Rakyat Dilanda Dilema Akibat Krisis Pangan

Anica Wilda Sari (Mahasiswi USN Kolaka)
Anica Wilda Sari (Mahasiswi USN Kolaka)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, Suriah mengalami krisis pangan yang belum terselesaikan hingga kini, seorang pria dari kota Zabadani mengatakan, keluarganya yang beranggotakan empat orang telah berhenti makan keju dan daging pada awal 2020. Kini dia hanya mengandalkan roti untuk makanan mereka.

Namun, dengan kenaikan harga roti dan adanya batasan pemerintah, dia dan istrinya terpaksa hanya memakan secuil roti tiap harinya. “Kami memecah roti menjadi gigitan kecil dan mencelupkannya kedalam teh agar tampak lebih besar,” kata orang tersebut, dalam keterangan Pers Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang diterima, Ahad (30/5).

Iklan KPU Sultra

Roti telah lama menjadi makanan pokok mereka. Sebelum tahun 2011, negara ini mampu memproduksi cukup gandum untuk memenuhi kebutuhan konsumsi roti dalam negeri. Namun, sejak perang berkecamuk di Suriah, produksi dan persediaan roti pun mulai menipis.

Krisis pangan bukan hanya terjadi di Suriah, di Myanmar juga mengalami hal yang sama, kelaparan yang telah mengancam jutaan warga dan hampir di seluruh negara-negara muslim lainnya seperti Uighur, Gaza, Palestina juga mengalami krisis tersebut.

Berdasarkan laporan Human Rights Watch, konflik bersenjata selama satu dekade telah menyebabkan kekurangan gandum yang parah di Suriah akibat lahan-lahan pertanian semakin sedikit. Selain itu, banyak pula toko roti yang ikut hancur dan tidak dapat beroperasi selama konflik.

Berdasarkan studi yang diterbitkan Universitas Humboldt pada 2020, disebabkan konflik berkepanjangan, Suriah kehilangan 943 ribu hektar lahan pertanian antara 2010 dan 2018. Depresiasi mata uang Suriah yang parah, juga memengaruhi daya beli warga di seluruh negeri. Hal ini membuat warga yang beralih menjadikan roti sebagai makanan utamanya.

Hingga Februari 2021, program pangan dunia, setidaknya 12,4 juta warga dari 16 juta warga Suriah mengalami kerawanan pangan. Jumlah ini bertambah 3,1 juta dari tahun lalu. World Food Programme (WFP) juga memperkirakan 46 persen keluarga di Suriah telah mengurangi jatah makanan harian mereka, dan 38 persen orang dewasa telah mengurangi konsumsi pangan mereka, agar anak- anak mereka memiliki cukup makanan.

Kapitalisme Akar Masalahnya

Krisis pangan di ambang darurat, secuil roti menjadi barang yang diperebutkan untuk mencegah kelaparan, sembari mengharapkan uluran tangan dan bantuan dari pemerintah agar menyelesaikan masalah yang dialami. Kesenjangan makin terlihat nyata, tatkala kekuasaan akan terus menjadi milik yang berkuasa. Tidakkah terpikirkan, bagaimana dengan rakyat yang tidak memiliki apa-apa? Apakah mereka bisa bertahan hidup jika tak bantuan kemanusiaan datang menolong?.

Krisis pangan yang hampir terjadi di belahan dunia bukan berarti karena kekurangan pangan atau kekurangan bahan, melainkan pangan di era sistem kapitalis sekuler dikelola dengan cara yang tak sesuai takarannya. Kapitalisme dengan sifatnya yang tamak mengatur sumberdaya tak lagi memperhatikan kondisi alam yang mengalami kerusakan akibat dari perbuatannya.

Baca juga : Kejahatan Seksual Pada Anak, Tontonan atau Tuntunan

Belum lagi, mematok harga yang mahal sehingga tidak semua masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pangan. Sebagaimana yang terjadi, pemerintah Suriah mengeluarkan pembatasan beberapa banyak roti yang bersubsidi yang dapat dibeli orang sehingga sebagian tak mendapatkan jatah harus menanggung kelaparan. Gambaran sistem kapitalisme yang berpaham sekularisme lebih mementingkan kehidupan pribadi daripada kepentingan orang banyak termasuk urusan rakyat.

