Penyelenggaraan Kawasan Industri: Tata Cara Pengusulan Penetapan Pembangunan dan Evaluasi

Rapat Koordinasi dan Fasilitasi Peningkatan Daya Saing Wilayah Berbasis Kawasan dan Strategis Nasional di Sulawesi Tenggara

TEGAS.CO,. SULAWESI TENGGARA – Kementerian Perindustrian Republik Indonesia melalui Direktorat Perwilayahan Industri Ditjen Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional menyampaikan dalam Rapat koordinasi (Rakor) dan Fasilitasi Peningkatan Daya Saing Wilayah Berbasis Kawasan Strategis Nasional tentang Penyelenggaraan Kawasan Industri: Tata Cara Pengusulan, Penetapan, Pembangunan Dan Evaluasi.

Dalam pemaparannya, Kementerian Perindustrian membagi ke dalam 5 (lima) outline, yaitu:

  1. Kebijakan perwilayahan industri
  2. Perkembangan kawasan industri nasional
  3. Kebijakan terkait perwilayahan industri
  4. Perizinan kawasan industri
  5. Permasalahan terkait Tata Ruang dan Wilayah

KEBIJAKAN PERWILAYAHAN INDUSTRI

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2015 Sasaran Pengembangan Perwilayahan Industri sampai tahun 2035 (RIPIN) meliputi:

  1. Peningkatan peran wilayah Luar Jawa dalam penciptaan nilai tambah sektor industri pengolahan non-migas menjadi 40% dari total nilai tambah sektor industri pengolahan non migas nasional.
  2. Pembangunan 36 kawasan industri dengan prioritas pengembangan di luar pulau Jawa yang didukung dengan penyediaan lahan sekitar 50.000 ha.
  3. Pembangunan Sentra IKM baru, sehingga terdapat minimal satu sentra IKM di setiap kabupaten/kota

Selain Peraturan Pemerintah, kebijakan perwilayahan industri juga tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 74 tahun 2022 (Kebijakan Industri Nasional 2022 – 2024).

Dalam Perpres tersebut kebijakan perwilayahan industri terbagi menjadi:

  1. Program pembangunan Kawasan Industri (KI), meliputi penyusunan regulasi dan kebijakan terkait KI, penataan KI, pembangunan KI, dan pembangunan KI tematik.
  2. Sasaran pembangunan KI, meliputi terpenuhinya standar kawasan industri oleh perusahaan kawasan industri, terselesaikannya permasalahan pembangunan dan pengembangan KI serta fasilitas relokasi investasi industri ke dalam KI, terbangunnya infrastruktur dasar dan pendukung KI, serta terbangunnya KI tematik.

PROFIL PERWILAYAHAN INDUSTRI DI SULAWESI TENGGARA

Kementerian Perindustrian membagi Kawasan Industri di Sulawesi Tenggara menjadi tiga bagian, yaitu Pertama, Kawasan Industri Indonesia Konawe Industrial yang dikelola oleh PT IKIP dengan luas wilayah mencapai 3.563 ha yang berfokus pada industri Smelter Nikel.  PT IKIP saat ini sedang menunggu hasil dari proses perizinanya.

Kedua, Kawasan Industri Virtue Dragon Nickel Industrial Park, dengan pengelola PT VDNIP. Perusahaan tersebut telah memiliki perizinan berusaha KI dengan luas wilayah mencapai 1.537 ha.

Ketiga, Kawasan Industri Nusantara yang dikelola oleh PT Nusantara Industri Sejati telah memiliki perizinan berusaha KI, dengan luas wilayah hingga 4.766 ha.

PERSEBARAN KAWASAN INDUSTRI DI INDONESIA

Saat ini terdapat 138 perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) di seluruh wilayah Indonesia. Dari 138 KI itu, total luas lahanya mencapai 67.992 ha, dengan rincian lahan yang terisi sebanyak 45% (30.464 ha) dan lahan yang belum terisi sebanyak 55% (37.528 ha).

