Mendadak viral di jagat maya, sebuah mural yang terlihat di kawasan sekitar wilayah Batuceper, Kota Tangerang. Mengapa mural di Batuceper ini begitu unik dan viral? Bukankah mural bukan lagi hal baru di dunia street art? Jawabannya adalah karena mural tersebut tengah memperlihatkan gambar sketsa wajah yang tampak mirip dengan Presiden RI.
Namun tampaknya ada yang menarik dengan mural yang satu ini hingga menjadi viral. Pasalnya, pada bagian mata, terlihat ditutupi dengan tulisan 404: Not Found dengan latar berwarna hitam dan gelap. Setelah viral, mural tersebut diketahui telah dihapus oleh aparat gabungan dengan menggunakan cat hitam hingga mural tersebut lenyap.
Namun, tidak semua mural dihapus. Hanya wajah yang mirip Pak Jokowi yang hilang dari deretan mural di dinding tersebut. Gambar-gambar yang lain tetap dibiarkan. Tak hanya itu, polisi pun telah memeriksa dua orang saksi untuk mengusut mural yang diduga telah mencoreng harkat dan martabat seorang kepala negara (cnnindonesia.com)
Ternyata bukan hanya mural mirip Jokowi yang bertuliskan 404: Not Found saja yang viral kemudian dihapus oleh aparat yang berwenang. Ternyata ada juga mural bertuliskan “Tuhan, Aku Lapar” dan “Dipaksa Sehat, Di Negeri Yang Sakit”, turut bernasib sama. Lantas mengapa karya-karya seni anak bangsa ini justru dihapus setelah viral?
Yang pertama, bukan karena karyanya, tapi karena makna dibalik sebuah karya anak negeri. Mural, merupakan salah satu seni jalanan di samping graviti, yang kerap digunakan sebagai sarana ekspresi, seni, dan juga aspirasi. Menurut perjalanan faktanya, mural sudah ada sejak dulu, bahkan sejak Orde Baru sebagai bagian dan media untuk menyampaikan aspirasi serta pendapat.
Sebuah hal yang sudah tidak asing sebenarnya, dan bukan hal yang baru. Namun di era globalisasi saat ini justru terlihat ada kemunduran pemikiran dari beberapa pihak yang sepertinya “takut” dengan tampilnya mural-mural ini sebagai wadah aspirasi.
Yang kedua, sebagai wadah ekspresi, justru seharusnya beberapa pihak yang ketar-ketir tidak perlu khawatir. Karena ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk aspirasi dan juga kebebasan berpendapat di era demokrasi. Bukankah demokrasi menjunjung tinggi kebebasan berpendapat setiap warga negara? Bukankah kebebasan berpendapat dan juga berekspresi mempunyai landasan hukum yang kuat? Salah satunya seperti yang tertuang pada Amandemen ke-4 Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar RI 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Tentu hal ini semakin membuat rakyat terheran, bahwa kemerdekaan berpendapat justru tidak didapatkan di negara yang merdeka.
Lalu yang ketiga, ada ketersumbatan aspirasi yang saat ini terjadi. Padahal, seni ialah suara hati. Seni dalam hal ini pun bukanlah tindakan kriminal. Lantas apa yang menakutkan? Para koruptor yang memiskinkan dan membiarkan rakyat mati kelaparan jutsru berkali lipat juah lebih menakutkan daripada anak bangsa yang mencoba bersuara. Seharusnya, kita jangan terjebak dan keliru pada definisi “menghina” yang disebut-sebut sebagai faktor utama dihapusnya mural-mural di atas. Dalam KUHP pasal 207 disebutkan, barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.
Ancaman hukumannya paling lama 1,5 tahun atau denda paling banyak Rp 4.500. Pertanyaannya adalah, apakah karya seni tadi secara personal memang Pak Joko Widodo, ayah dari 3 orang anak dan tumbuh di Solo? Ataukah memang menyasar kepada kepala negara?
Kemudian yang keempat, mural 404 not found dengan gambar mirip pak Jokowi, pada dasarnya tidak pernah terkonfirmasi bahwa itu memang beliau. Kenapa? Karena bahkan Pak Jokowi sendiri tidak pernah mempersoalkan ini. Hal ini terkait dengan putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006, bahwa pengaduan hanya bisa dilakukan oleh obyek yang merasa terhina. Maka seharusnya ini bukanlah masalah yang berarti.
Ada pertimbangan khusus pula pada putusan MK tersebut, yakni jika yang disasar adalah jabatan publik yang didefinisikan melalui kata “penguasa”, maka hal ini dikategorikan kritik, bukan penghinaan. Apabila dianggap sebagai penghinaan, maka haruslah mampu dibuktikan terlebuh dahulu bahwa yang disasar dari karya seni di atas merupakan personalnya.
Lalu yang kelima, bentuk-bentuk penegakan hukum yang sifatnya seperti ini, memang kuat dengan nuansa politik praktis, dan juga rawan dengan nuansa pasal karet. Semua yang dilakukan oleh rakyat hanyalah bentuk luapan dari ruang hati kecil yang tertindas akibat berbagai aturan dan kebijakan yang mencekik rakyat, terlebih dalam situasi pandemi ini.
Luapan suara hati dari rakyat yang penguasanya seolah lepas tanggung jawab dibalik aturan PPKM berjilid-jilid.
Pada akhirnya, demokrasi hanyalah sistem yang memberi ruang kebebasan aspirasi, dengan syarat, tidak untuk mengguncang kursi penguasa dan tidak mengancam eksistensi ideologi kapitalis-sekuler. Pun kebenaran yang disampaikan rakyat akan terus coba dihantam dan dikriminalisasi bila mengganggu kenyamanan serta kepentingan tertentu. Kebenaran dari rakyat saat ini memang belum terlihat titik terangnya untuk menang. Tetapi pada akhirnya, kebenaran tidak akan pernah bisa dikalahkan.
Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.” (QS.Al-Isra’ ayat 81). Maka, sedikit atau banyak pengikut kebenaran, bukanlah menjadi masalah yang berarti. Karena kebenaran ialah ibarat air yang dibutuhkan seluruh manusia di muka bumi. Sementara kebatilan atau kejahatan ialah ibarat buih yang hanya fatamorgana.
PENULIS: VIKHABIE YOLANDA MUSLIM
AN EDITOR IN CHIEF: MAS’UD
Komentar