TEGAS.CO,. BUTON – Sebuah laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa peran laut sangatlah penting bagi kesejahteraan Indonesia. Peran laut tersebut berdimensi sangat luas karena memiliki nilai dan kontribusi besar bagi sektor perikanan senilai 27 miliar dollar AS, menghidupi 7 juta tenaga kerja, dan mememenuhi lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani di Indonesia.
Namun demikian, terdapat tantangan pengengelolaan ekosistem laut dan pesisir laut Indonesia.
Tantangan tersebut antara lain, sekitar 38 persen dari ikan ditangkap melebihi kemampuan ekosistem untuk mengembalikan jumahnya (overfishing), sekitar sepertiga dari terumbu karang yang berharga bagi Indonesia berada dalam kondisi kurang baik, dan ekosistem pesisir yang penting seperti mangrove mengalami pengurangan atau tekanan yang besar.
Salah satu wilayah pesisir Indonesia yang sejak lama mengadaptasi sistem pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan adalah Key Biodiversity Area (KBA) Wabula di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Untuk mendukung dan memperkuat sistem pengelolaan tersebut, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia bekerjasama dengan Burung Indonesia dan atas dukungan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) mengimplementasikan program pengelolaan perikanan skala kecil berbasis masyarakat adat di KBA Wabula Buton.
Program ini bertujuan untuk menyediakan data profil sumberdaya perikanan skala kecil di KAB Wabula, meningkatkan kapasitas masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya laut, dan menyediakan kebijakan pengelolaan sumberdaya laut berdasarkan kearifan lokal dalam mendorong tata kelola sumberdaya laut yang lebih baik.
Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan wilayah ini memiliki tiga ekosistem penting di pesisir yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang yang relatif terjaga dengan baik dengan sistem pengelolaan berbasis masyarakat hukum adat.
“Kondisi terumbu karang di Wabula 50-58% masih dalam kondisi baik. Ini jauh dari kondisi terumbu karang Indonesia yang tinggal 23.5% yang dalam kondisi baik,” kata Abdi.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan DFW Indonesia pada 2021, selain terumbu karang, wilayah ini memiliki 15 jenis famili ikan karang antara lain yaitu Balistidae, Lutjanidae, Pomacentridae, Pseudochromidae, dan Labridae.
Selanjutnya, kata dia, kondisi tutupan lamun berkisar antara 64 – 70 % masih tergolong baik. Jenis lamun yang ditemukan yaitu Enhas acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium.
“Sementara itu, kondisi mangrove berkisar antara 66-73 % yang masih tergolong baik dengan jenis mangrove terdiri dari Avicennia sp. Rhizopora sp., Sonneratia Alba dan Bruguera gymnorrhiza,” urainya.
Abdi menambahkan bahwa tingginya presentase terumbu karang, lamun dan mangrove dalam kategori baik di Wabula karena ditopang oleh sistem pengelolaan perikanan tradisional dengan sistem Nambo.
“Dalam wilayah Nambo yang merupakan wilayah perikanan tradisional Masyarakat Hukum Adat Wabula, terdapat zona inti yaitu Kaombo yang merupakan zona larang ambil,” ujar Abdi.
Dia juga mengungkapkan, saat ini terdapat 2 jenis Kaombo di Wabula yaitu Kaombo Awaktu, yaitu wilayah laut yang ditutup secara temporer atau buka tutup, dan Kaombo Saumuru yaitu wilayah laut yang ditutup secara permanen.
Pengelolaan dengan sistem Kaombo ini, lanjut Abdi, bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada ekosistem dan biota laut seperti ikan karang, ikan hias, lola dan teripang untuk dapat berkembang biak dan pulih kembali.
Sistem ini telah memberi dampak positif bagi masyarakat Wabula yaitu terjaganya ekosisitim penting di laut, tercukupinya kebutuhan pangan ikan bagi masyarakat dan tumbuhya kegiatan wisata bahari dan penelitian seperti pemancingan dan diving yang mulai memberi dampak ekonomi bagi masyarakat Wabula.
“Prinsip dan aturan ini sejalan dengan blue economy yaitu penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan dengan tetap menjaga kualitas ekonomi dan ekosistem laut,” beber Abdi.
Lebih jauh lagi dikatakannya, peluang pemanfaatan laut Wabula untuk kegiatan pariwisata akan makin terbuka karena sejalan dengan rencana pemerintah provinsi (Pemprov) Sultra dan Buton untuk menjadikan Wabula sebagai daerah destinasi wisata andalan.
“Potensinya besar, tinggal didukung dengan pemantapan perencanaan dan penyediaan infrastruktur pendukung seperti sarana dan prasarana wisata seperti homestay, kuliner dan atraksi wisata pendukung,” jelasnya.
Sementara itu, Koordinator Program Wabula DFW Indonesia, Nasruddin mengungkapkan, untuk memperkuat model pengelolaan sumberdaya laut berbasis masyarakat hukum adat Wabula, pihkanya telah memfasilitasi penyusunan rencana pengelolaan Kaombo Wabula.
“Rencana pengelolaan ini disusun bersama dengan masyarakat dan pemerintah desa se-kecamatan Wabula yang memuat strategi dan indikasi program pengelolaan Kaombo,” ungkap Nasruddin.
Pihaknya telah mendorong adanya konsensus atau kesepakatan bersama kepala desa Wasampela, Wabula, Wabula 1 dan Wasuemba untuk merujuk dokumen tersebut dalam memperkuat sistem pengelolaan Kaombo di wilayahnya masing-masing.
Rencana pengelolaan ini selanjutnya akan menjadi dokumen bersama yang akan menjadi acuan pemerintah desa dalam pengelolaan Kaombo dan di adopsi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes).
“Pemerintah desa perlu memberikan sentuhan pembangunan pada kegiatan perikanan dan konservasi sumberdaya laut dan tidak melulu membangun infrastruktur yang ada didarat,” jelasnya
Pada bagian lain, program ini juga memberikan intervensi kepada nelayan penangkap tuna di desa Holimombo Jaya, kecamatan Pasarwajo kabupaten Buton.
“Kami telah memfasilitasi 86 nelayan tuna dalam mendapatkan surat ukur kapal dan pas kecil dari otoritas Syahbandar agar kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan lokal didukung oleh kepemilikan dokumen kapal yang legal oleh pemerintah,” kata Nasruddin lagi
Perikanan tuna oleh nelayan skala kecil akan makin berkembang dan ditopang armada dan alat tangkap yang ramah lingkungan dan hasil tangkapan yang terdata.
“Upaya pengurangan IUU fishing dimulai dengan pendataan kapal dan alat tangkap, serta hasil tangkapan ikan oleh nelayan,” uajrnya
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Buton, Ahmad Mulia, M.Si mendukung dan mengapreasiasi program DFW Indonesia dalam memperkuat pengelolaan perikanan skala kecil berbasis masyarakat adat karena sejalan dengan upaya pemerintah kabupaten Buton untuk mendorong pengelolaan perikanan dan pariwisata daerah.
“Inisiatif ini sangat baik karena sinergis dengan rencana pemerintah untuk mendorong perlindungan dan penguatan masyarakat hukum adat yang ada di kabupaten buton melalui Peraturan Daerah,” kata Ahmad Mulia.
Laporan: JSR
Editor: YUSRIF
Komentar