TEGAS.CO,. NASIONAL – Berdasarkan data Kementrian Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), saat ini setidaknya terdapat 850.000 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di industri pelayaran dan pekerja industri perikanan, di mana 50 persen di antaranya termasuk nelayan. Seperti nelayan-nelayan lain di dunia, mereka rentan korban perdagangan manusia, eksploitasi tenaga kerja, dan perbudakan.
Menurut Laporan ILO yang dipublikasikan pada Forum Konsultasi di Bali tahun 2018 lalu, bahwa: nelayan Asia Tenggara menghadapi kondisi bekerja yang berbahaya, termasuk nelayan Indonesia. Penyebabnya: jam kerja yang panjang dan tidak menentu karena tempat kerja dan tempat istirahatnya kurang bersih, kondisi cuaca dan alam yang kadang-kadang ekstrem, serta lingkungan laut yang berisiko tinggi. ILO bahkan pernah mengungkap data bahwa setiap tahun setidaknya 24.000 nelayan mati saat bekerja.
Sebagaimana kasus Ari 24 tahun seorang pelaut yang juga mengalami pelarungan dikala meninggal. Penyebab meninggalnya Ari diatas kapal itu karena sakit, tubuh bengkak dan sesak nafas.
Dalam video yang dipublikasikan oleh media Korea Selatan perlihatkan bagaimana jenazah Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal China dilempar ke tengah laut. Video yang dirilis oleh stasiun MBC itu diulas oleh Youtuber Jang Hansol di kanal-nya, Korea Reomit, pada Rabu waktu setempat (6/5/2020).
Dalam video itu, kanal MBC memberikan tajuk “Eksklusif, 18 jam sehari kerja. Jika jatuh sakit dan meninggal, lempar ke laut”. Stasiun MBC mendapatkan rekaman itu setelah kapal bersandar di Pelabuhan Busan, Korea Selatan. Setelah itu, MBC menayangkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh para ABK.
Lantas apa respon pemerintah? Belum ada. Misteri diamnya pemerintah Indonesia atas berbagai kasus perbudakan pelaut, pekerja dan nelayan seperti di Larungnya Ari dan perbudakan tiga kru kapal lainnya, itu terjadi dua bulan terakhir ini, sejak Maret hingga Mei 2020 ini. Pertanyaannya: pemerintah Indonesia selama ini kemana?. Perlu penyelidikan secara seksama dalam waktu cepat dan sesingkat-singkatnya.
Pemerintah harus menuntut keterbukaan pada semua perusahaan yang menyediakan para pelaut untuk bekerja di kapal-kapal asing yang beroperasi diwilayah domestik, regional dan Internasional. Pemerintah perlu bekerjasama dengan pemerintah Korea Selatan untuk mengungkap skandal perbudakan terhadap Adit dan kawan lainnya.
Kasus perbudakan ini kembali terulang karena pemerintah dianggap lemah diplomasi diranah Internasional. Hal ini akan menjadi catatan buruk penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap para pekerja, pelaut dan nelayan itu sendiri. Jarang sekali, Mahkamah Internasional PBB membuka kasus atas perbudakan dan larung yang melanggar protokol.
Sejarah perbudakan ini akan terus berlangsung, sebelum pemerintah memverifikasi seluruh perusahaan penyedia Tenaga Kerja Indonesia menjadi pelaut itu. Pada tahun 2015 lalu, praktik perbudakan terjadi di Ambon, Maluku, yang dikenal “Budak Benjina”. Korban warga negara asing (WNA) dari Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos berjumlah 323 orang di PT. PBR.
Kemudian, tahun 2019 juga bernama Muhammad Alfatah 19 tahun, asal Enrekang Sulsel dan Sepri 24 tahun, mengalami hal yang sama setelah meninggal dibuang (dilarung) ke laut dari atas Kapal, tentu alasannya atas perintah Kapten Kapal China Long Xing 902 tempat Alfatah dan Sepri bekerja.
Dalam video Youtuber Jang Hansol pada bagian yang ditandai warna oranye, terdapat kesepakatan jika sampai terjadi musibah dan wafat, maka jenazahnya akan dikremasi. Nantinya, proses kremasi itu akan dilaksanakan ketika kapal bersandar di suatu tempat, dengan catatan abunya akan dipulangkan ke Indonesia.
Apalagi dalam kesaksian salah satu kru kapal yang wajahnya diburamkan, mengaku bahwa jenazah mereka akan dikremasi di tempat terdekat. Dalam surat itu, terdapat juga pernyataan mereka akan diasuransikan sebesar 10.000 dollar AS, sekitar Rp 150 juta, yang akan diserahkan kepada ahli waris mereka.
