TEGAS.CO, KENDARI – Hilal telah muncul. Beduk Ramadan mengetuk telinga dan hati kita. Semesta menyambutnya dengan limpahan syukur. Terkandung banyak keutamaan di bulan yang suci ini, yakni bergelimpangan karunia, momentum dimana manusia meningkatkan kualitasnya, saat azab neraka dilepas – ampunan dibuka, mula Al-qur’an diturunkan sebagai petunjuk kehidupan dengan segala keutamaannya.
Ramadan adalah bulan yang sangat spesial. Momentumnya berpuasa. Puasa menjadi perintah wajib bagi orang-orang yang beriman. Jelas dalam Surat Al – Baqarah ayat 183, yakni :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Surat Al Baqarah ayat 183)
Di bulan ramadan manusia-manusia bergelut dengan aktivitas baru. Tak selazim biasanya. Mulai dari berburu takjil lezat, ngabuburit, berbondong ke masjid untuk tarawih, berbakti sosial juga membeli baju diskonan.
Giat tersebut hanya ada di bulan Ramadan. Terbesit sebagai kesalehan sosial. Meskipun demikian, tak semua bisa dilabeli sebagai ibadah. Tentu jika kita merenungi manfaatnya.
Ibadah yang notabene hal yang transeden kadang dikikis dalam tafsiran profan belaka. Kegembiraan-kegembiraan menghanyut-melalaikan dari renungan merengkuh hikmah. Acap kali seperti itu. Tapi, Ramadan tetaplah Ramadan. Ia spesial bagi sebagian besar orang. Namun bisa jadi spesial sebagai momentum ataupun seremonial belaka.
Sisi Lain
Tak seperti lainnya. Ada kelompok manusia yang sulit untuk ber-Ramadan secara mainstream. Mereka hanya bisa menelan ludahnya kala tetangganya menyantap takjil. Jangankan berbaju koko baru, dingin malam yang menggigit kulitnya tak mampu dihalau oleh bilik gubuknya.
Tak ada ngabuburit, selain memulung nafkah di tong sampah – di tapak jalan berdebu nan berpolusi. Sepanjang hari berkalang najis. Hidup begitu sulit hingga meninggalkan ibadah. Mau tak mau memenuhi kebutuhan dunia. Ini nyata disekitar kita. Ada, bahkan tak sedikit jumlahnya.
Adapula yang merayakan Ramadan layaknya akan mati besok. Detik demi detiknya adalah ibadah kepada Allah semata. Hingga luput dari kebutuhan-kebutuhan duniawi. Menafikan hubungan lain – yakni habluminannas (sesama manusia). Toh, belum tentu Ramadan datang lagi. Jadi, dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meraup pahala semata. Surga tujuannya. Jalur khusus Ramadan harapannya.
Bagaimana jika kedua kelompok manusia ini berdamping tanpa saling menghiraukan. Masing-masing sibuk mengejar apa yang mereka tuju. Namun kesibukan itu memisahkan mereka pada hubungan sesamanya. Apakah Idul Fitri akan membasuh mereka untuk kembali menjadi manusia yang suci? menjadi manusia mulia?
Ada banyak sisi paradoks sebagaimana manusia-manusia merayakan Ramadan. Di banyak lapisan masyarakat, kesederhanaan hidup dilupakan. Berboros-boros ditonjolkan, dilegitimasi sebagai semarak Ramadan.
Lihatlah, meja makan kita. Penuh dengan warna-warni makanan dan minuman melimpah ruah. Bukan lagi sebagai kebutuhan akan glukosa sebagai penguat tubuh untuk beraktivitas-ibadah. Melainkan didorong oleh kemauan-kemauan belaka ala Ramadan. Bahkan fotonya sekadar meramaikan story media sosial.
Belum lagi jelang Idul Fitri. Mal-mal penuh dengan para pemburu diskonan. Belanjaan berkedok murah. Apa saja dibeli. Baju baru yang seolah wajib. Perabotan yang melambangkan kemewahan rumah tangga diborong. Adakah semua dibutuhkan sebagaimana kita diajarkan untuk selalu merasa cukup dan bersyukur? ataukah semua itu jauh dari sifat boros?
Baju baru bukanlah mewakili fitrah sebagai manusia baru. Perabotan baru bukan menjadi kebutuhan, manakala ada yang lama. Yang jadi mainstream seolah baru dan baru. Sekering tafsiran profan itulah banyak manusia yang memaknai makna ‘lahir kembali’ di hari kemenangan.
Pola kapitalistis ini menjebak prespektif jalan hidup sebagai gaya hidup. Beragama menjadi tampilan. Untuk dilihat, dipamer. Bukan untuk dibagi dan membantu satu sama lain. Jangan sampai apa yang kita namakan merayakan Ramadan turut menyumbang inflasi, yang kian melemahkan saudara kita yang lain. Syahwat kita jadi derita mereka.
Ramadan kini datang lagi. Memaknainya tentulah mendekatkan kita pada esensi. Sebaik-baiknya manusia adalah yang belajar dari kesalahan. Jangan sampai seperti Ramadan kemarin.
Ada baiknya untuk perlahan berubah. Daripada hanyut pada kebiasaan lama, yang justru melenakan kita pada penyimpangan. Semoga Ramadan kali ini menjadi momentum, dimana kita menjadi manusia yang benar-benar meningkatkan kualitasnya.
Kesalehan sosial adalah niscaya. Dalam titik tertentu terlihat berkilau. Namun dalam titik tertentu pula terlihat bahwa kilauan itu lahir dari cahaya ilusi kehidupan. Kita hanya perlu prespektif yang tepat. Yang mendekatkan kita pada kebenaran-kebenaran berprinsip hidup. Yang mengejar ibadah sebagai esensi, bukan sebagai halusinasi.
Wallahu a’lam bishawab
Oleh : La Ode Asnar Subuh
REDAKSI
Komentar