16 Tahun Tertunda, Ali Mazi Kembali Perjuangkan UU Daerah Kepulauan

Gubernur Sultra saat mendampingi wakil ketua DPD RI memukul gong

Dia melanjutkan, di tengah kondisi tersebut terlebih dihadapkan pada pandemi Covid-19, terdapat berbagai persoalan, salah satunya pada bidang pendidikan, dimana menganjurkan anak-anak untuk belajar secara virtual.

“Bisa dibayangkan bagaimana nasib anak-anak ini selama pandemi. Mereka adalah anak-anak kita, pejuang, penerus, dan pengganti kita dimasa depan. Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan yang sama sesuai standar nasional, tentu ini sangat memprihatinkan. Inilah salah satu permasalahan nyata dialami daerah kepulauan, yang wajib kita perjuangkan, agar pembagian kue bisa merata. Daerah Sultra merupakan salah satu daerah kaya, kita memiliki kelautan luar biasa, pertambangan, daratan, pertanian, hingga perkebunan, tetapi sampai hari ini masih miskin dan termiskin,” keluhnya.

16 tahun silam, masih dia, ketika menjadi Gubernur Sultra pada periode pertama, dan kini kembali menjadi Gubernur Sultra periode kedua, berharap agar perjuangan mendorong UU Daerah Kepulauan bisa terwujud kan, dalam rangka memperjuangkan hak-hak daerah kepulauan yang memiliki karakteristik daerah tersendiri.

“Bagaimana mungkin bisa, daerah-daerah kepulauan di negara ini jumlah DAU-nya dihitung melalui jumlah wilayah dan penduduk. Tentu tidak akan bisa sama dengan di Pulau Jawa. Salah satu kabupaten di Bogor saja, jumlah penduduknya mencapai 6 juta, sedangkan Sultra se-provinsi hingga hari ini hanya 3 juta jiwa terus, bagaimana cara menghitungnya. Waktu saya jadi Gubernur Sultra periode 2003-2008, jumlah penduduk kurang lebih 3 juta jiwa, kok hari ini menjadi 2 juta 7 ratus jiwa. Apalagi dihitung dari jumlah wilayah, saat air laut surut itu bisa mencapai 3 kilo meter jauhnya, namun saat airnya naik kembali, kepulauan hampir-hampir tidak memiliki daratan lagi. Jadi memang harus ada pertimbangan kepulauan,” paparnya.

Dia mengungkapkan, di Sultra terdapat Suku Bajo yang merupakan warga asli Indonesia, dimana memiliki wilayah tetapi tidak mempunyai hak, diantaranya tidak memiliki hak keperdataan dengan alasan Suku Bajo mendirikan rumah di laut. Sedangkan Sultra menerima transmigrasi dari daerah Jawa, begitu tiba di Sultra langsung diberikan hak keperdataan dua hektare dan segala kebutuhannya, sedangkan masyarakat Suku Bajo yang ada di pesisir pantai Sultra, tidak memiliki hak keperdataan.

“Jadi bagaimana mungkin Suku Bajo ini bisa memperjuangkan hak-haknya seperti orang-orang kita yang ada di daratan. Padahal mereka merupakan garda terdepan dalam menghadapi serangan dari laut dan mengelola laut dengan baik. Suku Bajo hidup sebagai nelayan tradisional, mereka bisa makan dan hidup tetapi tidak memiliki uang tunai, sehingga sulit memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Ini salah satu hal yang sangat memprihatinkan,” ucapnya sedih.

Komentar