TEGAS.CO,. NUSANTARA – “Sekejam-kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota”. Pepatah lama ini tampaknya menjadi gambaran bagaimana beratnya hidup di kota besar. Daya pikat perkotaan membuat banyak orang rela meninggalkan kampung halaman demi asa memperoleh hidup yang lebih baik. Namun sayang, mengais rezeki di jantung kota ternyata tak selalu indah seperti yang dibayangkan.
Pekerjaan yang sulit didapatkan hingga gaji yang tidak mencukupi kebutuhan, acap kali membuat para urban menghalalkan segala cara untuk menambal kebutuhan hidup. Termasuk melakoni pekerjaan ganda. Di siang hari bekerja sebagai karyawan, sedangkan di malam harinya menjadi “kupu-kupu malam”. Fakta ini telah menggurita di setiap sudut kota negeri ini termasuk Sulawesi Tenggara.
Dikutip dari Telisik.id (9/1/2022), seorang wanita bernama Sari (nama samaran) yang bekerja sebagai karyawati supermarket di Kota Kendari melakoni pekerjaan sampingan sebagai PSK. Hal itu dilakukan karena gaji yang diterima tidak mencukupi kebutuhannya. Dengan gaji yang hanya Rp1,5 juta per bulan, dirasa tidak mampu mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya. Terlebih, dia sebatang kara mengadu nasib di jantung kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Sedangkan di sisi lain, dari pekerjaan menjadi “kupu-kupu malam” dia bisa meraup Rp500 ribu hingga Rp1 juta per malamnya.
Miris. Kesempitan hidup membuat banyak orang memilih cara instan untuk mendapatkan uang. Parahnya, kasus-kasus serupa bukan kali ini saja terjadi. Namun sudah ratusan bahkan ribuan kasus, baik yang terungkap maupun yang tidak. Kisah pekerja yang merangkap sebagai penjaja seks bahkan telah mengakar kuat dalam sistem hidup yang sekuler dan di tengah sulitnya memperoleh jaminan “sejahtera”. Mengapa prostitusi kerap kali menjadi jalan pintas untuk meraup pundi-pundi rupiah dengan dalih kemiskinan?
Beberapa faktor melatarbelakangi maraknya pekerja seks komersial dengan dalih kemiskinan. Pertama, dalam sistem kapitalis-sekuler seperti saat ini, kebutuhan dasar rakyat bukanlah menjadi prioritas negara. Masyarakat harus memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri dan dengan upaya sendiri. Mereka terseok-seok mengais rezeki demi membuat dapur tetap mengepul. Kehidupan yang keras pun tak jarang membuat banyak orang menggadaikan iman dan harga diri untuk mendapatkan materi.
Kedua, tidak meratanya distribusi di tengah masyarakat menyebabkan kesenjangan hidup kian terasa. Ada sekelompok orang yang mampu memenuhi kebutuhannya secara sempurna, sementara sebagian lainnya tidak mampu memenuhinya sama sekali. Alhasil, orang kaya semakin berjaya, sedangkan yang miskin kian merana.
Ketiga, melambungnya harga komoditas dari tahun ke tahun yang tidak dibarengi dengan meluasnya lapangan pekerjaan. Kondisi tersebut akhirnya mendorong individunya untuk mencari pekerjaan dari jalan yang diharamkam. Semua fakta tersebut diperparah dengan pengabaian negara terhadap ketakwaan individu. Hal ini karena roh sekularisme yang dianut negeri ini telah nyata manafikan aturan Tuhan dalam mengatur manusia. Akibatnya, negara tidak mampu memberi standar halal dan haram pada setiap individu masyarakat dalam memilih pekerjaan.
Kondisi ini mengharuskan adanya perubahan paradigma dalam pengurusan rakyat. Negara seharusnya bertanggung jawab dalam menjamin seluruh kebutuhan dasar tanpa terkecuali. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi individu maupun masyarakat secara umum yang terjerat kemiskinan hingga menghalalkan segala cara dalam memenuhi kebutuhannya. Paradigma seperti ini hanya akan terealisasi jika sistem hidup yang diterapkan berlandaskan akidah Islam. Secara umum, Islam akan menerapkan tiga fondasi dasar bagi keberlangsungan masyarakat yang beradab.
Pertama, penguasa (Khalifah) menjadikan pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai prioritas. Karena itu, penguasa akan menjamin seluruh kebutuhan mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Selain itu, Khalifah juga akan menjamin pemerataan distribusi di tengah masyarakat untuk menghindari terjadinya ketimpangan ekonomi. Rasulullah saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Kedua, Khalifah akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk memudahkan masyarakat khususnya laki-laki mengakses pekerjaan. Sebab, Islam memang mewajibkan kepada laki-laki untuk menanggung nafkah bagi keluarganya. Allah Swt. berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisa [4]: 34)
Ketiga, Khalifah akan mewujudkan suasana takwa pada setiap individu. Dengan bekal takwanya, masyarakat hanya akan memilih pekerjaan yang halal dan baik saja. Keimanannya kepada Allah Swt. juga akan menjadi filter terhadap berbagai aktivitas yang diharamkan, termasuk menjajakan diri. Alhasil, meskipun seseorang diuji dengan kemiskinan, dia tidak akan mengambil jalan pintas dengan menjadi PSK hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sistem kapitalis-sekuler yang telah nyata melahirkan krisis iman, membuat masyarakat memiliki pemahaman bahwa kerasnya hidup seolah lebih menakutkan daripada dosa. Hal ini menjadikan manusia tidak lagi memperhatikan standar halal-haram dalam beraktivitas. Olehnya itu, kembali kepada Islam dan menjadikannya sebagai satu-satunya solusi hidup adalah pilihan terbaik untuk lepas dari jerat kehidupan sekuler yang menghalalkan segala cara. Di bawah naungan Islam, manusia tumbuh menjadi bangsa yang beradab.
Wallahu ‘alam bishshawab
Penulis: Sartinah (Pegiat Literasi)
Publisher: Yusrif
Komentar