Kegigihan Rusdianto, Mengalir Darah Panglima Cama’

IMG 20211215 130137
Kegigihan Rusdianto, Mengalir Darah Panglima Cama’

TEGAS.CO,. NASIONAL – Penulis cukup dekat bersahabat dengan Bung Rusdi, sapaan dari Rusdianto Samawa. Penulis mengenalnya lewat berbagai tulisan. Bertemu juga. Sangat sering berjumpa di Makassar. Penulis bersaksi Bung Rusdi adalah orang baik, ikhlas berjuang, totalitas dan setia kawan nilainya tinggi.

Penulis pernah menginap dirumah mertuanya di Jampu-jampu Watutoa Watan Soppeng. Desa yang asri, pohon Cemara sangat lebat. Kebun keluarga mertuanya penuh cokelat dan kemiri. Asal usul Istrinya dari keluarga sederhana. Keluarga suka merantau ke negara lain, katakan Malaysia. Istrinya saja lahir di Malaysia.

Alkisah Bung Rusdi ketemu istri tak pernah pacaran, cukup ta’aruf. Istri yang alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bone itu, anggun sekali dan cantik. Keluarga yang memiliki nilai keluhuran tinggi dan memahami arti perjuangan hidup. Karena faktor kebiasaan rantauan.

Pertemuan dengan istrinya, saat dikejar aparat karena kegigihan Bung Rusdi melawan kebijakan tak ramah di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penulis sendiri, sangat mengetahui apa yang dirasakan Bung Rusdi. Curhatnya panjang lebar.

Beberapa tahun belakangan, sejak 2017 hingga 2020 kemaren intens keliling pesisir Sulawesi Selatan hingga pulau – pulau kecil bersama Bung Rusdi. Penulis sendiri sebagai Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI) Wilayah Sulawesi Selatan – Indonesia mengakui, kecerdikan, kepintaran, kegigihan dan keuletan bung Rusdi.

Apalagi dalam membangun agitasi dan propaganda, kata-kata pidato dalam menjelaskan situasi sosial ekonomi masyarakat pesisir, membuat telinga para nelayan, pembudidaya dan petambak merinding. Khawatirnya, ada orang lain mengawasinya.

Tahun – tahun 2017 itu, Rusdianto ditentukan takdir oleh Allah. Hanya Allah tempat kembali. Penulis sebagai ketua nelayan hanya mampu melindungi, memberi saran, menyemangati. Karena, beberapa media, waktu itu Bung Rusdi menjadi tersangka dan dalam pengawasan ketat para intelijen dalam berbagai aktivitas.

Tetapi, penulis merasa bangga sekali. Bangga. Memang Bung Rusdi tak ada takutnya. Penulis keliling bersama Bung Rusd membangun simpul pergerakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Ditengah masa persidangan atas kasus kriminalisasi terhadap dirinya, ia tetap menyerukan agar satu barisan, satu jalan dan satu komando untuk bertarung dan melawan kebijakan zalim.

IMG 20211215 WA0004Sebagaimana Bung Rusdianto cantumkan dalam puisi dan sajak perjuangan nelayan menghadapi Pengadilan, sajak ini dimuat oleh media RakyatMerdekaOnline pada 2017 lalu:

DARI PENGADILAN, AKU BERSERU

Kawan-kawan:
Hari – hari ini kita akan bertahan atau mati dikalang masa tergantung nurani kita dalam sebuah kebersamaan. Perjuangan ini penting untuk diteruskan, jangan menyerah, jangan gembira, jangan jumawa. Mari bersama, bersatu dalam sebuah perjuangan ini. Kursi, tembok, palu dan meja sidang akan menghujam uluh hati para pejuang.

Biarkan pengadilan ini sebagai obat rindu dan cinta para penguasa untuk kita. Pengadilan ini hanyalah hembusan-hembusan setan-setan ketidakadilan. Besok hingga tidak tau sampai kapan, akan mulai sidang untuk mengadili saya yang fana ini. Besok jam 08.00 pagi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kawan-Kawan:
Hari – hari ini, dimulai sebuah pengadilan atas perlawanan kita selama ini. Memang perjuangan adalah pengadilan, maka jangan kawan-kawan gentar, mari – mari kita hadapi secara kesatria.

