TEGAS.CO,. SULAWESI SELATAN – Diduga laporannya mandek di Kejaksaan Negeri Gowa, seorang dosen Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) Nur Syamsiah mengadakan jumpa pers, Senin (31/1/2022) di Warkop PWI Jalan Pettarani nomor 31.
Nur Syamsiah yang akrab disapa Anci mengeluhkan perkara yang dilaporkannya pada 5 Juni 2017 lalu hingga memasuki 2022 ini belum ada titik terang.
Anci dalam keterangan persnya didampingi oleh Agung dan Ilham Arif dari Organisasi Pergerakan Mahasiswa (OPM) menyampaikan kronologinya hingga berujung pelaporan.
Menurutnya, adanya informasi percakapan di grup WhatsApp FDK yang membahas tentang penutupan penyiaran radio kampus. Dimana dirinya (Syamsiah) dituduh melakukan penutupan Radio Syiar.
“Padahal bukan saya yang menutupnya, saya ada bukti terkait itu,” tegasnya.
“Saya hanya memperingatkan salah satu mahasiswa yang masih beraktifitas di Radio Syiar di lantai 4 tersebut, padahal sesuai kode etik kampus dan buku saku yang dipegang oleh seluruh mahasiswa bahwa pada pukul 18.00 tidak boleh lagi melakukan aktifitas, jangan diplesetkan bahwa saya menutupnya. Padahal pembatasan mahasiswa/wi ini dalam buku saku berguna agar dapat beristirahat dan kembali melanjutkan aktivitas esok harinya,” terang Anci.
Karena hal tersebut Anci kemudian melaporkan empat orang dosen yang terlibat percakapan di grup WhatsApp tersebut. Anci melaporkan dugaan pelanggaran UU ITE, atau dugaan tindak pidana penghinaan melalui media sosial. Sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat (3) Jo pasal 45 ayat (3) UU nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Itupun, lanjut Anci baru ditetapkan tersangka oleh Polres Gowa, 2 tahun kemudian, tepatnya Oktober 2019 dan itupun satu orang saja yakni RT.
Pelaporan Anci didasari karena pembahasan yang dianggap sebagai kebebasan berpendapat dan berekspresi sudah tidak sewajarnya, karena telah masuk ke ranah pribadi yang berhubungan dengan martabat derajat keluarganya.
Nur Syamsiah kemudian mengambil tangkapan layar dialog percakapan di grup WA dan menyerahkannya ke Polres Gowa sebagai barang bukti dalam pelaporannya.
Anci menambahkan, kasus ini sudah berapa kali mondar mandir dari Polres Gowa ke Kejaksaan Negeri (Kejari) dengan alasan barang bukti fisik (HP) yang belum terpenuhi. Meski pihak polres Gowa telah memeriksa dan melampirkan berkas tiga puluh orang saksi.
“Yang jadi pertanyaan kami, mengapa pada saat pemeriksaan terlapor dan saksi-saksi sebanyak 30 orang itu, pihak penyidik (Polres) tidak menyita barang bukti (HP), itu yang pertama. Yang kedua, kenapa pihak Kejari Gowa tidak melakukan permintaan/mendesak Polres Gowa menyiapkan kelengkapan barang bukti. Ketiga dan ini saya rasa sangat penting karena ada perbandingan kasus serupa yang kemudian langsung ditindak lanjuti karena kebetulan yang diserang adalah pejabat,’ urainya.
“Apakah karena kami orang biasa sehingga kami diperlakukan seperti ini ?,” keluhnya kepada awak media.
Untuk itu, Anci berharap agar tidak ada tebang pilih dalam hal penanganan perkara hukum, dan berharap agar penegak hukum dapat bekerja lebih profesional.
Terkait kendala pembuktian dalam penerapan alat bukti UU ITE, seperti yang dikeluhkan sumber.
Dilansir dari salah satu situs hukum, Alat bukti elektronik ialah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE.
Dimana Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) menjelaskan yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sedangkan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pada prinsipnya informasi elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan dokumen elektronik. Informasi elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan dokumen elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari informasi elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah informasi elektronik, sedangkan dokumen elektronik dari file tersebut ialah mp3.
Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya: (Sitompul, 2012)
1. Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP;
2. Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP.
Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, informasi dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah
Laporan: Redaksi
Komentar