138 perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki IUKI tersebut, antara lain:

  1. Aceh 1 KI
  2. Sumatera Utara 3 KI
  3. Riau 3 KI
  4. Kepulauan Riau 25 KI
  5. Sumatera Barat 1 KI
  6. Sumatera Selatan 1 KI
  7. Lampung 2 KI
  8. Banten 14 KI
  9. DKI Jakarta 2 KI
  10. Jawa Barat 44 KI
  11. Bangka Belitung 1 KI
  12. Yogyakarta 1 KI
  13. Jawa Tengah 8 KI
  14. Jawa Timur 11 KI
  15. Kalimantan Selatan 5 KI
  16. Kalimantan Timur 3 KI
  17. Kalimantan Barat 3 KI
  18. Sulawesi Tengah 5 KI
  19. Sulawesi Tenggara 2 KI
  20. Sulawesi Selatan 1 KI
  21. Maluku 2 KI

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI

Pengembangan kawasan industri di Indonesia terbagi dalam beberapa generasi, yaitu generasi pertama (1’st generation) yang dimulai pada 1970 (Stated owned IP Domination), generasi kedua (2’nd generation) pada 1990 (Private IP Development), generasi ketiga (3’rd generation) dimulai pada 2009 (Modern IP), dan terakhir yang saat ini yaitu generasi keempat (4’th generation). Generasi terakhir ini biasa juga disebut dengan istilah Industry 4.0.

Dalam perkembangannya, setiap kawasan industri akan mengalami perubahan mengikuti era yang berganti. Perkembangan kawasan industri ditandai dengan makin modernnya sistem yang digunakan, baik di bidang pendidikan, sumber energi, infrastruktur, maupun sistem logistiknya.

Misal, perkembangan kawasan industri ketiga (eco industrial park) yang berkembang ke industri generasi keempat (smart-eco industrial park).

Smart Eco Industrial Park/Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan adalah sekumpulan industri baik yang menghasilkan barang atau jasa yang berlokasi pada suatu kawasan industri dimana para pelaku di dalamnya secara bersama meningkatkan performansi lingkungan, ekonomi dan sosial serta kemudahan konektivitas dan komunikasi melalui minimalisasi dampak lingkungan dan transformasi digital dengan tujuan terciptanya desain hijau (green design) dari infrastruktur, perencanaan dan penerapan konsep produk bersih, pencegahan polusi, efisiensi energi antar perusahaan

KEBIJAKAN TERKAIT PERWILAYAHAN INDUSTRI

Dalam Rakor tersebut, Kementerian Perindustrian juga menjelaskan bahwa kebijakan terkait perwilayahan industri telah diatur dalam Undang-Undang No 3/2014 tentang perindustrian dan Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Juga dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 142/2015 tentang Kawasan Industri, yang akan direvisi melalui PP Perwilayahan Industri. PP No 28/2021tentang Penyelenggaran Bidang Perindustrian.

Selain UU dan PP, juga diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 40/2016 tentang Pendoman Teknis KI, Permenperin 45/2019 tentang Penerbitan IUKI (OSS) (* bisnis prosesnya menyesuaikan dengan PP 5/2021), Permenperin 30/2020 tentang Kriteria Teknis Penetapan KPI, Permenperin 1/2020* tentang RKL/RPL Rinci (akan direvisi menyesuaikan OSS RBA), serta Permenperin 17/2020* tentang Surat Keterangan KI Halal (Akan direvisi menjadi Penetapan KI Halal)

Peraturan Menteri Keuangan PMK 105/2016 tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan Bagi Perusahaan Industri di Kawasan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri

GAMBARAN PERIZINAN BERBASIS RISIKO

Kementerian Perindustrian juga mejelaskan tentang gambaran perizinan berbasis risiko. Dimulai dari pelaku usaha memilih bidang usahanya, kemudian melakukan pengisian data usaha. Setelah melakukan pengisian data usaha, para pelaku usaha akan menunggu proses validasi tingkat risiko.

Proses validasi tingkat risiko ini dibagi menjadi, Risiko Rendah (R), Risiko Menengah Rendah (MR), Risiko Menengah Tinggi (MT), dan Risiko Tinggi (T). Jika validasi R lolos maka pelaku usaha akan mendapat NIB.

