Dorong “Mai Te Wuna” Dengan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

Brosur pengelolaan sampah

TEGAS.CO,. MUNA – Realitas sampah kota Raha selain sudah menjadi sumber penyakit, juga telah merusak estetika lingkungan dan kesehatan masyarakat, melantahkan tatanan budaya Hansuru-Hansuru Badha Sumanomo Koemo Hansuru Liwu (Hancur-Hancur Badan Kami Asal Jangan Hancur Kampung Kami) dan juga merusak serta mencemari ekosistem pantai.

Tidak saja itu, efek global timbunan sampah kota Raha tentu menghasilkan gas methan berbahaya sebagai salah satu pemicu pemanasan global.

Berdasarkan study LSM GAHARU, rata-rata masyarakat kota Raha membuang sampahnya diberbagai jalan dan sudut kota, pun di jalan-jalan protokol, dan sebagian lagi dikumpulkan di depan rumah masing-masing jadi timbunan dan/atau tumpukan.

“Jika rata-rata per jiwa masyarakat Indonesia menghasilkan 2,5 liter sampah per hari sebagaimana riset Kementerian Lingkungan Hidup (2012), maka dengan total jumlah penduduk Kecamatan Katobu (penduduk utama kota Raha) pada 2018 yang sebesar 31.929 jiwa, kota Raha akan memproduksi sampah harian sebesar 79.822,5 liter per hari, atau sebesar 2.394.675 liter per bulan dan/atau 28.736.100 liter per tahun,” ujar La Ode Muhammad Rabiali, S.Hut, M.Sc, Aktivis dan juga Pengamat Lingkungan, Kamis (27/5).

“Dikonversi dalam satuan m³, maka volume sampah harian kota Raha adalah 200 m³ per hari, atau sebesar 6000 m³ per bulan dan 72.000 m³ dalam setahun”, sambungnya.

Tentu saja, kata dia, ini tidak sebanding dengan ketersediaan truk angkutan sampah yang hanya berjumlah 10 armada (2 armada rusak), apalagi dengan jumlah armada yang beroperasi setiap harinya maksimal 5 armada dalam kota.

“Artinya dengan daya angkut maksimal 6 m³ satu armada, maka sampah yang terangkut hanya berkisar 30 m³ per sekali angkut per hari atau masih tersisa 170 m³ sampah yang tidak terangkut. Itupun dalam kondisi normal dimana semua armada beroperasi,” katanya.

“Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana jika 1-3 atau semua armada tidak beroperasi karena alasan teknis dan biaya operasional? Tentu ini menimbulkan efek negatif berganda, yakni timbunan sampah semakin menggunung dan tentu problem lingkungan semakin kompleks. Konsekuensi logisnya adalah kota Raha menjadi kumuh, Adipura akan menjauh, dan Mai Te Wuna hanya menjadi slogan yang maaf kata “memalukan”, terangnya.

Solusi 3R Untuk Penanganan Sampah

Rabiali menyebut terkait fenomena itu selayaknya Pemda Muna mulai memikirkan satu strategi dan model pengelolaan sampah yang optimal dan berkelanjutan.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pemda Muna patut mengimplementasikan pengelolaan berbasis 3R, dimana sampah mulai dikelola dari sumbernya dan/ atau dari rumah tangga, pengelolaan hulu-hilir.

“Saya menyebutnya 3R sebagai upaya yang meliputi kegiatan mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang sampah (recycle)”, ucapnya.

Rabiali juga mejelaskan, R1 adalah upaya yang lebih menitikberatkan pada pengurangan pola hidup konsumtif serta senantiasa menggunakan sesuatu yang “tidak sekali pakai“, yang ramah lingkungan dan mencegah timbulan sampah.

