BPJS : Kartu Sapu Jagat, Solusi Atau Beban?

Jumriati Fathia

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Per tanggal 1 Maret 2022 ini setiap warga negara Indonesia sudah di wajibkan memiliki kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) untuk dapat mengurus berbagai keperluan seperti pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), berangkat Haji dan Umrah hingga pengurusan jual beli tanah.

Hal itu, sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ini dilakukan tujuannya agar semua warga dapat memiliki kartu BPJS dan menjadi peserta aktif.

Namun kebijakan ini telah membuat sejumlah warga dari berbagai kalangan mengeluhkan kartu BPJS Kesehatan sebagai salah satu syarat untuk membuat dokumen layanan umum SIM, STNK, SKCK, pengurusan jual beli tanah bahkan naik Haji dan Umrah, dinilai kurang tepat dan tidak ada korelasinya serta dapat menghambat prosesnya itu sendiri bagi warga yang belum terdaftar sebagai peserta aktif. (CNN, 22/02/2022)

Kebijakan Pemerintah tentang JKN/BPJS alih-alih memberi jaminan kesehatan kepada masyarakat justru semakin terbebani dengan membayar premi asuransi termasuk di dalamnya paksaan kepada pemilik perusahaan untuk menarik premi kepada karyawannya melalui potongan gaji.

Masyarakat yang selama ini sudah sengsara dengan berbagai pembayaran iuran pajak serta naiknya berbagai kebutuhan bahan pokok semakin menyulitkannya dalam pemenuhan kemaslahatan lain.

Hal ini merupakan bentuk pemaksaan kepada rakyat dengan menjadikannya syarat dalam pengurusan dokumen layanan umum. Pemaksaan tersebut tak lain peserta BPJS harus membayar iuran premi sebelum mendapatkan haknya berupa layanan kesehatan hanya untuk memperoleh dokumen layanan publik.

Kemudian BPJS dengan asas gotong royong seakan mengalihkan tanggung jawab negara kepada rakyatnya dalam layanan kesehatan dimana peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, ini falsafah yang diskriminatif sebab peserta BPJS yang ditanggung negara hanyalah warga miskin saja, sementara warga miskin kategori pemerintah adalah yang memiliki penghasilan di bawah Rp.20.000/hari tidak termasuk miskin maka wajib membayar premi, sudah seyogianya negara yang menjamin kesehatan warganya tanpa pandang bulu baik miskin atau kaya yang tidak boleh dialihkan ke pihak lain.

Tetapi kenyataannya ibarat warga sendiri yang membiayai diri mereka sendiri, inilah watak negara kapitalisme yang mengomersialkan berbagai layanan publik dengan dasar untung rugi.

Pelayanan publik itu harusnya bersifat menyeluruh bukan diskriminatif. Karena jaminan kesehatan adalah hak semua warga yang dijamin oleh negara Rasulullah shalallahu alaihi wassalam mengingatkan para pemangku jabatan melalui sabdanya “Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kebijakan pemimpin itu harusnya tidak menyulitkan rakyatnya sebagai pengurus rakyat, oleh karena itu Barang siapa memudahkan kesulitan orang lain, pasti Allah akan melepas satu kesulitan untuknya di hari kiamat. Barang siapa memudahkan urusan orang lain pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Wallahu a’lam bishawab

Penulis: Jumriati Fathia (Pemerhati Publik)
Editor: H5P

Komentar