Perlu diketahui juga, memang Larung (pelarungan) itu sudah disetujui hukum internasional dalam perjanjian berbagai perusahaan yang menyiapkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI): Pelaut, dikala ada kasus kematian diatas kapal.
Maka proses Larung itu sudah sesuai protokol internasional yang ditetapkan PBB. Kalau meninggal karena virus atau sakit, maka harus dilarung. Syarat Larung itu ketika perjalanan kapal masih jauh ke Pelabuhan, tempat menyandar.
Begitupun syarat lain dari proses Larung, ketika sudah di pelabuhan, harus ada izin dari pelabuhan dan pemerintah setempat untuk dikremasi atau dikubur. Protokol ILO dan IMO seperti itu. Cuma Indonesia sampai sekarang belum meratifikasi ILO 188 sehingga sangat sulit penegakan hukum (baca: Rusdianto Samawa, Meratifikasi ILO 188 untuk Penegakan Hak Asasi Manusia Nelayan: ABK dan Pekerja Industri Perikanan).
Selain itu, belum ada pemisahan antara definisi dan pengertian Buruh Migran Indonesia (BMI), Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Pelaut itu sendiri, sehingga membuat ketidakjelasan dalam penanganan kasus perbudakan yang selama ini banyak menjadi korban; dikeroyok, ditelantarkan, dibiarkan dan lainnya.
Dalam Undang – Undang Tenaga Kerja Indonesia, Pelaut itu termasuk Buruh Migran Indonesia (BMI). Inilah yang membuat segala macam ketidakberesan dalam penanganan pelaut Indonesia. Apabila ada Anak Buah Kapal (ABK) sakit, mestinya ada upaya penyembuhan.
Karena, standar internasional terhadap kapal-kapal ikan dan kargo ukuran besar harus ada safety kesehatan, pengobatan dan penyediaan logistik sesuai protokol kesehatan yang ditetapkan ILO dan IMO.
Standar itu sudah jelas ditentukan, sebelum kapal itu dioperasikan oleh berbagai perusahaan penyedia jasa. Apabila Anak Buah Kapal (ABK) sakit dalam keadaan tidak terlayani dengan baik, maka Pemerintah harus proaktif mengadvokasi atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Karena pada prinsipnya kesehatan, kelangsungan, gaji, kesejahteraan, keselamatan, ibadah, jiwa, adalah unsur yang mesti dipenuhi sebagai tanggung jawab atas hak asasi yang melekat pada setiap Warga Negara Dunia, termasuk: ABK dan Pelaut Indonesia.
Celah hukum yang bisa diproses yakni tindakan yang mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) oleh perusahaan kapal, tempat Ari bekerja, berupa pembiaran sakit berakibat bengkak pada tubuh Ari dan meninggal diatas kapal.
Kemudian, pelanggaran atas pembedaan konsumsi air minum, dimana ABK Indonesia diminta meminum air laut. Sementara ABK dari China meminum air mineral biasa. Apalagi paspor dan uang deposit disita agar tidak berusaha kabur. Termasuk di dalamnya kerja paksa dan eksploitasi seksual.
Apalagi terdapat eksploitasi terhadap para pekerja, pelaut dan nelayan. Selain itu, selama bekerja sekitar 13 bulan, lima kru kapal itu menerima gaji sekitar 140.000 won, atau sekitar Rp 1,7 juta. Jika dibagi per bulan, para pelaut itu hanya menerima sekitar Rp 11.000 won, atau Rp 135.350. Kapal itu disebut adalah kapal penangkap tuna.
Ditambah kejahatan menangkap hiu menggunakan tongkat panjang. Setelah itu, mereka akan memotongnya di mana sirip hiu dan bagian tubuh lainnya akan disimpan di dalam kapal secara terpisah. Jumlah Hiu yang ditangkap lebih dari 20 ekor setiap hari. Keterangan dari investigasi sementara, terdapat 16 kotak sirip hiu. Jika satu kotak beratnya 45 kilogram, maka ada sekitar 800 kilogram.
Kasus diatas, betapa miris. Indonesia sebuah negara berdaulat tanpa ada pandangan dan upaya untuk membela hak warga negaranya yang sudah bekerja sebagai ABK dikapal asing. Tentu, ini pelajaran berharga bagi pemerintah, bahwa tak ada upaya apapun untuk membela, berarti mengabaikan hak-hak dasar asasi nelayan: ABK, pekerja dan pelaut.
