Relevankah Jika Azan Dibatasi Demi Harmonisasi

Nurhikmah

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Bagi kaum muslim azan bukan hanya sekadar seruan untuk melaksanakan ibadah Shalat semata. Namun, lebih dari itu, maknanya jauh lebih berarti. Azan merupakan syiar Islam sekaligus panggilan Allah kepada para hambanya.

Sewajarnya seruan azan memang dikumandangkan dengan suara yang jelas lagi keras, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Muadzin pertama umat Islam yaitu Bilal bin Rabbah, agar seruan tersebut bisa terdengar oleh setiap kaum muslim.

Sayangnya, atas alasan menjaga harmonisasi dan sikap toleransi antar umat beragama, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kini menerbitkan edaran terkait pengaturan volume suara azan. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No. SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Dalam surat edaran tersebut, sedikitnya berisi terkait pengaturan volume pengeras suara yang diatur maksimal 100 desibel (dB). Begitupun waktu penggunaannya, juga disesuaikan di setiap waktu sebelum azan.

Hal lain yang kemudian juga menimbulkan kegaduhan dan menjadi wajar bila menimbulkan kemarahan kaum muslim adalah pernyataan Menteri Agama yang mengatakan bahwa azan bisa menimbulkan gangguan bahkan menganalogikannya dengan suara gonggongan anjing.

Sebagaimana, dikutip dari DetikNews.com, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, “Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu enggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu.”

Dengan beragam alasan yang terkesan dibuat-buat, regulasi buatan rezim demokrasi hari ini tampak jelas selalu memojokkan Islam beserta ajarannya. Islam dianggap sebagai pencetus sikap intoleran dan gagal membangun harmonisasi. Padahal rasanya, sebelum ini belum pernah ada yang protes atau merasa terganggu dengan suara azan baik itu muslim maupun non muslim sekalipun.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto yang dikutip dari Rapublica.co.id (25/2/2022), yang menyampaikan bahwa, “Tolong tunjukkan berapa tempat atau berapa titik yang selama ini menjadi masalah suara azan itu. Atau ada protes keras dari masyarakat atau ada yang menjadi persoalan serius di masyarakat. Tapi kalau enggak ada kenapa harus dipersoalkan? Justru dengan diatur-atur begini, publik seperti marah. Nah marah ini menurut saya mesti diluruskan.”

Maka sudah jelas, edaran terkait pengaturan volume azan ini tentu merupakan keputusan yang sangat tak berdasar dan tak relevan dengan fakta yang ada. Apalagi sampai menganalogikan seruan azan yang mulia dengan gonggongan anjing yang hina.

Azan Panggilan Allah

Siapa pun tentu tak ada yang bisa menafikan bahwa Seruan azan bukanlah perkataan yang dibuat-buat oleh manusia sendiri. Tetapi merupakan Syariat yang datang dari Allah Swt.

Azan kemudian pertama kali disyariatkan di Daulah Madinah. Dari Abdullah bin Umar ra., Rasulullah saw. bersabda, “Dahulu, saat kaum muslim datang ke Madinah, mereka berkumpul. Mereka memperkirakan waktu salat tanpa ada yang menyeru. Hingga suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Ada yang mengatakan, ‘Gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara.’ Yang lain menyatakan, ‘Gunakan saja trompet seperti trompet Yahudi.’ Umar pun berkata, ‘Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru salat?’ Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Wahai Bilal, berdirilah dan serulah untuk salat.’” (HR Bukhari dan Muslim).

Azan berarti ali’lan (pengumuman/notifikasi). Hukum azan menurut kesepakatan ulama adalah fardu kifayah, yakni menjadi dosa apabila tidak ada satu orang pun di tengah masyarakat muslim yang mengumandangkannya saat waktu salat tiba.

Hal ini dikuatkan dalam hadis yang diriwayatkan Malik bin al-Huwairis, “Jika waktu salat telah tiba, salah satu dari kalian (umat Islam) hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian dan yang lain tua di antara kalian menjadi Imam (salat).” (MuslimahNews.id, 1/3/2022)

Beberapa ajaran termasuk syiar Islam faktanya kini memang selalu saja dipojokkan dan disalahkan. Hal ini sejatinya terjadi sebab tak ada Junnah (perisai) yang mampu melindunginya. Sejak keruntuhan daulah Khilafah pada 3 Maret 1924 lalu, Islam ibarat anak yang kehilangan induknya.

Tuduhan-tuduhan tak berdasar selalu dilontarkan pada Islam. Ulama-ulama didiskriminasi, ajarannya disebut pencetus intoleransi, hingga syiar-syiarnya pun disebut hal yang mengganggu. Padahal sepanjang sejarah peradaban Islam yang berlangsung selama 13 abad lamanya, Islam mampu menunjukkan eksistensinya dan menciptakan sebuah kehidupan yang sejahtera lagi tenteram.

Islam juga telah mencontohkan toleransi terbaik dimasa kepemimpinannya. Hal ini terbukti dari pernyataan T.W. Arnold, yang tertulis di dalam bukunya, The Preaching of Islam, bahwa, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan kepada mereka. Perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.”

Arnold kemudian menjelaskan, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Ottoman, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.

Sehingga jelas, pernyataan bahwa suara azan beserta beberapa ajaran Islam lainnya dapat mengganggu harmonisasi antar umat beragama amatlah keliru dan hanyalah alasan-alasan yang sengaja dibuat oleh pihak tertentu yang memang phobia terhadap agama Islam. Sehingga, satu-satunya solusi agar Islam serta syariatnya tak lagi dipojok-pojokkan sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan kegaduhan adalah dengan penegakan kembali Daulah Khilafah Islamiyah.

Sebab dalam hadis Rasulullah SAW. disebutkan bahwa, ”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll). Wallahu’alam Bisshawab

Penulis: Nurhikmah (Tim Pena Ideologis Maros)
Editor: H5P

Komentar