Status Abu-abu UU Ciptaker

Opini731 Dilihat
Status Abu-abu UU Ciptaker

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Putusan MKRI No. Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU No. 11 Tahun 2020 dikeluarkan pada 26 November 2021 lalu. Putusan ini menuai kontroversi karena syarat ambiguitas.

Isi putusan tersebut diantaranya menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 ini inkonstitusional bersyarat. Namun, UU tersebut masih dinyatakan berlaku sembari dilakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 tahun sejak keluarnya putusan tersebut.

Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Denny Indrayana memberikan komentar terkait putusan MKRI tersebut. “Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Cipta Kerja, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku,” ungkapnya. (CNBCIndonesia, 27/11/2021).

Hal senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti. Menurutnya, inkonstitusionalitas UU Ciptaker karena putusan MK, bukan saja terhadap formil atau proses, melainkan juga mencakup materiil atau isi. (CNBCIndonesia, 02/12/2021)

Syarat Kepentingan

UU Ciptaker disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu, dan mulai berlaku pada 2 November 2020. Dalam proses penggodokannya, kritik telah datang dari berbagai kalangan.

Berkali-kali buruh turun untuk menyatakan penolakan mereka terhadap UU yang semakin memangkas hak mereka tersebut.

Selain buruh, ada tokoh agama, akademisi, aktivis lingkungan, pers bahkan komika, satu suara menolak disahkannya RUU Ciptaker yang kini telah menjadi UU No. 11 Tahun 2020.

Kendati banyak penolakan, pemerintah tetap kekeuh untuk mempertahankan lahirnya UU ini. Dalih mendongkrak investasi dan menciptakan lapangan kerja dijadikan bumper untuk tetap melanjutkannya.
Padahal undang-undang ini sangat berpotensi merugikan rakyat, buruh, dan menyebabkan kerusakan lingkungan.

Maka tidak berlebihan jika Direktur Eksekutif Center of Development Studies dan juga tenaga ahli DPR RI Adhi Azfar, menyatakan bahwa UU tersebut pro asing.

“Kapitalis asing sudah lama hadir menguasai kekayaan alam Indonesia. Dengan disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, mereka kini sedang mempersiapkan ‘selametan’ pesta besar. Masuk ke tanah air makin merajalela,” kata dia dalam pernyataan tertulis yang diterima detikcom, Senin (5/10/2020).

Uji materiil dan formil pun diajukan. Namun, pemerintah sempat mengajukan permohonan kepada MKRI untuk membuat beberapa keputusan. Di antaranya, Menyatakan pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing; Menolak permohonan pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja para pemohon untuk seluruhnya; Menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker tidak bertentangan dengan UUD RI 1945. (CNBCIndonesia, 17/06/2021).

DPR sebagai penyambung aspirasi rakyat, justru mengeluarkan suara yang bertentangan dengan suara rakyat. Dari sembilan fraksi, ada enam fraksi yang mendukung undang-undang tersebut.
Inilah fakta pahit kehidupan yang diatur dengan sistem sekuler-kapitalis. Rakyat telah berusaha menolak aturan yang berpotensi menciderai hak-hak mereka. Namun, hasilnya sangat mengecewakan.

Sistem Ramah Rakyat

Bertolak belakang dengan sistem sekuler-kapitalis yang cenderung memihak penguasa dan pengusaha serta abai terhadap rakyat, Islam mempunyai aturan tersendiri dalam mengatur urusan rakyat.

Islam menjadikan penguasa sebagai pemegang amanah untuk mengatur urusan rakyatnya dan ia akan diminta pertanggungjawaban di akhirat.

Berangkat dari paradigma di atas, maka seorang pemimpin dalam Islam akan bekerja sebaik mungkin agar rakyat yang dipimpinnya hidup sejahtera. Ia akan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat mendatangkan kemaslahatan bagi rakyat.

Kendati demikian, penguasa adalah seorang manusia yang tak lepas dari salah dan khilaf. Maka, ketika penguasa melakukan kedzoliman, rakyat berhak mengadukannya ke mahkamah madzolim.

Mahkamah madzolim dipimpin oleh seorang Qodhi, yaitu Qodhi madzolim. Mahkamah ini berwenang untuk mengawasi kedzoliman penguasa maupun pejabat negara lainnya. Ia juga berwenang memantau penyimpangan kepala negara terhadap hukum syariat, nash-nash syariat, konsitusi, dan undang-undang yang telah dilegalisasi oleh negara. Mahkamah Madzalim juga berwenang mengontrol kebijakan-kebijakan publik yang berdampak pada kedzaliman, seperti kebijakan penetapan pajak, dan lain sebagainya.

Syaikh Ali Thanthawi dalam Qashah Min al-Tarikh; Qisshah Qadhiyyah Samarkand menggambarkan keindahan dan keadilan Islam meski kepada ummat non muslim sekalipun.

Saat pembebasan Samarkand oleh Panglima Qutaibah bin Muslim yang tidak sesuai prosedur syari’ah, rakyat Samarkand mengadukan penyimpangan tersebut.

Mereka mendatangi Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz untuk meminta keadilan. Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz pun mengangkat seorang Qodhi untuk menangani perkara tersebut. Karena terbukti bersalah, maka Qodhi memberikan keputusan agar Qutaibah bin Muslim menarik pasukannya dari Samarkand. Dan di luar dugaan, penduduk Samarkand justru berbondong-bondong masuk Islam karena melihat dengan jelas keindahan Islam.

Betapa mudahnya meminta keadilan kepada orang-orang yang beriman kepada Allaah dan hari akhir. Keadilan tegak karena adanya penguasa yang bertaqwa dan institusi yang diatur berdasarkan syari’ah Islam. Tidakkah kita merindukan nya? Wallaahu a’lam bishowab

Penulis : Ummu Arrosyidah

Editor: Yusrif Aryansyah

Komentar