Selama ini, pekerja di laut termasuk nelayan, memang termasuk kelompok rentan yang menjadi korban perdagangan manusia, eksploitasi tenaga kerja, dan perbudakan. Maka, pemerintah harus mengusut kasus ini. Pemerintah harus menuntut kerugian pada perusahaan dan Kapten Kapal tempat Ari bekerja. Karena Ari wajib mendapat haknya: Gaji, Asuransi, Kesejahteraan, Tunjangan, Jaminan keamanan, Jaminan masa depan dan hak – hak lainnya. Jangan sampai pemerintah terkesan membiarkannya.
Seperti bukti terjemahan kesaksian yang dipaparkan dalam video Youtuber Jang Hansol di kanal-nya, Korea Reomit, pihak televisi menyatakan dibutuhkan adanya penyelidikan internasional untuk memastikan kabar itu. Setelah diketahui pada 30 Maret di Samudera Pasifik bagian barat, di mana terdapat sebuah kotak dibungkus kain merah. Disebutkan sudah bekerja lebih dari satu tahun dan meninggal.
Berdasarkan terjemahan yang disampaikan oleh Hansol, orang-orang Indonesia itu meminta bantuan kepada pemerintah Korea Selatan dan media setempat. Pada awalnya, pihak televisi tidak bisa memercayai rekaman tersebut. Apalagi ketika hendak dilakukan pemeriksaan, kapal itu disebutkan sudah kembali berlayar.
Setelah, Hansol mengartikan bagian selanjutnya di mana ada yang bersaksi tempat kerja mereka cukup buruk dan terjadi eksploitasi tenaga kerja. Dikatakan bahwa rekan kerja yang meninggal itu dilaporkan sudah sakit selama satu bulan. Disebutkan bahwa korban awalnya kram.
Setelah itu menurut pria yang bersaksi di video, rekannya itu mengalami pembengkakan di bagian kaki, sebelum menjalar ke tubuh dan mengalami sesak. Dalam tayangan itu, disebutkan bahwa pelaut dari China minum air botolan dari tanah. Namun kru Indonesia diminta minum air laut.
Seorang pelaut yang bersaksi mengungkapkan, dia merasa pusing karena tidak bisa untuk meminum air laut, dan mengaku seperti ada dahak yang keluar dari tenggorokan. Dalam tayangan itu, disebutkan bahwa mereka bekerja sehari selama 18 jam, di mana si pelaut menuturkan dia pernah berdiri selama 30 jam.
Kemudian mereka mendapat enam jam untuk makan, di mana pada waktu inilah, saksi mengungkapkan mereka memanfaatkannya untuk duduk. Penyiar memaparkan bahwa setiap staf kapal bekerja di lingkungan yang mirip dengan perbudakan.
Berdasarkan video Hansol, dapat disimpulkan bahwa: pelanggaran HAM terjadi dan pemerintah harus lakukan penyelidikan. Paling menyedihkan lagi, tidak ada pemberitahuan surat dari Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang ada di Busan Korea Selatan kepada keluarga di Indonesia bahwa Ari sakit dan meninggal sejak 30 Maret 2020 lalu saat melaut.
Pemerintah Indonesia harus bekerjasama dengan Kelompok HAM yang menyelidiki kematian empat orang di kapal yang melaporkannya kepada Garda Penjaga Pantai Korea Selatan (KCG), untuk segera investigasi. Karena Korea Selatan bisa melakukan investigasi karena pada 2015 telah meratifikasi perjanjian internasional ILO 188 untuk mencegah perdagangan manusia.
Namun dua hari setelah peristiwa Ari dikremasi itu, kapal tersebut langsung meninggalkan lokasi sehingga investigasi tak bisa dilanjutkan. Untungnya, demikian terjemahan yang dipaparkan Hansol, masih ada pelaut yang berada di Busan, dimana mereka ingin melaporkan pelanggaran HAM yang mereka terima. Kru tersebut dilaporkan sudah meminta pemerintah Korea Selain untuk menggelar penyelidikan menyeluruh, di mana mereka mengaku ingin memberi tahu dunia tentang apa yang mereka alami.
Semua pelaut, nelayan dan ABK, baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di kapal, sering menerima kondisi tidak baik dalam pekerjaannya.
Di sisi lain, banyak perusahaan industri perikanan juga belum memiliki standar layak untuk pekerjanya. Parahnya lagi, belum ada mekanisme regulasi untuk melindungi pekerja industri perikanan di kawasan Asia Tenggara, bahkan sekalipun Indonesia.
