TEGAS.CO.,NUSANTARA – Para Wakil Mentri (Wamen) di Kabinet Indonesia Maju akan diberikan bonus setelah masa jabatannya berakhir. Ini dilakukan setelah Presiden Jokowi meneken Perpres nomor 77 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres nomor 60 tahun 2012 tentang Wakil Mentri dan telah diundangkan pada tanggal 19 Agustus 2021. (Tribunnews.com, 30/8/2021)
Besaran bonus yang diberikan kepada para Wamen tersebut bernilai fantastis maksimal bisa mencapai Rp 580,4 juta yang disesuaikan dengan masa jabatannya. Menurut Pengamat Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah kebijakan adanya uang penghargaan akhir masa jabatan wakil mentri sebagai pengganti pesangon merupakan strategi efisiensi dari Pemerintah Pusat untuk menonaktifkan para Wamen ini karena menurutnya kinerjanya belum optimal dan efisien. (Tirto.id, 31/8/2021)
Berbeda pendapat dengan Trubus, anggota DPR RI dari Fraksi PAN Guspardi Gaus mengkritik Perpres ini. Menurutnya ketentuan tersebut kurang tepat dikeluarkan di masa pandemi yang belum usai. Bahkan keputusan tersebut tidak berbanding lurus dengan instruksi Presiden yang meminta semua pihak harus memiliki sense of crisis selama menghadapi pandemi Covid-19. (VOI.id, 3/9/2021)
Pemberian bonus apapun motif dan tujuannya sangatlah tidak efisien dan efektif di tengah pandemi yang masih melanda negeri ini. Sense of crisis yang sering digembar-gemborkan penguasa seolah hanya pepesan kosong bagi rakyat Indonesia. Anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk membantu rakyat yang semakin terhimpit akibat terdampak pandemi malah dipakai untuk menggemukkan rekening para Wamen.
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin menilai keberadaan Wamen ini tidak diperlukan khususnya di saat pandemi. Bahkan dia menduga keberadaan Wamen bukan untuk meningkatkan kinerja Kementrian tapi untuk akomodasi kepentingan politik saja.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno. Seharusnya Pemerintah Pusat mengoptimalkan kerja para mentrinya bukan malah menggemukkan kabinet dengan penambahan Wamen di tengah anggaran negara yang sedang seret akibat terpaan pandemi Covid-19. (fokus.tempo.co, 5/10/2020)
Sistem demokrasi yang dianut negeri ini adalah sistem pemerintahan yang memerlukan biaya politik yang sangat mahal. Siapa pun yang menjadi pemimpin, dari partai manapun berasal, tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Terjalinlah simbiosis mutualisme diantara para pemodal (kapital) dan para politikus. Para kapitalis menyediakan dana kampanye dan para politikus menyediakan basis massa.
Maka tak heran jika pemimpin yang berkuasa pasti membagi kekuasaannya kepada mereka yang telah berjasa dalam meraih kedudukannya saat ini. Pada akhirnya jabatan bukan lagi soal kapabilitas melainkan hanya sebatas membalas budi (politik balas budi) dan politik kekuasaan. Mereka yang mendapatkan “job” berada di lingkungan pemerintahan adalah para loyalis dan para penyokong kekuasaan.
Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa para Wamen adalah orang-orang yang berjasa dalam kemenangan pada saat kontestasi pemilu. Dalam demokrasi kedaulatan di tangan rakyat sejatinya tidak pernah ada. Rakyat hanya diperlukan pada saat euforia pemilu berlangsung. Sesudahnya mereka ditinggalkan begitu saja, gigit jari melihat para penguasa yang dipilihnya membagi-bagi bonus kepada para pejabat yang tidak berperan sama sekali untuk kesejahteraan mereka.
Adalah sebuah fakta bahwa pemimpin produk sistem demokrasi sekuler sesungguhnya para oligarki kekuasaan. Merekalah yang sejatinya berdaulat atas rakyat. Tidak ada dalam kamus demokrasi kesejahteraan rakyat dijadikan asas dalam menetapkan kebijakan dan undang-undang. Inilah wajah buruk demokrasi yang sesungguhnya.
Berbeda dengan Islam, kekuasaan mengangkat kepala negara memang berada di tangan rakyat melalui baiat. Namun tugas kepala negara bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat melainkan untuk melaksanakan kehendak dan kedaulatan Allah Swt. Kekuasaan tertinggi bukan di tangan rakyat tetapi di tangan Allah.
Karena akal manusia bersifat terbatas oleh karena itu yang berhak menetapkan hukum hanyalah Allah Swt. Seperti termaktub di dalam firman Allah yang artinya, “ Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dialah Zat Yang Maha Memutuskan kebenaran, sedangkan Dialah sebaik-baik pemberi keputusan.” (QS. Al An’aam : 57)
Tidak bisa dipungkiri Islam telah menghasilkan para pemimpin yang peka terhadap kondisi rakyat. Para pemimpin menjalankan tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Pemimpin di dalam Islam paham betul bahwa pelaksanaan tugasnya sebagai pelayan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Lahirlah para pemimpin yang sangat dicintai rakyatnya dan tertulis dalam tinta emas sejarah. Ada Umar Bin Khattab yang rela memanggul gandum puluhan kilometer jauhnya karena ada rakyatnya yang kelaparan. Bahkan ketika pandemi melanda, Beliau rela hanya memakan roti yang keras demi mengingat rakyatnya yang sedang kesusahan. (Buku The Great of Two Umar)
Ada Umar bin Abdulaziz dimana selama 3 tahun kepemimpinannya bisa memberantas korupsi bahkan menciptakan kemakmuran dimana tidak ada satupun rakyatnya yang berhak menerima zakat. Mereka lah sosok teladan kepemimpinan di dalam Islam. (Buku The Great of Two Umar)
Karena pemimpin di dalam Islam adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas dan integritas untuk menegakkan hukum Allah yang niscaya akan memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan meningkatkan keimanan rakyatnya. Maka terciptalah Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam (rahmatan lil’alamin)
Sudah seyogyanya sistem demokrasi dicampakkan karena terbukti hanya dijadikan alat segelintir orang untuk meraup keuntungan pribadi atau golongan. Sistem ini terbukti cacat dalam pelaksanaanya, slogan suara rakyat adalah suara Tuhan hanya sebatas mitos. Nyatanya sistem demokrasi semakin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan dan kemakmuran.
Penulis: Ika Nur Wahyuni
Editor: H5P
Komentar