“Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah menerangi sekelilingnya Allah melenyapkan cahaya (Yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali”. (Qs. Al-Baqarah. 2 : 17-18)
TEGAS.CO,. NUSANTARA – Diawal 2022, sejuta harapan terpatri untuk kebangkitan dari kelesuan segala sisi kehidupan setelah kurun waktu dua tahun terakhir dilanda pandemi Covid-19, dampaknya kian makin terasa. Berbagai agenda terbengkalai, setelah semua energi terfokus pada penanganan pandemi Covid-19.
Tak terkecuali, pemulihan infrasturktur sebagai percepatan pemulihan ekonomi di Kabupaten Buton Utara. Salah satunya ialah pemulihan infrastruktur jalan Provinsi Sulawesi Tenggara yang ada di Lipu Tinadheakono Sara yang menghubungkan Tiga Wilayah Administratif, Kabupaten Buton Utara – Kabupaten Buton – Kota Baubau pun turut terbengkalai, kini menuai badai (baca: polemik).
Menjelang akhir 2021, polemik itu bermula ketika “Warga Buton Utara Unjuk Rasa Protes Jalan Rusak” di Jalan Poros Ereke-Baubau, hingga salah satu Anggota DPRD dari Partai Demokrat (red: Nasri) setempat turut ambil bagian membersamai massa aksi kala itu, ia menyebut jalan rusak di Kabupaten Buton Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara dapat merusak perekonomian masyarakat.
“Dengan rusaknya jalan, berarti menggambarkan perekonomian masyarakat Butur itu rusak”. (Baca: Anggota DPRD Buton Utara Ikut Demo Bersama Warga: Rusaknya Jalan, Perekonomian Rusak | https://sultra.tribunnews.com/2021/12/02/anggota-dprd-buton-utara-ikut-demo-bersama-warga-rusaknya-jalan-perekonomian-rusak).
Puncaknya pada Kamis, 2 Desember 2021, warga Buton Utara membuat replika kuburan Gubernur Sultra, Ali Mazi di pertigaan Desa Ronta, Kecamatan Bonegunu, Kabupaten Buton Utara. Replika kuburan Ali Mazi tersebut dibuat lantaran warga Butur kesal, sebab Gubernur Ali Mazi belum memenuhi janji politiknya untuk melakukan perbaikan jalan provinsi di Kabupaten Butur. (Baca : Protes Jalan Rusak, Warga Butur Buat replika kuburan Gubernur Ali Mazi | https://telisik.id/news/protes-jalan-rusak-warga-butur-buat-replika-kuburan-ali-mazi).
Alhasil, dari gerakan protes menuntut janji itu akan terbukti, malah ironis Koordinator Aksi, Baada Yung Hum Marasa (BYHM) menjadi tersangka, usai di tangkap oleh petugas dari Subdirektorat III Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sultra pada Senin, 17 Januari 2022 pukul 22.00 WITA di Lorong Wasula, Desa La Noipi, Kecamatan Bone Gunu, Buton Utara.
Ia ditangkap setelah adanya laporan seorang ajudan Gubernur Sulawesi Tenggara yang bernama Muhammad Ulil Amri yang melaporkan Baada ke Polda Sultra, Laporan Polisi bernomor LP/B/XII/2021/SPKT/Polda Sultra tanggal 31 Desember 2021.
Kendatipun, penetapan status Tersangka BYHM tiga kali berubah, ia dianggap telah melakukan pencemaran nama baik dan menyerang kehormatan Gubernur dalam sebuah aksi demonstrasi menyoal jalanan rusak yang tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah, sebagaimana ketentuan pasal 310 ayat 2 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Dimanakah demokrasi itu, apakah telah raib juga di Lipu Tinadheakono Sara, Kabupaten Buton Utara..?
Sejatinya, menurut Prof Dr Jimly Assiddiqie, SH penegakkan hukum (law enforcement) adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Lebih lanjut menurut United Nation Development Program (UNDP) dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), salah satu prinsip, ciri atau karakteristik good governance adalah “Tegaknya Supremasi Hukum dan Adanya Saling Keterkaitan Antarkebijakan”.
