TEGAS.CO.,NUSANTARA – Akhir-akhir ini mencuat dari beberapa kalangan adanya usulan agar pemilu 2024 ditunda, tak terkecuali dari petinggi partai politik. Mereka beralasan bahwa pandemi covid-19 memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian bangsa dan pelaku usaha. Sehingga, pemilu sebaiknya ditunda hingga kondisi negara benar-benar pulih.
Namun beberapa pihak menolak penundaan tersebut karena dipandang digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaannya. Ada yang ingin melanggengkan kekuasaannya dan mereka takut kehilangan kekuasaan.
Dilansir dari Republika.co.id.Jakarta (27/2/2022), Ketua umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan bahwa penundaan pemilihan umum (pemilu) merupakan sesuatu yang melanggar konstitusi dan memandang bahwa wacana tersebut digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaan. AHY mengatakan bahwa “Ada mereka yang ingin melanggengkan kekuasaannya dan mereka takut kehilangan kekuasaan. Mau dibawa ke mana negeri ini kalau diisi, diwakili, dipimpin oleh orang-orang seperti itu?”. Beliau juga menyampaikan bahwa tidak melihat ada masyarakat yang memiliki harapan itu.
Sejalan dengan hal itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Agus Riwanto mengatakan bahwa penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 harus dilakukan sesuai keinginan rakyat. Apa lagi jika wacana ini akan direalisasikan dengan cara mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Alasannya, Pemilu merupakan masalah konstitusional dan bukan kepentingan elit politik belaka. Jika hal itu terjadi tanpa ada persetujuan rakyat maka dikhawatirkan terjadinya pergolakan politik, (UNS,4/03/2022).
Sementara itu, pengamat hukum, Ahmad Khozinudin dalam merespon wacana penundaan pemilu 2024 mengungkap ada pihak yang diuntungkan yaitu yang berkuasa saat ini. Ahmad mengungkap makna tersurat atas hal ini memang menunda pemilu, tetapi tersiratnya adalah menambah masa kekuasaan, (Muslimah News,5/03/2022).
Ia menambahkan bahwa ada kehendak dari sejumlah partai politik terutama diwakili oleh tiga pimpinan partai politik yang mewacanakan penundaan pelaksanaan pemilu 2024 sehingga ada penambahan masa kekuasaan selama 2 tahun lagi tanpa perlu melakukan pemilihan, tanpa perlu mengeluarkan biaya politik, tanpa perlu capek-capek” ujarnya.
Sejatinya dalam sistem demokrasi keberadaan partai politik bekerja bukan untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan publik, ataupun menyalurkan aspirasi rakyat sebagaimana fungsi keberadaan mereka akan tetapi lebih mengejar maslahat individu ataupun kelompok, meski mengorbankan kepentingan rakyat. Demikianlah watak asli demokrasi.
Terlebih lagi ketika dalam pemilu tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga diperlukan berbagai upaya untuk pengembalian modal kampanye ataupun kebutuhan lain selama periode pemilihan tersebut.
Atas hal ini akan banyak ditemui elit politik yang bekerja bukan demi kepentingan rakyat, dan jikapun ada tentunya sangat sedikit itupun jarang ada yang ikhlas atau demi politik pencitraan belaka. Sehingga kemaslahatan rakyat yang seharusnya diperjuangkan oleh negara tidak akan pernah dijumpai dalam sistem demokrasi.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, politik merupakan jalan untuk melayani kepentingan publik sebab politik dalam Islam adalah mengurusi urusan umat. Sementara itu pemilu hanyalah cara (uslub) untuk memilih pemimpin namun bukan sebagai metode pengangkatan seorang kepala negara sehingga mempunyai sifat yang tidak permanen dan bisa berubah-ubah.
Keberadaan penguasa dalam Islam adalah untuk menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT yang diangkat dengan metode baiat, satu-satunya metode baku pengangkatan Khalifah dalam Islam. Dalam pandangan Islam, yang memiliki hak dan otoritas dalam membuat hukum hanyalah Allah SW. Dalam Surat al-An’am ayat 57 ditegaskan: In al-hukmu illaa lillaah. Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah Swt.
Ketika Islam diterapkan oleh penguasa maka akan memberikan kemaslahatan bagi rakyatnya, karena pada dasarnya relasi antara pemerintah terhadap rakyat didasarkan pada dua fungsi penting negara. Pertama, fungsi “raa’in, yakni pengurusan urusan rakyat, termasuk hajat hidup publik sesuai tuntunan syariat, dan kedua adalah fungsi “junnah”, pelindung sekaligus pembebas manusia dari berbagai bentuk dan agenda penjajahan. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda “Imam adalah perisai orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya.”(HR Muslim).
Sementara keberadaan partai politik dalam sistem Islam adalah untuk melakukan kontrol dan muhasabah terhadap negara, terutama dalam penerapan syariat Islam di dalam negeri, serta kebijakan-kebijakan luar negeri. Selain itu, partai politik Islam juga akan melakukan tugas-tugas utamanya, yakni mendidik kesadaran politik umat Islam.
Hanya saja, parpol di dalam negara Islam tidak akan memposisikan dirinya sebagai oposisi yang akan selalu menentang kebijakan negara, atau sebaliknya ia akan mendukung seluruh kebijakan negara. Pada prinsipnya, parpol akan melakukan koreksi tatkala terlihat penyimpangan, sebaliknya ia harus mendukung kebijakan negara yang sejalan dengan syariat Islam.
Sehingga dalam Sistem Islam tidak akan ditemukan adanya partai berkuasa ataupun oposisi karena semuanya dilandaskan pada syariat Allah SWT, tidak terkecuali dalam pemilihan kepala negara, karena dalam Islam tidak ada masa pembatasan jabatan kepala negara misal 5 tahun dalam 1 periode dan boleh berkuasa selama 2 periode akan tetapi boleh berkuasa hingga wafat jika tidak ada hal-hal yang dapat menghentikan kedudukannya sebagai kepala negara berdasar prinsip syariat. Wallahu a’lam bi ash-shawab
Penulis: Ummu Rasyid
Editor: H5P
Komentar