Untuk validasi tingkat MR, pelaku usaha harus membuat pernyataan mandiri untuk untuk mendapatkan NIB dan SS. Sementara itu, pada validasi risiko tingkat MT, pelaku usaha yang mendapat NIB dan SS namun belum terferivikasi harus memenuhi persyaratan dasar kemudian persyaratan sektoral, jika keduanya telah dipenuhi maka pelaku usaha tersebut akan mendapatkan NIB dan SS yang telah terverifikasi.

Untuk validasi risiko tingkta T, prosesnya sama dengan validasi risiko tingkat MT. namun yang membedakan adalah ketika semua persyaratan telah terpenuhi, pelaku usaha dengan risiko tingkat T akan mendapatkan NIB dan izin, sebab kawasan industri tersebut masuk dalam kategori risiko Tinggi sehingga membutuhkan NIB dan Izin.

PERMENPERIN STANDAR KAWASAN INDUSTRI

Melalui Permenperin, Kementerian Perindustrian mengeluarkan standar kawasan industri dengan landasan hukum:

  1. UU 3/2014 Pasal 105 ayat 4
  2. PP 142/2015 Pasal 44
  3. PP 28/2021 ttg Penyelenggaraan Bidang Perindustrian Pasal 137
  4. PP 5/2021 ttg Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Pasal 74

Dikeluarkannya penerapan standar kawasan industri dengan tujuan:

  1. Memberikan jaminan penyelenggaraan layanan oleh perusahaan kawasan industri kepada tenan dilakukan dengan baik
  2. Mendorong kawasan industri untuk terus melakukan perbaikan dan mempertahankan mutu layanan yang tinggi
  3. Sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan pembinaan kawasan industri
  4. Sebagai instrument melaksanakan pengendalian dan pengawasana

Selain tujuan, kawasan industri juga harus memenuhi aspek yang telah ditentukan, yaitu infrastruktur, pengelolaan lingkungan, serta manajemen serta layanan.

Kewajiban standar kawasan industri bersifat wajib bagi perusahaan yang baru memiliki IUKI dan diberikan waktu dua tahun dalam pemenuhannya, dan bersifat sukarela bagi perusahaan kawasan industri yang sudah memiliki IUKI sebelum Permenperin ini diterbitkan.

Terkait tata ruang dan wilayah, terkadang muncul permasalahan, seperti:

  1. Pengalokasian kawasan peruntukan industri pada revisi rtrw tidak memperhatikan industri eksisting yang sudah berdiri sebelumnya.

Contoh kasus, pada Perda RTRW Kota Bengkulu terbaru terdapat Pola Ruang Kawasan Peruntukan Industri (KPI), namun demikian lokasi untuk industri-industri lama yang sudah berdiri di kota tersebut tidak diakomodir menjadi KPI

  • Terdapat industri – industri yang memohonkan izin usaha di kawasan peruntukan industri (kpi) namun di kabupaten/kota tersebut terdapat kawasan industri (ki)

Contoh kasus, terdapat permohonan Izin Usaha Industri Baru di di Kabupaten – Kabupaten / Kota – Kota di Jawa Timur yang berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri (KPI) namun di Kabupaten – Kabupaten / Kota – Kota tersebut terdapat Kawasan Industri yang memiliki Izin Usaha Kawasan Industri

Sesuai Pasal 106 UU No 3/2014 tentang Perindustrian, Industri yang tidak diwajibkan berlokasi di Kawasan Industri (KI), antara lain:

  • Industri yang berlokasi di daerah kabupaten / kota yang belum memiliki Kawasan Industri (KI);
  • Industri yang berlokasi di daerah kabupaten / kota yang telah memiliki Kawasan Industri (KI), tetapi seluruh kaveling industri dalam KI-nya telah habis;
  • Industri menengah (sedang) yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas;

(*ketiganya ini wajib berlokasi di dalam KPI)

  • Industri ketiga yang tidak berpotensi menimbulkan pencamaran lingkungan hidup yang berdampak luas.
  • Industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/ atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.
  • Tidak mengakomodir KPI pada rencana tata ruang

Contoh kasus, pada RTRW Kota Denpasar TIDAK terdapat Pola Ruang Kawasan Peruntukan Industri (KPI), sehingga bagi Indutri Skala usaha Besar (di atas 10 M), akan terkendala pada perizinannya karena industri skala besar wajib berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri(KPI)

Komentar