Namun, sangat disayangkan keputusan Gubenur Sultra Ali Mazi melalui ajudannya Muhammad Ulil Amri terhadap keputusannya memidanakan suara rakyat Buton Utara di Polda Sultra, adalah melenceng dari law enforcement dan good governace dengan tidak mencermati, menghayati serta menjunjung tinggi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan norma-norma hukum dan prinsip, ciri atau karakteristik pemerintahan yang baik diatas.
Pada prinsipnya diskursus terkait polemik ini, menitikberatkan pada penerapan atau penegakkan ketentuan perundang-undangan sebagaimana ditegaskan kembali oleh Prof. Dr. Jimly Assiddiqie SH, bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang (The Rule of Law and Not of Man).
Faktanya, Lembaga Kepolisian (Polda Sultra) yang diharapkan sebagai perwujudan negara dalam “Melayani, Mengayomi dan Melindungi” seluruh tumpah darah Rakyat Indonesia justru melegitimasi Laporan Polisi Sang Ajudan Muhammad Ulil Amri terhadap Baada Yung Hum Marasa yang tidak memenuhi unsur penerapan dan penegakkan supremasi hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 310 ayat (2) dimaksud dalam delik aduannya. Walaupun akhirnya nampak sebuah kejujuran bahwa penetapan Tersangka BYHM hingga tiga kali berubah.
(Baca : Status Tersangka Mahasiswa Butur Kasus Dugaan Pencemaran Nama Baik Gubernur Sultra 3 Kali Berubah | https://sultra.tribunnews.com/2022/01/20/status-tersangka-mahasiswa-butur-kasus-dugaan-pencemaran-nama-baik-gubernur-sultra-3-kali-berubah).
Jika mengacu pada unsur pasal 310 ayat (2) KUHP, maka pencemaran nama baik dapat ditafsirkan sebagai delik materiil. Delik materiil merupakan delik yang dapat dipidana jika akibat yang dilarang telah muncul.
Pencemaran sendiri berasal dari kata “cemar” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai ternoda, kotor atau tercela. Pencemaran diartikan sebagai perbuatan mencemari atau mengotori.
Sementara itu, kehormatan diartikan sebagai nama baik atau harga diri. Dari pemaknaan yang diberikan oleh KBBI jelas bahwa perbuatan yang menimbulkan rusaknya harga diri, kotornya harga diri atau nama baik seseorang dan perbuatan itu dilakukan dengan melawan hukum atau bertentangan dengan etika. Oleh karena itu, delik-delik pencemaran nama baik ini tidak serta merta dapat dipidana jika akibat kerugian materril atau kerugian non-materiil yang dilarang tersebut tidak dapat dibuktikan di Pengadilan.
Point penting di samping kerugian yang harus bisa dibuktikan sebagai akibat dari perbuatan pencemaran, aspek lain yang lain juga perlu dibuktikan adalah “menyerang” dan “kehormatan”.
Kedua unsur ini menjadi sulit dibuktikan karena menyerang yang dimaksud bukanlah menyerang dengan senjata, tetapi dengan perkataan. Perkataan ini yang digunakan pun sulit diukur, karena bisa saja perkataan tersebut merupakan kritik atau keluhan atau sebuah ucapan yang mengandung kebenaran. Sulit membedakan antara menyerang, mengkritik dan mengeluh.
Sebagaimana, ketentuan Pasal 310 ayat (3) disebutkan bahwa “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri”.
Lantas dasar apa penetapan tersangka, penangkapan lalu berujung penahanan terhadap mahasiswa Baada Yung Hum Marasa di Polda Sultra…?
Hari demi hari pun berlalu di era Reformasi kini. Seolah, berharap waktu yang akan menjawab janji-janji sang Gubernur dan teka-teki polemik penangkapan Aktivis di Lipu tinadheakono Sara hingga kini genap 15 Tahun Buton Utara menjadi daerah otonom, ketika Rakyat menuntut kerja nyata sang Gubernur “Memberi Bukti Bukan Janji”, Suaru itupun kini berakhir dijeruji besi.
Kendati tuntutan para pembawa aspirasi ‘Mereka’ abaikan lalu dibungkam di negara demokrasi ini, setidaknya telah sampai kebenaran itu walau satu ayat. Wahai orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Maidah. 5 : 8)
Penulis: Adv. Apri Awo SH. CIL
(Advokat | Anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Tenggara)
Komentar