tegas.co, YOGYAKARTA – Hak atas pekerjaan dan upah yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian, negara wajib membuat kebijakan ketenagakerjaan dan sistem hubungan industrial yang mampu menciptakan keamanan dalam bekerja dan membawa kesejahteraan bagi seluruh warha negara.
Namun faktanya masih banyak buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta yang merasa kurang puas dengan upah yang diberikan oleh pengusaha di tempatnya bekerja ataupun dengan upah minimum yang ditetapkan pemerintah.
Sekjend Aliansi Buruh Yogyakarta, Kirnadi saat ditemui dalam jumpa pers di Sekre ABY, Yogyakarta Sabtu (29/4/2017), mengatakan ketidak puasan tersebut dapat dilihat dari buruh yang menggugat Surat Keputusan Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X tentang upah minimum Kota DIY 2017 di Pengadilan PTUN Yogyakarta.
“Gugatan tersebut masih menunggu putusan Hakim PTUN Yogyakarta” Tuturnya.
Rendahnya upah buruh menjadi penyebab tingginya angka Kemiskinan di DIY. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta garis kemiskinan bulan Maret 2015 hingga Maret 2016 mengalami kenaikan sekitar 5,42 persen.
Jumlah penduduk miskin di DIY pada Maret 2016 sebanyak 49.940 atau naik 9.380 dibanding September 2015 sebanyak 45.560 orang. Kondisi kemiskinan ini semakin diperparah dengan ketimpangan ekonomi. BPS melansir DIY sebagai Provinsi yang memiliki ketimpangan tertinggi di Indonesia.
Gubernur menetapkan UMK 2017 sebesar Ro. 1.572.200 untuk Kota Yogyakarta, Sleman naik menjadi Rp. 1.448.385, Bantul Rp. 1.404.760, Kulon Progo Rp. 1.375.600 dan Gunungkidul Rp. 1.337.650.
“Dengan upah yang semurah ini, hak untuk memiliki rumah ibarat mimpu di siang bolong bagi kaum buruh di DIY” Lanjutnya.
Irsad Ade Irawan selaku Wasekjend Aliansi Buruh Yogyakarta menjelaskan problematika ketenagakerjaan di DIY belum pernah terlihat usai dari masalah sistem outsourcing dan kontrak, pengupahan, kesejahteraan, perlindungan dan pengawasan.
“Hal itu lebih diakibatkan kelemahan pemerintah secara sistematik dalam mengimplementasikan undang-undang ketenagakerjaan bahkan cenderung ada penyimpangan ditambah dengan masalah koordinasi dan kinerja antar lembaga pemerintah yang belum optimal” Tutupnya.
NADHIR ATTAMIMI / HERMAN
Komentar