TEGAS.CO.,NUSANTARA – Kasus pencabulan terhadap santriwati di Bandung semakin memperbanyak alasan besarnya desakan RUU-TPKS padahal RUU ini masih berparadigma liberal karena mengandung muatan consent dan menawarkan penyelesaian ala feminisme yang terbukti gagal dalam menuntasakan persoalan kekerasn seksual.
Pada 9 Desember 2021, kabarnya sebagian besar fraksi di DPR sudah menyetujui draft RUU Tindak Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Namun, banyak organisasi Islam yang terhimpun dari Majelis Ormas Islam (MOI) meminta DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut , sebab masih ada beberapa hal yang kontroversial. (Hidayatullah.com,16/12/2021).
Hal ini pun dikuatkan oleh pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Sahroni sebagaimana yang dilansir oleh sindonews.com pada tanggal 10 Desember 2016, bahwa draft RUU-TPKS sudah disetujui oleh 8 fraksi dan akan segera dibawa ke Paripurna.
“Ini perkembangan yang sangat baik menurutnya, namun hal ini tidak hanya berhenti sampai di sahkan, tetapi akan segera meminta kepada kepolisian agar mensosialisasikan aturan tersebut hingga ke bawah dan buat aturan-aturan turunannya jika diperlukan, agar praktiknya di lapangan betul-betul mampu memberantas kekerasan seksual di masyarakat jika sudah disahkan,” pungkasnya.
Belum tuntas masalah Permendikbud No.30 Tahun 2021, kini DPR melangkah lebih jauh lagi untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Keserasan Seksual (RUU-TPKS) di DPR.
Dimana RUU TPKS ini adalah RUU PKS yang pembahasannya sempat tertunda bila di amati isi draft tersebut tetap sama. RUU TP-KS ini berpotensi menjadi landasan hukum bagi kaum feminis radikal dalam mengembangkan ‘pendidikan seks yang aman’ menggunakan kondom dan sejenisnya kepada murid sejak usia dini atau sering disebut sebagai Compherehensive Sexual Education (CSE) .
Seyogyanya semua pihak mengutuk keras perilaku kekerasan seksual, namun apakah dengan RUU-TPKS bisa menjadi solusi? Tentu tidak, meski kata consent di hapuskan, jika diamati RUU-TPKS masih tetap sama hanya membahas masalah kekerasan seksual dengan unsur paksaan sementara penyimpangan kekerasan seksual atas dasar suka sama suka tidak dianggap sebagai kejahatan seksual.
Definisi kekerasan seksual dalam RUU yang bias, bisa menimbulkan multi tafsir dalam tata laksananya. Maksud ingin menyelesaikan masalah jauh api dipanggang justru menimbulkan masalah baru
Payung hukum yang mengatasnamakan untuk melindungi korban ini justru terkesan melindungi pelaku. kata ‘pemaksaan hubungan seksual’, dan ‘pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi’ yang tersebut dalam pasal 1,4,5,6,7 dn 8, ini sama saja ada muatan consent.
Pelaku akan berdalih semua atas dasar suka sama suka jika sudah berulang. Apalagi era sekulerisme pergaulan laki-laki dan perempuan sangat menjunjung tinggi paham liberal (kebebasan) karena merupakan Hak Asasi Manusia. padahal tidak semu Hak Asasi Manusia sejalan dengn agama dan pancasila.
Naluri Nau” tidak terjaga fitrahnya dengan banyaknya faktor eksternal yang merangsang kemunculannya seperti pornografi dan pornoaksi baik konten media tv, sosial media ataupun kehidupan nyata melenggang bebas di depan mata.
Sehingga perlu kita tahu, bahwa akar dari maraknya kekerasan seksual ini sebenarnya karena paham sekuler yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan kita dan paham liberal (kebebasan) dalam segala hal di lingkup kehidupan kita.
Untuk itu solusinya harusnya menghilangkan paham-paham tersebut, dengan diterapkannya syari’at Allah secara kaffah sebagai wujud implementasi sempurna terhadap islam, dengannya mampu meningkatkan ketakwaan individu, mencipatakan lingkungan yang penuh respek terhadap perempuan dan menutup semua peluang terjadinya kekerasan seksual.
Karena apabila agama terus tidak diperbolehkan untuk mengatur tata kehidupan manusia maka tidak dapat di pungkiri persoalan demi persoalan pun tidak akan pernah diselesaikan dengan hukum buatan manusia yang memiliki keterbatasan. Wallahu a’lam
Penulis: Jumriati Fathia (pemerhati Sosial)
Editor: H5P
Komentar