Kawan-kawan:
Hari – hari ini, andaikan aku sendiri, hilang, mati, dan tak ada lagi nafas. Aku ingin tinggalkan sebuah prasasti nurani “andai kalian jadi pejabat terbukalah untuk dikritik, peliharalah rakyat, ajaklah rakyat duduk, hidup welas asihlah bersama mereka, bersihkanlah keringat mereka, jangan biarkan mereka lapar. Karena rakyat lapar, disuatu saat nanti kita akan menemukan pengadilan dihari kemudian nanti, selagi pengadilan itu tidak kita dapatkan di dunia ini. Kawan hiduplah bersama rakyat mu, kau jangan jauh dari bau keringat mereka.. selamat”.

Kawan-Kawan:
Hari-hari ini, biarkan aku yang menanggung semua ini. Kawan-kawan nelayan cukup melaut dengan gembira, aku akan gembira bahagia. Jalan ini sangat getir, perjuangan kita kali ini harus dihadapi dilaut, didarat, dihukum, dibunuh dan bahkan ancaman tembak. Sesungguhnya, perjuangan ini ku semayamkan untuk kawan-kawan. Jangan berkecil hati, jangan rimpuh atas pendirianmu, tegakkan kebenaran, jangan adili hati dan pikiranmu dengan kegagalan. Perjuangan ini haruslah menang.

Kawan-kawan:
Sedih, susah, cinta, asa, dan nasib, akan jadi pertanggungjawaban pada saatnya. Aku akan tetap bersama kalian, pengadilan ini hanyalah busa-busa sabun beterbangan. Suatu saat nanti pedang-pedang mujahid sejati akan merosok kerosok ditengah selangkangan mereka. Suatu ketika nanti, otak-otak mereka akan kita benturkan hingga mati dipadang keranda. Pedang-pedang perjuangan ini akan menyelinap menghujam dalam jantungnya nanti.

Kawan-kawan:
Hari-hari ini, jangan tinggalkan medan, jangan lari, jangan pengecut, jangan meninggalkan nafas hidup ideologis kita, cukup aku yang rasakan. Mulai esok kita bersidang, kita bersidang lawan kezaliman ini.

Beberapa hari ini aku berusaha melawan dengan mengunggah banyak tulisan dan pergerakan yang aku kira mulia, usaha ku untuk keluar dari masalah ini, walaupun aku sendiri hadapi ini. Ini termasuk buah dari kerja keras kita bersama untuk kawan-kawan. Minimal kawan-kawan bisa melaut dengan tenang.

Saya cukup mengarunggi samudera pengadilan ini secara kesatria melawan penguasa. Walaupun aku sendiri. Satu hal lagi ingin ku pekikan “Aku layani pengadilan ini, karena aku cinta pada semua pemimpin. Karena pemimpin yang bebal hadrus itulah harus dilawan”.

Sekian kawan-kawan, semoga kalian sehat selalu….

Itulah, puisi dan sajak yang diutarakan Rusdianto, sejak ditetapkan tersangka dan berkasnya di limpahkan ke Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kita bisa bayangkan, betapa pilu, hancur dan mental yang dialami Rusdianto. Tetapi, penulis sendiri melihat, mengamati dan mendengar. Rusdianto seorang yang kuat, gigih dan tangguh. Tak surut mental perlawanannya, dikala kekuasaan menghalau perjuangannya.

Fakta lain dari Bung Rusdi memiliki jaringan keluarga di Jeneponto, Gowa, Takalar dan Mangara Bombang. Penulis menyaksikan sendiri, keluarga yang mengetahui Rusdianto keturunan Panglima Cama’ bersimpuh dan memanggil Bung Rusdi “Dea.” Panggilan Dea ini sebutan orang keturunan darah biru atau keturunan para sultan di Pulau Sumbawa.

