Bantah Pernyataan Direksi PT GMS, Roy: Mereka Perlu Introspeksi

Ketua Dewan Perwakilan Masyarakat Hukum dan Pertambangan, Muhammad Roy, S.Sos

TEGAS.CO.,KENDARI – Pernyataan direksi PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS) yang diwakili PM, Humas, dan KTT terkait aksi demonstrasi yang dilakukan di site area PT GMS pada tanggal 15 hingga 18 september 2021 lalu, yang menyatakan telah merealisasikan seluruh poin yang tertuang dalam Surat Perjanjian Kerjasama/MoU menuai bantahan dari salah satu tokoh muda Kecamatan Laonti, sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Masyarakat untuk Hukum dan Pertambangan (DPM-HUTAN) Kecamatan Laonti.

Ketua DPM-HUTAN Laonti, Muhammad Roy menyatakan bahwa MoU antara PT GMS dan masyarakat lingkar tambang tidak direalisasikan dengan baik, pasalnya jika ditelaah lebih jauh terdapat berbagai hal yang menjadi kewajiban PT GMS maupun poin perjanjian yang dimuat dalam pasal terpisah yang sampai saat ini tidak direalisasikan dengan baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.

Salah satunya, kata Roy, yakni tidak adanya pelaksanaan reklamasi terhadap lubang bekas galian tambang, bahwa pelaksaan reklamasi tertuang dalam Pasal 2 Huruf C Nomor 1 Surat Perjanjian Kerjasama/MoU yang berbunyi “Pihak Pertama, berkewajiban untuk melakukan reklamasi pada kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya dimana mekanisme dan pengelolaannya diatur berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku”.

Atas dasar tersebut, tambahnya, PT GMS dinilai melakukan pembiaran terhadap lubang bekas galian dan mengabaikan surat perjanjian kerjasama/MoU serta diduga melanggar Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Selanjutnya, sambung pemuda asal Laonti itu, dalam MoU Pasal 2 Huruf A Nomor 1 berbunyi “Pihak Pertama, berkewajiban untuk merekrut, mengakomodir dan memprioritaskan masyarakat lingkar tambang sebagai tenaga kerja di PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS) sesuai kebutuhan perusahaan baik tenaga kerja kantor maupun tenaga kerja lapangan berdasarkan kemampuan dan keahlian yang dimiliki”, masyarakat lingkar tambang yang dimaksud adalah masyatakat 4 desa yakni Desa Sangi-sangi, Ulusawa, Tue-tue, dan Desa Lawisata.

Hal itu, ujarnya, sebagaimana devinisi lingkar tambang yang dijelaskan dalam MoU yang berbunyi sebagai berikut : “Lingkar Tambang adalah wilayah IUP PT Gerbang Multi Sejahtera yang menjadi objek kegiatan penambangan”. Sehingga jika dikomparasikan dengan fakta di lapangan maka sangat jelas bahwa dalam perekrutan karyawan, PT. GMS tidak memprioritaskan masyarakat lingkar tambang sesuai dengan perjanjian yang ada, saya pikir bahwa ini adalah salah satu penyebab terjadinya gejolak sosial di masyarakat.

Roy menambahkan, selanjutnya dalam beberapa bulan ini terdapat banyak aduan masyarakat terkait dengan upah dan kontrak kerja, sehingga atas dasar itu kami menduga bahwa PT GMS telah mengabaikan MoU tersebut, sebab terdapat poin yang menjelaskan tentang tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan/tenaga kerja yaitu pada Pasal 2 Huruf A Nomor 4 yang berbunyi “Pihak Pertama, bersedia menerapkan upah minimum regional (UMR) dan hak lainnya kepada setiap karyawan/pekerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

“Atas dasar tersebut, diduga bahwa PT GMS telah melanggar Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Olehnya itu kami mendesak Disnakertrans Provinsi Sulawesi untuk melakukan Inspeksi di lokasi PT Gerbang Multi Sejahtera guna memastikan hak-hak karyawan/tenaga kerja terpenuhi sesuai ketentuan perundang-undangan,” jelas Roy.

Lanjut Roy, (sapaan akrabnya), PT Gerbang Multi Sejahtera diminta untuk tidak selalu menyalahkan aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat setempat sebab aksi yang dilakukan tentu dilandasi alasan yang jelas. Muhammad Roy menilai bahwa sejatinya manajemen PT Gerbang Multi Sejahtera yang memicu lahirnya konflik horizontal di tengah masyarakat sebab telah banyak mengambil sikap di luar dari ketentuan MoU.

