Legitimasi Ulama Dongkrak Elektabilitas?

Legitimasi Ulama Dongkrak Elektabilitas
QIYA AMALIAH SYAHIDAH (MUSLIMAH MEDIA KONAWE)

Lagi-lagi terbukti suara umat Islam menjadi perhitungan jika ingin menjadi orang nomor satu di negeri ini. Meski ada ungkapan yang menyatakan tidak membutuhkan suara umat Islam. Tapi fakta berbicara, berbagai upaya dilakukan oleh pasangan calon yang akan bertarung di pilpres 2019 untuk menarik calon pemilih yang notabene mayoritas umat Islam dengan menggandeng ulamanya.

Belum lama ini misalnya, Presiden Joko Widodo alias Jokowi menghadiri acara Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju di Pondok Pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah pada Jumat, 1 Februari 2019. Kehadiran calon presiden incumbent di acara tersebut beredar dalam video yang viral di media sosial.

Dalam video tersebut, seorang ulama yakni Kiai Maimoen Zubair membacakan doa penutup pada akhir acara. Ulama yang akrab disapa Mbah Moen itu duduk di sebelah Jokowi dan membacakan doa yang di dalamnya menyebut nama calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto.

“Ya Allah, hadza ar rois, hadza rois, Pak Prabowo ij’al ya ilahana,” kata Maimoen dalam rekaman video acara Sarang Berzikir untuk Indonesia (Tempo.co, 02/02/2019).

Aksi klaim doa pun meramaikan jagat maya hingga nyata. Masing-masing kubu paslon saling ‘merasa’ jika doa itu ditujukan buat salah satu dari keduanya.

Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Miftah Nur Sabri menilai kubu Jokowi panik hingga Ketum PPP Romahurmuziy membuat video klarifikasi soal Ketua Majelis PPP, Maimoen Zubair soal dukungannya dalam Pilpres. Dalam video yang diunggah di Instagram, Rommy menegaskan dukungan Mbah Moen kepada pasangan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.

Miftah meyakini sesungguhnya Mbah Moen mendukung pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Dia mengklaim Prabowo memiliki hubungan dekat sejak masih perwira di Kopassus. Ditambah, 2014 lalu Mbah Moen dalam barisan pendukung Prabowo.

“Pak Prabowo sudah sejak lama sejak perwira muda dia sudah bersilaturrahmi dengan beliau. Jadi dengan pak Jokowi baru kali ya periodesasinya, saya ga tahu persisnya tapi kuat dugaan pasca beliau jadi wali kota Solo,” kata Miftah  (Merdeka.com, 02/02/2019).

Akar Masalah

Kisruh tentang klaim doa yang dijadikan senjata dukungan Kiai Maimoen Zubair terhadap salah satu paslon menjadi riuh ketika para tim sukses paslon mengklaim bahwa doa tersebut ditujukan sebagai dukungan kepada salah satu calon.

Kejadian ini menunjukkan apa sebenarnya yang mereka harapkan dari seorang Ulama bukanlah semata-mata doa, tapi lebih penting adalah dukungan politik. Dukungan ini sangat penting. Sebab bisa dibilang dikalangan Islam ‘tradisional’ pilihan politik Ulama akan selalu diikuti oleh santrinya. Maka wajar jika salah satu kubu bersikeras menyatakan doa itu ditujukan kepada pihak mereka bahkan untuk meyakinkan publik dibuat video verifikasi doa.

Dalam komunikasi politik, legitimasi tokoh publik begitu penting. Hal ini dikarenakan tokoh publik memiliki gerbong massa. Karena bicara massa berarti bicara jumlah. Maka demi kemenangan dan meraup suara sebanyak-banyaknya segala cara akan dilakukan termasuk sowan kepada para Ulama meski berbalut ‘modus’.

Inilah wajah asli demokrasi, sistem hidup yang mengklaim memisahkan agama dari kehidupan faktanya tetap saja menunggangi orang beragama/ulama untuk  mendongkrak suara dan menaikkan  elektabilitas. Sungguh suatu dilematis yang penuh kompromistis.

Wajarlah jika musim kampanye menjadi musim berburu suara dan dukungan ulama. Hal ini dilakukan sebab mayoritas pemilih adalah umat Islam. Maka pendekatan struktural dan kultural dirancang khusus untuk merayu ulama dan umatnya. Tak heran pondok pesantren kerap jadi sasaran anjangsana.

Inilah bukti jika sistem demokrasi menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Tidak peduli meski harus menjilat ludah sendiri.

Solusi Islam

Dalam instusi politik Islam, Ulama memegang peranan penting. Keberadaannya selalu menjadi rujukan untuk dimintai pendapatnya oleh penguasa/khalifah.

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama. Selain itu, dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama.

Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama pun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.

Namun Ulama harus berhati-hati agar tidak terjerumus dalam kekuasaan dan menjadi alat penguasa. Dari Abu Hurairah radiallahu anhu, Rasulullah bersabda yag artinya :

“Siapa tinggal di pedalaman maka perangainya keras, dan siapa sibuk dengan berburu maka akan lalai, serta siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa terkena fitnah, tidak seseorang semakin dekat dengan penguasa maka akan bertambah jauh dari Allah.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dengan sanad shahih).

Pada masa kejayaan Islam dahulu, tidak ada seorang penguasa yang menyalah gunakan kekuasaannya, tanpa mendapatkan teguran dan peringatan dari ulamanya. Bagaimanapun kedudukannya, apakah dia sultan, khalifah atau pemegang jabatan lain.

Sebut saja Imam Malik Rahimahullah, yang tak gentar menghadapi Khalifah Abu Ja’far yang melarang beliau untuk menyampaikan hadits: “Talak tidak berlaku bagi yang dipaksa.” Tapi tetap saja beliau menyampaikan hadits tersebut kepada umat. Meski Akhirnya beliau dicemeti dan tangannya ditarik hingga putus.

Kita juga merindukan sosok Ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal yang menghadapi penjara dan siksa karena mempertahankan akidah, saat dipaksa untuk mengatakan Al-quran itu makhluk.

Saat ini pun kita masih memiliki Ulama seperti Abu Bakar Ba’asyir yang memegang teguh Akidah walau harus menghadapi penjara akibat kezaliman penguasa.

Sungguh hanya Ulama yang menjadi pewaris para nabi saja yang mampu menjadi teladan umat dan bukan Ulama yang berdiri di pintu-pintu penguasa serta menjadi alat legitimasi kekuasaan. Wallahu a’lam bishowab.

PENULIS: QIYA AMALIAH SYAHIDAH (MUSLIMAH MEDIA KONAWE)

PUBLISHER: MAS’UD

Komentar