Panglima Cama’ sendiri, melakukan perjalanan pindah dari Gowa ke wilayah Sumbawa, yang sekarang dikenal Labuhan Bontong (Labu Bonto) bersama pasukannya. Setelah mereka mengarungi samudera biru laut Pulau Panjang, Pulau Moyo, Teluk Saleh hingga Pulau Depi Ai Nanga Rea. Mengawal Sultanah Siti Aisyah Bontolangkasa. Konon, Panglima Cama’ masih sepupu dengan Sultan Gowa Daeng Mamaro Manggara Bombang Bonto Langkasa VI. Memang nampak sekali, semangat yang ada pada Bung Rusdi mencerminkan semangat dan kegigihan Panglima Cama’.

IMG 20211215 WA0001Menurut cerita keluarga di Jeneponto maupun takalar itu. Panglima Cama’ seorang tokoh panutan pergerakan dan pendakwah Islam di Gowa dan sekitarnya. Pernah dinobatkan Panglima Komando Tentara Kesultanan Gowa yang bertugas memimpin perang melawan penjajahan Portugis dan Belanda. Merupakan keturunan dari Sayyed Manggara Bombang, Cikoang Takalar. Seorang Panglima Cama’ juga pejuang masyarakat pesisir yang banyak dedikasikan pada pembukaan lahan ekonomi garam pada masyarakat takalar dan Jeneponto yang menyebrang ke Labu Bonto (Red: baca Labuhan Bontong).

Buktinya, Panglima Cama’ mewariskan puluhan hektar tanah lahan garam di Labuhan Bontong Sumbawa saat migrasi (pindah) dari Sulawesi (Bone) menuju Sumbawa melalui jalur laut. Lahan – lahan garam yang diberikan oleh Panglima Cama’ kepada para sultan perang (anak buah) atau tentara Kesultanan Gowa yang dominan berasal dari Cikoang Takalar setelah sampai di Nanga Perung sekitar Dewa Butil Labuhan Bonto (Red: Bontong) Sumbawa.

Menurut Fenny YL Budiman (2017) seorang wartawan dalam laporan beritanya “Gigih Melawan Kebijakan Tak Ramah” Media Agro Indonesia pada 18 April 2017, bahwa nampaknya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan menghadapi perlawanan berat dari Front Nelayan Indonesia yang akan melawan sejumlah kebijakan “tak ramah” Menteri Kelautan dan Perikanan. Rusdianto sendiri menuding kebijakan itu sangat merugikan nelayan, masyarakat yang seharusnya diangkat dan disejahterakan.

Laporan Fenny YL Budiman (2017) pertegas sikap konsisten Rusdianto yang menyebut beberapa produk hukum KKP dapat menyengsarakan nelayan dan masyarakat pesisir, seperti Permen No 56/2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap. Kemudian Permen 57/2014 tentang Larangan Transhipment. Lalu, Permen 01/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan. Termasuk Permen 32/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup. Lalu, Permen 71/ 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan, beleid Permen 02/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WPP NRI. Selain itu, PP 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang naik.

Masih kata Fenny YL Budiman (2017) dalam pemberitaannya bahwa Rusdianto, mengugat dan perkarakan sejumlah kebijakan KKP yang fenomenal itu dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung terhadap berbagai Permen yang merugikan nelayan dan dunia perikanan. Dampak kerugiannya di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah berdampak pada 302 kapal cantrang, 1.430 alat tangkap dogol, 4 unit payang dan 300 kapal pencari rebon untuk bahan terasi yang tidak dapat beroperasi.

Rusdianto juga beberkan alasan, mengapa dilakukan perlawanan karena buntut peraturan tersebut, “berdampak pada 12.424 tenaga kerja yang terdiri dari 4.832 anak buah kapal (ABK) cantrang, 5.720 ABK dogol, 72 ABK payang dan 300 ABK kapal pencari rebon terancam menganggur. Jumlah tersebut belum termasuk 1.500 orang yang beraktivitas di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasik Agung, Rembang yang juga terancam kehilangan pekerjaannya.” ungkap Rusdianto kenang alasan ia berjuang saat itu.