Untuk itulah, pemerintah Indonesia perlu mendorong agar negara-negara ASEAN, baik anggota maupun dan non anggota harus mulai menjadikan isu perlindungan nelayan sebagai prioritas.
Salah satu caranya: pemerintah Indonesia menjalankan hasil konsensus saat meratifikasi Konvensi ILO 188 di Bali 3 tahun silam. Tentu yang dijalankan yakni kesepakatan para pihak yang mengikat (konsensus) untuk melindungi HAM nelayan secara bersama-sama.
Pemerintah harus meningkatkan penegakan hukum atas perbudakan terhadap kasus Alfatah yang dibuang kelaut. Bisa jadi belum terpenuhi semua haknya dan kemungkinan lain juga bisa terjadi dibalik peristiwa tersebut. Maka, konsensus ILO 188 bisa menjadi acuan bagi pemerintah untuk bekerja sama di tingkat regional.
Pendekatan regional dalam perlindungan nelayan, ABK dan pekerja ini penting karena karakter kapal penangkap ikan yang bergerak dari satu negara ke negara lain. Penting agar negara-negara di kawasan ini berada pada tujuan sama untuk melindungi pekerja (di industri perikanan).
Kerja sama untuk melindungi ABK dan nelayan juga sangat penting dilakukan ditingkat global oleh organisasi internasional, seperti FAO, ILO, IMO, dan Interpol. FAO juga harus ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya perikanan karena kapal China tersebut, menangkap Hiu secara ilegal.
Begitu juga, ILO dan IMO terkait buruh migran yang bekerja menjadi pelaut, serta UNODC maupun Interpol harus memimpin penegakan hukum ini. Semua pihak harus bekerja sama untuk mendorong agar semua negara memberikan perhatian lebih besar pada kasus Alfatah 19 tahun, Sepri 24 tahun, Ari 24 tahun, untuk melindungi dan penegakan HAM atas perbudakan yang dilakukan Kapal tempat Ari bekerja.
Pemerintah harus menuntut ke Mahkamah Internasional atas perbudakan yang terjadi. Perlu penyelidikan secara seksama dalam waktu cepat. Pemerintah harus menuntut Perusahaan China pemilik kapal tersebut, ke Mahkamah Internasional PBB atas perbudakan dan Larung (pembuangan) yang melanggar perjanjian internasional.
Pemerintah harus benar-benar menyelsaikan setiap masalah yang dihadapi para pelaut, ABK, Pekerja dan Nelayan itu sendiri dalam menghadapi masalah. Karena kebanyakan perusahaan tempat kerjanya tidak terlacak dan bahkan tidak dapat diselesaikan secara baik.
Atas masalah seperti itu, berdampak pada terbatasnya bantuan hukum karena ketidakjelasan status kerja maupun identitas perusahaan yang pekerjakannya. Maka, pemerintah harus segera menerbitkan regulasi nasional sebagai implementasi konvensi ILO tentang MLC (Maritime Labour Convention) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 15 tahun 2016.
Diharapkan regulasi ini dapat harmoniskan hubungan antara pemerintah dengan pelaut, ABK, nelayan dan pekerja industri bisa mendapat keadilan hukum.
Harapannya, tentu semua kasus harus bisa selesai melalui diplomasi pemerintah. Paling tepat regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Undang-Undang khusus Pelaut, sehingga dapat diterapkan secara nasional, sekaligus mencegah munculnya ego sektoral diantara kementerian terkait.
Karena problem terbesar yakni banyak perusahaan penangkapan ikan dan perusahaan pelayaran sering mengabaikan ketentuan regulasi yang telah ditetapkan, baik dalam pemenuhan maupun perawatan alat-alat keselamatan serta kelayakan kapal berlayar.
Pemerintah harus segera membuat aturan turunan dari Undang – Undang No. 15 tahun 2016 sesuai ratifikasi MLC 2006 yang disahkan melalui undang-undang.
Selain itu harus mengatur standarisasi perlindungan dan kesejahteraan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal berbendera Indonesia, baik yang beroperasi di perairan domestik Indonesia maupun foreign going.
Pemerintah juga jangan abai terhadap pengawasan, dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemhub) lemah, sehingga operator kapal bertindak semaunya, tidak mematuhi aturan keamanan dan keselamatan pelayaran. Pengawasan dan penegakan hukum harus dilakukan kepada seluruh perusahaan, industri pelayaran dan industri penangkapan ikan yang melanggar sehingga mendapat keadilan.[]
Penulis: Rusdianto Samawa, Front Nelayan Indonesia (FNI)
Editor: Yusrif Aryansyah
Komentar