Politik Klenik, Tumbuh Subur di Sistem Kapitalisme

Politik Klenik, Tumbuh Subur di Sistem Kapitalisme
SAHARIA

Ritual mengisi Kendi Nusantara yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama 34 gubernur se-Indonesia di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dinilai sebagai bentuk politik klenik.

“Praktek semacam itu dalam terminologi sosiologi budaya dan sosiologi politik bisa dikatagorikan sebagai politik klenik. Suatu praktik politik mengimplementasikan kemauan penguasa (IKN) berdasar imajinasi irasionalitasnya yang meyakini semacam adanya mistisisme tertentu,” kata pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun.(Kompas.com, Minggu, 13/3/2022).

Tentu saja logika ritual kendi Nusantara menggelitik logika masyarakat yang dikenal mayoritas beragama Islam ini.

Bukan tidak mungkin politik klenik yang dipamerkan itu justru mengundang azab sang khalik, sebab dalam perbuatan tersebut mempercayai ada sebuah kekuasaan yang lebih besar daripada sang pencipta alam semesta Allah SWT.

Sedangkan mempercayai zat lain selain Allah azza wajalla adalah perbuatan syirik. Allah SWT berfirman:

” Sembahlah Allah semata dan janganlah berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apapun” (QS.Annisa :36).

Keberadaan politik klenik yang masih eksis dipercayai oleh sebagian orang sebenarnya tidak lepas dari sistem kepemimpinan saat ini.

Sebagaimana diketahui demokrasi yang menjadi asas politik negri ini bersumber dari aqiqah sekularisme, sebuah paham yang menyatakan bahwa agama terpisah dari kehidupan. Pemisahan ini tentu saja berdampak pada pola pikir dan pola sikap masyarakat tak terkecuali penguasanya.

Mereka tidak lagi mengindahkan batasan syariah terhadap suatu perbuatan.

Alhasil, mereka tidak mengenal halal haram ataupun perintah dan larangan Allah pemilik kehidupan.

Oleh karenanya kesyirikan dilanggengkan sebagai sebuah ritual yang bisa dianggap pemersatu dan meredam gejolak publik sebagaimana ritual kendi Nusantara tersebut.

Inilah gambaran nyata sistem demokrasi yaitu menjadikan masyarakat terbelakang dengan konsep kesyirikan.

Andaikata hanya berbicara masalah simbol untuk menjaga persatuan dan keberkahan sebuah negri cukuplah Rasulullah Saw seorang penerima wahyu dijadikan sebagai teladan.
Wallahu a’lam.

OLEH : SAHARIA
(PEMERHATI SOSIAL)

PUBLISHER: TEGAS.CO

Komentar