Belum lagi, 10 perusahaan pengelolaan ikan di Kabupaten Rembang yang sudah duluan gulung tikar karena kekurangan bahan baku akibat Permen KP 2//2015. Sekitar 7.000 orang pun terancam pemutusan hubungan kerja. Masih di Rembang. Sebanyak 104 industri pengolahan ikan skala kecil terancam berhenti berproduksi dan ini berdampak pada hajat hidup 5.200 orang yang terlibat langsung di dalamnya.

Kemudian pedagang bakul ikan eceran kena getahnya. Ibu-ibu rumah tangga nelayan kehilangan pekerjaan, tidak ada lagi dagangan disentra pelabuhan atau Tempat Pelelangan Ikan. “Permen 71/2016 harus dicabut atau ada upaya direvisi khusus pasal alat tangkap cantrang, dogol, payang dan alat pencari rebon agar dapat dioperasikan kembali dengan berbagai penyempurnaan regulasi,” Kenang Rusdianto.

Jejak wawancara dengan Fenny YL Budiman (2017) Agro Indonesia itu, Rusdianto memberi alasan, pandangan, reaksi dan aksi yang dilakukan Front Nelayan Indonesia (FNI) bahwa kesalahan urus terhadap nelayan dan masyarakat perikanan. Regulasi sekarang bumihangus pendapatan masyarakat pesisir. Kesannya, pemerintah tidak mengerti dalam mengurus lautnya. Semua dibungkus dengan cita-cita pembenahan nelayan dan lingkungan. Konsep-konsep yang dimunculkan cuma untuk pencitraan saja. Mentoknya, paling menawarkan asing untuk menanganinya. Jadi semakin kusut di laut.

Menurut Rusdianto sendiri menilai “pemerintah melakukan pelanggaran dan menabrak undang-undang. Artinya, kita punya peluang sejahtera kalau urusan nelayan dan masyarakat perikanan ini tidak salah urus. Selama ini kebijakan sangat merugikan nelayan dan masyarakat pesisir. Kebijakan tersebut tidak pertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan hukum. Padahal, potensi perikanan tangkap sangat besar. Seharusnya lebih meningkatkan kinerjanya. Tanpa harus melarang alat tangkap sebagai hak hidup, hak melaut dan hak menangkap ikan oleh nelayan.” kata Rusdianto saat itu, semasa diwawancara wartawan Agro Indonesia

Menurut Ilham Rahmansyah Ketua Gerakan Pemuda Nasional (Gepena), bahwa Rusdianto memiliki pengetahuan yang baik dan luar biasa. Pentingnya, menguasai seluruh paradigma kebijakan kelautan perikanan. Maka, kalau Menteri Kelautan dan Perikanan, mestinya harus berasal dari kalangan nelayan atau orang yang dekat dengan nelayan. Dia pasti mengerti permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh nelayan, seperti Rusdianto yang hampir setiap hari mendengar curhatnya masyarakat pesisir,” kata Ilham Rahmansyah dalam memberi pandangan terhadap pribadi Rusdianto, Selasa (8/12).

Ilham Rahmansyah sendiri sangat mengenal Rusdianto Samawa Ketua Front Nelayan Indonesia (FNI), menurutnya, dedikasinya dalam memperjuangkan nelayan tidak diragukan lagi, demi perjuangkan nasib nelayan yang menderita karena kebijakan. Rusdianto sudah dikenal ‘dari nelayan, oleh nelayan, untuk nelayan’ akan begitu berasa ketika pos kementerian atau jabatan apapun nanti, dipegang oleh nelayan. Dengan demikian, nelayan bukan lagi menjadi anak tiri di laut teritorial Indonesia.

Secara pribadi Ilham Rahmansyah sangat suka dengan kata – kata Rusdianto, saat datang silaturahmi bersama nelayan di Pandeglang Banten tahun 2017 – 2019 lalu; “jangan ada lagi, kehidupan nelayan identik dengan kemiskinan dan kekumuhan. Jangan lagi biarkan kezaliman menimpa nelayan. Maka, nelayan harus sejahtera dan berdaulat di negeri sendiri.” Itu kata dan kalimat yang seringkali diucapkan Rusdianto.

