menjalankan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara dengan sistem kapitalis akan menempatkan rakyat hanya sebagai konsumen semata. Pemerintah berfungsi hanya sebagai regulator atau pembuat hukum dan kebijakan. Sedangkan pelaksanaannya di serahkan kepada korporasi.
Hal ini akan berbeda jauh dengan negara yang menerapkan sistem Islam. Karena dalam pandangan Islam, negara memiliki tanggung jawab sepenuhnya untuk menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, layanan pendidikan, layanan kesehatan dan jaminan keamanan bagi setiap warga negara.
Negara memiliki kewajiban untuk menciptakan kondisi perekonomian yang kondusif, sehingga rakyat mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, dan apabila memungkinkan rakyat juga mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya. Begitu pula dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Maka dari itu negara memiliki strategi dan kebijakan dalam menjalankan aktivitas pertanian.
Pertama, negara melakukan berbagai cara dalam meningkatkan produktivitas lahan. Peningkatan produktivitas lahan dilakukan dengan menggunakan mesin-mesin pertanian yang modern lagi canggih, serta pemanfaatan obat-obatan mutakhir, dan menyediakan benih dan bibit dengan kualitas tinggi.
Negara memiliki keharusan untuk memberikan modal dalam bentuk hibah kepada para petani yang tidak memiliki kemampuan dalam membeli peralatan dan mesin pertanian, obat-obatan dan benih yang dibutuhkan. Negara juga memberikan motivasi kepada para petani agar mereka memiliki keinginan membeli perlengkapan dan alat-alat pertanian yang modern dan canggih.
Kedua, menambah luas lahan pertanian sebagai suatu metode ektensifikasi. Negara harus melakukan berbagai usaha untuk menghidupkan dan mengelola kembali lahan-lahan tinggal. Negara mengupayakan para petani yang mampu bekerja agar memanfaatkan tanah-tanah terlantar. Di dalam Islam, apabila seseorang menelantarkan tanahnya selama 3 tahun berturut-turut maka negara akan mengambil tanah tersebut dan menyerahkan kepada orang yang mampu memanfaatkannya terlebih untuk pertanian.
Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Yusuf, “Muhammad bin Ishaq menceritakan kepadaku bahwa, Umar bin Khattab berkata dari atas mimbar, ‘Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka ia menjadi miliknya. Dan siapa saja yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagari) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun. Ini karena orang-orang sering memagari tanah yang tidak mereka kelola.’ (Kitab al-Kharaj).
Ketiga, dalam hal menjamin pasokan pangan, Islam akan menetapkan mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang terjadinya penimbunan, penipuan, praktik ribawi, monopoli, dan mengendalikan harga-harga pangan.
Keempat, dalam hal ekspor dan impor, Islam akan melihat sejauh mana kebutuhan pangan negara. Ekspor dilakukan bila pasokan pangan negara terpenuhi dan mengalami surplus. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri.
Perdagangan luar negeri dalam pandangan Islam tidak dilihat dari aspek barang yang di perdagangkannya melainkan di lihat dari orang yang melakukan perdagangan. Jika mereka terkategori orang-orang yang membenci dan memusuhi Islam maka negara tidak boleh melakukan hubungan kerja sama. Karena hanya akan mendatangkan kerugian dan kesengsaraan.
Demikianlah Islam memberikan solusi yang komprehensif dalam mengatasi permasalahan pengelolaan pangan. Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Rosyidah, S.H.
Editor: H5P
Komentar