Hari Kartini, Narasi Feminisme dan Upaya Pengaburan Sejarah 

Hari Kartini, Narasi Feminisme dan Upaya Pengaburan Sejarah 
Nurdalena, S.Pd/Ummu Fathul

Sosok Kartini menjadi icon kebangkitan perempuan Indonesia. Keberanian Kartini melawan diskriminasi dalam pendidikan kala itu, menginspirasi wanita- wanita Indonesia hingga kini. Peringatan hari kartini senatiasa dimeriahkan dengan berbagai kegiatan. Anak- anak perempuan didandani ala Kartini, sebagai wujud rasa bangga ada sosok yang berwajah ayu itu.

Namun sayang, kebanyakan dari perempuan Indonesia salah kaprah dalam memahami sejarah perjuangan kartini.

Narasi Feminisme dan Pengaburan Sejarah

Sejarah Kartini telah diulang- ulang diinternalisasi pada pemahaman siswa- siswa Negeri ini selama berpuluh tahun. Namun sayang kebanyakan dari kita salah kaprah dalam mengenal sosok kartini. Sejarah Perjuangan Kartini diselewengkan oleh barat melalui kaum feminis untuk menggiring perempuan keluar dari kodrat keperempuannya. Kaum feminis barat membangun stigma bahwa Kartini adalah Pelopor feminisme di Indonesia dan membenturkannya dengan Agama. Menggoreng narasi bahwa apa yang dilakukan Kartini adalah penentangan terhadap agama.   Ini bukanlah hal yang aneh, mengingat teman Kartini berkirim surat, Sebut saja,  Nyonya Abendanon, Annie Glesser, Stella, dan Nyonya Van Kol merupakan tokoh- tokoh feminis barat.

Jika kita mencoba menilik sejarah, maka kita akan menemukan pengaburan pada sejarah Kartini. Dalam buku “Tragedi Kartini”  karya Asma Karimah ( 1989), setidaknya ada tiga masa peralihan pemikiran kartini dilihat dari surat- surat yang ditulis Kartini. Pertama, Masa Adat Kartini. Pada masa ini, Kartini yang memang keturunan keluarga cerdas banyak mengkritisi kehidupan adat Jawa di lingkungan keningratannya. Perjuangannya di tahapan ini berkisar pada sektor pendidikan dan peraturan adat. 

Pada tahun 1899, surat Kartini merujuk tentang kerumitan adat Jawa yang menata tata laku yang menurutnya berlebihan. Terdapat pembedaan perlakuan yang Kartini rasakan dalan naungan keningratan keluarganya. Kartini juga menuntut hak mendapatkan  pendidikansemestinya juga menjadi hak kaum pribumi. Para kolonialis (pemerintah Hindia Belanda) membatasi aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat pada masa itu.

Masa kedua, yakni Masa Barat Kartini. tokoh-tokoh yang berkirim surat dengan kartini membawa misi terselubung terhadap Kartini.  Mereka mencoba memasukkan peradaban barat dalam masyarakat pribumi. Dan melalui Kartini yang merupakan priyayilah misi tersebut dapat terlaksana. Kartini menjadi terpengaruh oleh pemikiran Barat. “Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; Orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa,” demikian surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899.

Ketiga, Masa Pencerahan Kartini. Surat-surat yang ditulis sebelum Kartini wafat, banyak mengulang kata Door Duisternis Tot Licht. Kata-kata tersebut kini kita kenal dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Namun lagi-lagi sejarah mengabur hingga menutupi makna sebenarnya dari kata tersebut. Padahal kata ini terinspirasi oleh potongan Ayat 257 Surat Al Baqarah. Seusai pertemuan kartini dengan Kyai Sholeh Darat, seorang ulama besar dari Darat, Semarang.

Kaimat “minadz-dzulumati ilannur” dalam Ayat Alquran, menjadi landasan sebenarnya gerakan Kartini. Masa inilah yang menjadi titik balik kehidupan pemikiran Kartini. Kartini yang semula merasa agama adalah sebuah keterkungkungan.

Kata”gelap”  adalah masa lalu Kartini yang belum memahami secara integral tentang agamanya, Islam. “terbitlah Terang” adalah masa pencerahan dan penemuan kembali jati diri keislamannya. Kartini wafat sebelum ia dapat menerima seluruh terjemahan Al Quran.

Kartini melewati perjalanan panjang menemukan jati dirinya. Namun sejarah hanya menguak satu sisi dari perjalanannya. Kartinisejatinya adalah seorang muslimah yang berjuang menemukan jati dirinya dan agamanya. Wallu a’lam bishowab.

Nurdalena, S.Pd/Ummu Fathul (Pendidik)

Komentar