Memang benar, sambung Roy, dalam MoU tersebut dijelaskan bahwa masyarakat lingkar tambang selaku Pihak Kedua berkewajiban menjaga keamanan Pihak Pertama, namun bukan berarti masyarakat tidak diperbolehkan untuk melakukan aksi unjuk rasa apalagi jika PT GMS telah melenceng dari Surat Perjanjian Kerjasama dan melanggar pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik.

“Selanjutnya kami juga meminta DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara dan Instansi terkait untuk memberikan sanksi tegas kepada PT Gerbang Multi Sejahtera atas pencemaran lingkungan yang terjadi di wilayah perairan Kecamatan Laonti. Kami mendukung DPRD Sultra untuk segera menerbitkan rekomendasi penghentian aktifitas PT Gerbang Multi Sejahtera” tutupnya.

Saat ditemui awak media tegas.co beberapa waktu lalu, Project Manager PT GMS, Muhammad Adis mengatakan, saat ini pihaknya telah berusaha melakukan seluruh kewajiban dalam MoU, seperti membantu pendirian masjid, telah mendirikan asrama mahasiswa Laonti, menyediakan bus keliling bagi siswa-siswi di Kecamatan Laonti, dan menyediakan ambulance laut bagi masyarakat, dan memberi bantuan kepada masyarakat lingkar tambang uang tunai sebesar Rp. 850.000,00 (delapan ratus lima puluh ribu rupiah) per kepala keluarga (KK) tiap bulannya.

Atas tuntutan masyarakat kepada pihaknya karena dugaan pencemaran lingkungan dan meminta uang kompensasi senilai Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per KK tiap bulannya bagi masyarakat pesisir, terus terang, pria dengan sapaan akrab Pongki itu menyatakan, untuk saat ini keuangan perusahaan belum menyanggupi.

“Kalau nilai yang diminta, kondisi perusahaan belum mampu memenuhi, untuk dana Rp. 850.000,00 per KK di 9 (sembilan) desa saja, perusahaan harus mengucurkan anggaran kurang lebih Rp.2.5 milyar setiap bulannya,” ungkap Pongki.

Di tempat berbeda, Ketua Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Andi Suwandi mengatakan, jika berbicara persoalan pencemaran lingkungan, maka setiap orang harus menilai secara objektif dengan melihat duduk perkara pencemaran secara komperhensip.

“Kalau Sultra memang ingin menerapkan lingkungan bersih tanpa pencemaran, maka kita harus berani memberhentikan tambang se-Sultra. Karena jika kita menelaah secara detail dan mendalam, seluruh tambang di Sultra rata-rata menghasilkan pencemaran lingkungan,” tukas anggota dewan provinsi itu.

Hal itu, tegas diungkapkan pimpinan komisi 3 itu, karena selama menjabat di kursi dewan, tak jarang Ia bersama tim selalu melakukan kunjungan langsung ke lokasi-lokasi tambang se-Sultra, usai mendapat laporan dari warga.

Seperti baru-baru ini misalnya, politisi PAN itu bersama anggota komisi 3 lainnya, didampingi beberapa staf dan awak media melakukan kunjungan kerja ke PT GMS, setelah melihat secara langsung warna air keruh di lokasi, kemiringan lereng, tingkat curah hujan, dan tinggi gelombang.

Petahana legislatif provinsi asal Wakatobi itu bersama tim, menarik kesimpulan sementara bahwa warna laut yang keruh, tidak semata-mata disebakan oleh ore PT GMS, tetapi juga karna curah hujan yang tinggi menyebakan tanah merah di area kemiringan dapat dibawa oleh air hujan ke hilir laut. Selain itu, akibat gelombang yang tinggi menyebabkan sedimentasi dan material di dasar laut naik ke permukaan, sehingga warna laut berubah menjadi keruh.

Namun, untuk menyelsaikan duduk perkara PT GMS dengan warga Kecamatan Laonti khususnya di area pesisir, pihaknya dalam waktu dekat akan segera memanggil ke dua belah pihak untuk melakukan rapat dengar pendapat (RDP) di gedung DPRD provinsi.

“Kita akan duduk bersama untuk mencari jalan tengah dari permasalahan ini, karena tidak ingin ada pihak yang dirugikan, baik itu pihak perusahaan atau masyarakat di lingkar tambang,” tukas ketua komisi.

Reporter : Ratkam.M, S.Kom

Editor : Yusrif/H5P

Komentar