TEGAS.CO,. NUSANTARA – Ditengah kondisi pandemi yang semakin parah membuat masyarakat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlebih lagi, saat ini masyarakat harus menerima kenyataan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan anggaran sebesar RP 86,2 triliun untuk membiayai penyelenggaraan Pemilu 2024.
Usulan tersebut naik 4 kali lipat dari anggaran pemilu 2019 (Rp25,59 triliun). Sedangkan untuk pilkada anggaran yang diusulkan mencapainRP 26,2 triliun.
Mengingat di 2022 mendatang telah masuk tahapan pemilu, sehingga KPU meminta dukungan dana yang dibutuhkan sekitar Rp 13,29 triliun. Dengan princian Rp 4,25 triliun untuk program penyelenggaraan pemilu dalam proses konsolidasi demokrasi, sisanya (Rp 9,04 triliun) untuk program dukungan manajemen KPU (nasional.kontan.co.id, 16/9/2021).
Prokontra bermunculan ditengah masyarakat. Banyak kalangan yang menilai bahwa anggaran tersebut terlalu tinggi. Terlebih melihat kondisi perekonomian negara yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi.
Seperti yang disampaikan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sultan B. Najamudin bahwa seharusnya anggaran fokus pada pembenahan sistem managemen kesehatan dan pendidikan, serta upaya pemulihan ekonomi nasional.
Sehingga pesta demokrasi tidak layak dirayakan ditengah meningkatnya angka kemiskinan rakyat. (republika,co,id,19/9/2021).
Melihat anggaran pemilu yang terus naik, Sultan meminta pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali sistem Pemilu Langsung Indonesia yang membutuhkan anggaran fantastik. Ia berpendapat bahwa Pemilu yang cenderung dengan pemborosan dalam segi dana bisa mengakibatkan kerentanan sosial.
Pemilu bagaikan industri dalam demokrasi. Biaya Pemilu yang besar mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan anggaran, belum lagi ditambah dengan modal pemilu milik partai politik dan capres.
Demokrasi yang dikangkangi kepentingan oligarki, maka demokrasi itu sudah menjadi industri demokrasi. Yaitu sistem politik yang dipenuhi oleh transkasi kepentingan, mengejar kekuasaan dan mewujudkan perwakilan oligarki. Alatnya adalah berita bohong-hoax, bisnis konflik komunal antar suksu, agama dan golongan.
Core businis dari industri demokrasi adalah politk uang dan korupsi sesuai dengan kepentingan pemilik modal. Pemilu juga menjadi ajang adu kuat antara pemilik modal dan oligarki. Sehingga terjadilah politik transaksional yaitu jual beli jabatan dan kebijakan yang senantiasa membingkai kinerja mereka.
Maka jangan heran jika kebijakan hanya berputar pada kepentingan korporasi sang pemilik harta dan oligarki sang pemilik kuasa.
Mahalnya biaya pemilihan datang dari prinsip demokrasi yakni kekuasaan ada ditangan rakyat. Kekuasaan rakyat diukur dari cakupan dan besarnya partisipasi dalam sebuah pemilihan.
Oleh karena itu, jika pemimpin ingin dipilih maka harus mengadakan sosialisasi pendekatan dengan membangun loyalitas dengan rakyat. Semakin banyak calon, maka semakin banyak persaingan dalam memenangkan suara. Artinya, harus banyak dana digunakan dalam proses kampanye. Banyaknya dana anggaran negara untuk biaya pemilu berbanding terbalik dengan kinerja pemerintah untuk menuntaskan atau menyelesaikan problem (permasalahan) rakyat.
Rakyat yang begitu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bahkan sulit untuk bangkit karena pandemi. Rakyat pun menjerit karena dimasa sulit ini pemerintah membuat berbagai macam kebijakan yang semakin menyulitkan dan membebani rakyat. Kini pemerintah ingin menaikkan anggaran pemilu yang dinilai naik drastis empat kali lipat, hanya demi pesta demokrasi yang hanya akan dinikmati oleh segelintiran orang saja. Sedangkan kesulitannya dirasakan oleh rakyat.