Krisis ekonomi yang menimpa warga Suriah telah menjadi salah satu bukti bahwa penerapan sistem kapitalisme tidak membuahkan keuntungan bagi rakyat. Hal ini disebabkan kelalaian negara terhadap kewajibannya serta minimnya peran negara saat ini, menunjukan ketidakmampuannya dalam mengatasi persoalan rakyat.

Sungguh miris melihat kondisi ekonomi di Suriah, pemerintah enggan memperhatikan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai pengurus negara. Hal ini bukan sesekali terjadi dalam setahun, melainkan berulangkali terjadi. Tingkat kemiskinan tidak lain buah dari penerapan sistem kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak lagi menjadi prioritas utama.

Berbagai problem tidak akan terselesaikan selama pengelolaan masih berada dalam sistem sekuler. Sebagaimana kita ketahui, sistem sekulerisme yaitu sebuah paham ideologi yang berpendirian bahwa paham agama tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negara atau institusi publik lainnya. Pemikiran sekuler tidak mencampuradukan urusan agama dengan urusan politik. Pemahaman demikian justru mengantarkan kepada hal-hal keliru.

Kemiskinan yang tidak teratasi khususnya krisis pangan masuk dalam bidang ekonomi termasuk produksi pangan. Krisis ekonomi di era sistem kapitalis sekuler, menjadikan kepemilikan umum dikuasai atau dikelola oleh swasta yang pendapatannya sangat besar, dan pembagiannya tidak seperti yang diharapkan oleh negara, hanya 3% lebih besar dari yang mengelola.

Islam Solusi Ketahanan Pangan

Berbeda halnya dengan Islam, Islam adalah sebuah sistem yang ideologinya berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunnah melahirkan aturan yang berasal dari Allah Subhanahu Wata’alaa. Penerapan sistem islam didirikan dalam satu negara yakni negara khilafah yang menyangkut seluruh umat manusia dengan satu akidah. Krisis pangan yang di jalankan oleh negara islam adalah menjadikan aturan Allah Subhanahu wata a’laa sebagai landasan dalam kehidupan semata-mata mencari ridho Allah.

Islam mampu memegang kendali dalam mengatur urusan umat, negara membangun kerja sama dengan masyarakat untuk menciptakan ekonomi Islam yang menjamin kehidupan umat. Adapun yang dilakukan negara adalah memutuskan hubungan dengan perjanjian yang akan membahayakan kehidupan umat seperti menghindari membangun investasi asing dengan utang piutang.

Itulah yang dilakukan khalifah dalam negara Islam, menjaga demi kesejahteraan rakyat, sehingga tidak terjadi yang namanya krisis pangan, kelaparan, kemiskinan dalam suatu wilayah.

Islam juga memiliki tiga solusi tuntas terkait persoalan pangan. Pertama, menutup semua akses impor pangan. Negara secara mandiri mengoptimalkan kekuatan rakyat untuk memproduksi lahan pertanian. Kedua, dengan metode intensifikasi, meliputi penyediaan bibit-bibit unggul, obat-obat pertanian oleh negara dan mengenalkan cara-cara modern terkait pengolahan lahan pertanian.

Ketiga, metode ekstensifikasi yakni dengan memperluas area tanam yang diberikan secara cuma-cuma oleh negara kepada rakyat yang mampu mengolah tanah tersebut sehingga mampu berproduksi.
Dalam khilafah, Islam sangat mengatur hubungan antara negara dengan rakyatnya. Termasuk khalifah (pemimpin) yang langsung turun tangan dalam mengontrol para pejabat yang bekerja di masing-masing bidang. Dididik dengan iman sehingga paham bagaimana mengurusi urusan umat, maka dapat mengatasi terjadinya krisis pangan dan menyadari bahwa Allah Subhanahu wata’alaa yang senantiasa mengawasi. Tetapi sungguh, semua itu benar-benar akan terwujud hanya dengan diterapkannya sistem islam yakni dalam naungan khilafah.

Wallahu alam bisawab.

Penulis : Anica Wilda Sari (Mahasiswi USN Kolaka)

Editor : YA

Komentar