Dilansir dari media, saat diwawancara seorang Heru Triyono wartawan Lokadata pada 30 November 2020 lalu, bahwa Rusdianto sudah peringatkan sala satu menteri kelautan dan perikanan saat itu. Memang Rusdianto memberi nasehat sebagai aktivis nelayan, ia telah melihat dari dekat nasib nelayan sejak lama. Mulai dari nelayan yang kesulitan bersaing dengan perusahaan perikanan besar, sampai gonta-ganti aturan yang memberatkan pundak nelayan-nelayan itu.

Rusdianto bukan cuma dikenal suka mengadvokasi nelayan. Juga dikenal kritis, yang membuatnya pernah dipolisikan oleh Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan ketika itu. Salah satu yang ia kritik adalah tentang pelarangan penggunaan 72 cabang alat tangkap, utamanya cantrang. Tapi dirinya tak sempat dipenjara. Namun, fase itu sudah lewat. Bagi Rusdianto, “situasi nelayan kembali tidak karuan. Apalagi setelah ditangkapnya sala satu menteri yang pernah ia dukung yang berimbas pada penghentian sementara ekspor benih lobster.

Membaca otentiknya Rusdianto, memang penuh kontroversi. Semua bentuk pembelaan urusan rakyat dilakukannya. Kegigihan perjuangkan hak rakyat ini, menjadi cerminan kaum muda sekarang. Mungkin saja, Rusdianto pemikirannya dipengaruhi oleh banyak pemikir – pemikir sosial politik seperti Jhon Jacques Rosseau, Karl Marx, Hasan Hanafi. Kalau sisi dasar – dasar Ilmu Pemerintahan, Rusdianto sedikit banyak membaca buku Kybernologi. Pemikiran Islam di dominasi oleh pemikir-pemikir Sayyid Qutub, Ibnu Khaldun, Kiyai Hasyim As’ari dan Kiyai Ahmad Dahlan. Kalau pergerakan politik ke-Indonesiaan, Rusdianto sangat banyak karya tentang Pancasila, sosial ekonomi, sejarah Indonesia lebih dominan pada pemikiran Soekarno Presiden pertama RI.

Interaksi dengan pemikiran Rusdianto dan model gerakannya lebih dominan pada beberapa orang tokoh pemikir yang menafsirkan kehidupan sosial politik ekonomi kemasyarakatan dan keagamaan seperti Kiyai Ahmad Dahlan, Kiyai Hasyim Asy’ari dan Soekarno. Faktanya, banyak buku karya Rusdianto tentang Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Demokrasi, Pancasila dan buku – buku gerakan spektrum Soekarno. Tentu tidak lupa, basis sikap dan karakter Rusdianto secara genetik, bisa kita baca berlandaskan pada gaya, karakter dan prototype Panglima Cama’ sebagai tokoh pejuang masyarakat pesisir yang merupakan leluhur Rusdianto sendiri.

Itulah yang mencerminkan Rusdianto kegigihan dalam berjuang melawan kebijakan sektor Kelautan dan Perikanan. Bagi Rusdianto, pemerintah, gagal melihat potensi perikanan sebagai kepemilikan bersama rakyat. Pemerintah, bagi Rusdianto, harus responsif terhadap persoalan yang dihadapi nelayan dan masyarakat pesisir. Sehingga masyarakat tidak lagi menderita. Kegigihan Rusdianto dapat dibaca dalam berbagai jejak rekamnya perjuangkan nasib rakyat, utamanya masyarakat pesisir. Tetapi, Rusdianto tetap mengatakan sesuatu yang benar dan tidak menutup kesalahan apapun. Itulah Rusdianto.[] Bravo

Penulis: Budi Mulya Rachman, Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI) Wilayah Sulawesi Selatan – Indonesia

Publisher: Yusrif Aryansyah

Komentar