R2 adalah upaya memanfaatkan bahan sampah melalui penggunaan yang berulang agar tidak langsung menjadi sampah, sedangkan R3 adalah upaya pemilahan sampah yang telah keluar dari rumah tangga, yakni; memisahkan sampah yang bisa terolah dan tidak, dimana sampah yang masih bisa terolah didesain kembali menjadi produk baru tanpa harus dibawa ke TPA.

Lebih jelas lagi Rabiali mengungkapkan terkait optimalisasi 3R, Pemda Muna melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) perlu mempertimbangkan insiasi pengembangan bank sampah dan kelembagaannya serta membangun kesadaran lingkungan dan mindset berfikir.

“Bank Sampah merujuk dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan reduce, reuse dan recycle. Dengan metode bank sampah ini selain pengelolaan sampah juga memiliki nilai ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat,” katanya.

“Membangun kesadaran dan mindset, merupakan suatu strategi penyadaran yang dalam konteks lingkungan dilakukan untuk mengubah perspektif masyarakat dalam pola pengelolaan lingkungan yang lebih ramah dan atau sadar lingkungan. Dasar penyebab kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan; dimana menurut etika lingkungan yang sampai sekarang berlaku adalah etika yang didasarkan pada sistem nilai, yang mendudukan manusia bukan bagian dari alam, tetapi manusia sebagai penakluk dan pengatur alam,” lanjutnya.

Green Generation

Untuk mengoptimalkan aktifitas penyadaran maka harus dibentuk Green Generation disetiap instansi termasuk institusi pendidikan dasar hingga mahasiswa.

Green Generation inilah yang kemudian berperan penuh dalam aksi kampanye penyadaran lingkungan melalui forum diskusi, seminar/ lokakarya, penyebaran poster, pemutaran film pengelolaan sampah, dialog interaktif di radio dan media TV lokal, lomba busana berbahan sampah dan lain sebagainya.

Semua kegiatan itu diarahkan dan difokuskan untuk perubahan pola pikir dan pembetukan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah berkelanjutan. Untuk lebih mengoptimalkan capaian pengelolaan sampah dengan kedua model itu dan dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dan luasan wilayah, maka bisa dibangun model-model percontohan pada 1 atau 2 Desa sebagai embrio pengembangan model untuk wilayah yang lebih luas lagi.

Di sebagian kabupaten/kota peraih adipura, pola seperti itu diterapkan melalui kerjasama multipihak tentunya atas dukungan Pemda dan Swasta dimana hasilnya penanganan sampah sangat signifikan.

Di Musi Banyuasian Sumatera Selatan misalnya, inisiasi pembangunan Bank Sampah sampai kepelosok desa dan pembentukan Green Generation tidak saja mempertahankan kota itu sebagai salah satu peraih Adipura melainkan Green Generation yang terbentuk mampu membawa kader-kadernya berprestasi ditingkat nasional dengan berbagai penghargaan dari pemerintah pusat melalui Jambore Kalpataru.

Disisi lain, upaya Bank Sampah yang diterapkan tidak saja menjadi mata pencaharian baru bagi masyarakat melainkan juga telah diaplikasikan oleh institusi pendidikan menengah dan atas dimana pendapatannya digunakan untuk beasiswa anak tidak mampu, pemenuhan kebutuhan perpustakaan, laboratorium, dan lain sebagainya.

“Di Muna, khususnya kota Raha, saya pikir sudah harus menerapkan model itu ditengah kecenderungan timbunan sampah yang terus meningkat apalagi dengan sampah di pesisir laut kota Raha, kawasan warangga dan masjid Munajat sebagai ikon wisata religi”, harapnya.

“Dengan model itu, paling tidak sampah yang ada bisa tertangani dengan optimal, dan selebihnya dapat mendukung terciptanya estetika kota Raha dalam rangka memanggil orang datang ke Muna ‘MAI TE WUNA‘,” tutup aktivis yang Pernah bekerja di Zoological Society of London-Inggris, Indonesian Programme, dengan Jabatan Community Outreach and Awareness Coordinator itu.

FAISAL / YA

Komentar