Selain itu juga harus diperhatikan, bahwa kondisi keuangan negara tidaklah stabil terlebih dimasa pandemi. Oleh karena itu besar kemungkinan dana yang berjumlah ratusan triliun yang akan dikeluarkan untuk pesta demokrasi berasal dari hutang.
Adapun faktor lain, adanya konsep pembatasan kekuasaan dengan batasan jabatan disetiap periode, akan sulit membuat para calon untuk membangun kepemimpinan ditengah masyarakat. Sehingga kebanyakan calon pemimpin menggunakan jalan pintas untuk mendapatkan dukungan yakni dengan menawarkan interest berupa dana bantuan pada masyarakat dengan nilai yang tidak sedikit.
Problem pemilu, mulai dari anggaran yang fantastis hingga politik uang, seharusnya jadi pelajaran bagi masyarakat. Bahwa pejabat yang lahir dari sistem pemilu demokrasi tidak akan pernah melayani umat, kecuali hanya sedikit yang itu pun hanya untuk politik pencitraan saja.
Apalagi pemimpin yang mau menerapkan hukum Allah swt yang nyata-nyata bisa mensejahterakan rakyat. Sebagaimana para pemimpin islam yang dahulu telah berhasil mensejahterkan rakyat. Sesungguhnya pemimpin yang adil tidak akan ditemukan di sistem demokrasi, karena pemimpin di sistem demokrasi hanya akan mecetak pemimpin yang rakus dan haus akan kekuasaan.
Agama hanya dijadikan alat untuk politik identitas demi meraup suara.
Dalam sistem Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota Majelis Umat, serta salah satu cara untuk memilih calon kepala negara (khalifah). Fakta Majelis Umat dalam sistem Islam sangat berbeda dengan sistem demokrasi.
Keanggotaan majelis umat terdiri dari muslim dan non muslim, laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi non muslim tidak diperkenankan untuk memberikan apirasi dalam pemerintahan maupun hukum. Mereka hanya berhak menyampaikan koreksi atau aspirasi yang berhubungan dengan penyelenggaraan atau penerapan hukum negara.
Metode dalam pengangkatan pemimpin adalah dengan Bai’at yakni janji setia pemimpin untuk melaksakan kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah saw, serta bagi rakyat dituntut ketaatan dalam kondisi senag dan susah, sempit dan lapang. Seleksi calon khalifah menyaratkan syarat-syarat in’iqad yakni: muslim, laki-laki, baligh, yang berakal, adil, dan mampu.
Metode Pemilihan dan pengangkatan khalifah dilangsungkan melalui tiga tahapan yakni pertama, calon khalifah dibatasi Majelis umat dengan cara menyeleksi orang-orang yang tidak memenuhi syara-syarat iniqad. Kedua, pemilihan dilakukan oleh sebagian umat, hingga diperoleh seorang calon yang menempati jabatan kepala negara (Khalifah). Ketiga, Pembaiatan terhadap orang yang mendapatkansuara terbanyak menjadi khalifah, untuk menjalankan kitabullah dan sunah rasul.
Semua rangkaian pemilihan dan pengangkatan (bai’at) hanya untuk pemilihan pemimpin negara. Adapun pemilihan para wali (pemimpin wilayah) dan amil, maka akan dipilih dan diangkat oleh khalifah. Masa jabatan pemimpin didalam Islam tidak dibatasi waktu (periodisasi).
Hal ini akan memberikan waktu yang panjang bagi seseorang untuk membangun kepemimpinan secara alami ditengah umat, hingga seorang calon pemimpin tidak membutuhkan lagi kampanye untuk memperkenalkan dirinya. Inilah yang membuat pengangkatan pemimpin (kepala negara) dalam islam sederhana dan tidak butuh biaya yang besar.
Demikianlah, Islam memberikan memberikan solusi dalam setiap permasalahan umat. Hanya dengan menerapkan Islam kaffahlah akan mensejahterakan rakyat. WallahuA’lam.
Penulis :Atik Susilawati S.pd (Tenaga pendidik Muslimah)
Editor : Yusrif Aryansyah
Komentar