TEGAS.CO,. NUSANTARA – “Horror” kembali mewarnai momen nataru. “Teriakan dompet” ibu-ibu terdengar makin nyaring seiring dengan meroketnya harga beberapa komoditas pangan. Harga cabai di tingkat konsumen mencapai Rp. 100.000/kg, sementara minyak goreng lebih dari Rp. 18.000/liter dan telur menyentuh harga Rp. 30.000/kg. (liputan6.com, 29/12/2021)
Kenaikan harga komoditas saat nataru tidak hanya terjadi kali ini saja. Tahun-tahun sebelumnya, harga cabai dan komoditas lainnya juga melangit menjelang nataru, maupun momen-momen tertentu seperti Idul Adha, Idul Fitri, dan sebagainya.
DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menyayangkan meroketnya harga telur, minyak, dan cabai. Sekretaris Jenderal DPP Ikappi, Reynaldi Sarijowan mengatakan, “Jujur kami Ikatan Pedagang Pasar Indonesia tidak menduga bahwa kenaikan harga pangan yang relatif panjang dan tinggi ini terjadi di akhir tahun 2021.” (Kontan.co.id, 27/12/2021)
Efek Kapitalisme
Kenaikan harga beberapa komoditas setiap menjelang nataru maupun momen-momen tertentu disebabkan oleh beberapa faktor: kondisi iklim, distribusi dan faktor spekulasi atau situasi harga di luar negeri serta kurs dolar.
Kondisi iklim yang memburuk sebagai dampak pengrusakan global, membuka lebar peluang gagal panen. Penebangan hutan secara liar, penggunaan gas freon dan pestisida secara berlebihan, pencemaran udara dan sebagainya terakumulasi sebagai penyebab terjadi perubahan iklim secara signifikan.
Bertele-telenya distribusi juga mempengaruhi meroketnya harga komoditas. Mahalnya tarif tol dan Adanya wacana penghapusan bensin jenis RON 88 (premium), membuat rakyat ketar-ketir. Karena akan berdampak pada pembengkakan ongkos distribusi.
Belum lagi permainan spekulan yang manfaatkan moment nataru untuk meraup untung sebanyak-banyaknya.
Tingginya harga minyak goreng disebut-sebut karena harga CPO di level dunia mengalami kenaikan. Dikutip dari CNBCIndonesia.com, (30/11/2021), harga CPO global yang tinggi memberikan peluang ‘cuan’ dari ekspor lebih besar. Rata-rata 67,4% produksi Palm Oil Indonesia dijual ke luar negeri, sehingga mengurangi pasokan dalam negeri.
Hal ini tentu tak lepas dari penerapan sistem sekuker-kapitalis yang meminimalkan peran negara, sebatas sebagai regulator. Celah ini yang lantas dibidik oleh para pemilik modal untuk memuluskan bisnis mereka.
Meroketnya harga komoditas pangan saat nataru maupun momen-momen lain, membuat rakyat semakin prihatin. Terlebih di saat yang sama, efek pandemi masih terasa kental.
Pandangan Islam
Bagaimana Islam mengatur harga sehingga tidak terjadi lonjakan ?
Berangkat dari prinsip bahwa kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab penguasa, maka penguasa dalam Islam akan menjalankan sebaik mungkin perannya dalam meriayah rakyat.
Dalam masalah pengendalian harga, Islam mengatur dari hulu hingga hilir. Dari proses produksi, penguasa memberikan bantuan kepada para produsen (petani, peternak, dll) baik berupa modal maupun alat-alat produksi, sebagaimana dilakukan Khalifah Umar bin Khathab ra. Penguasa mendukung penelitian untuk tingkatkan hasil produksi, termasuk antisipasi terhadap perubahan iklim, dll. Dengan demikian biaya produksi tidak terlampau tinggi dan produktivitas akan meningkat.
Penguasa juga bertanggung jawab untuk menjaga ketersediaan stok pangan dalam negeri. Saat stok di suatu daerah tidak mencukupi, penguasa akan mendistribusikan komoditas pangan dari daerah yang surplus ke daerah yang kekurangan karena tidak ada otonomi daerah dalam Islam. Impor dilakukan jika kebutuhan mendesak. Sementara ekspor akan dihentikan dalam kondisi ini.
Penguasa tegas melarang praktik Ihtikar (penimbunan barang). Dari Abu Hurairah, ”Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR. Ibnu Majah)
Kendati demikian tidak ada penetapan harga dalam Islam. Harga ditentukan oleh mekanisme pasar secara alami. “Harga melonjak pada masa Rasulullah SAW. Maka berkatalah orang-orang, ‘Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami.’ Maka bersabda Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Menetapkan Harga, Yang Memegang Rizki, Yang Melapangkan Rizki, Yang Maha Pemberi Rizki. Dan sungguh aku betul-betul berharap berjumpa dengan Tuhanku sementara tak ada seorang pun dari kalian yang akan menuntutku karena suatu kezhaliman dalam urusan harta atau nyawa.” (HR Abu Dawud, hadits no 3450).
Umar Bin Khattab Radhiyallah ‘anhu pernah memberikan sanksi kepada penjual yang menaikkan harga sesuka hatinya. Dan beberapa gubernur Madinah setelahnya juga melakukan hal serupa.
Begitulah mekanisme Islam dalam mencegah maupun mengatasi naiknya harga komoditas pangan. Selain membutuhkan ketegasan pemimpin, sistem yang diterapkan dalam institusi negara juga tak kalah penting. Sistem yang membuat rakyat tak lagi dihantui meroketnya harga komoditas pangan.
Wallaahu a’lam bi showab
Penulis : Ummu Arrosyidah
Publisher: Yusrif Aryansyah
Komentar