Pejuang demokrasi adalah kata yang akhir-akhir ini sering kita dengar. Baik di medsos maupun televisi. Bagaimana tidak, paska pemilu digelar, banyak anggota yang berjuang sebagai petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang gugur. Baik itu pingsan, sakit, bahkan meninggal dunia. Seperti yang diberitakan KumparanNews.
KPU terus melakukan pendataan terkait jumlah petugas KPPS yang gugur dan sakit saat bertugas pada 17 April 2019. Data yang diupdate pada Senin (22/4) pukul 16.15 WIB, menunjukkan 90 petugas meninggal.
“Kemudian 374 orang sakit, (penyebabnya) bervariasi,”ungkap Ketua KPU Arief Budiman di Kantor KPU Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/4).
Laporan KPU memperlihatkan, faktor kelelahan menjadi penyebab yang paling besar petugas sakit. Selain itu, beberapa mengalami tifus dan stroke.
Perjuangan petugas KPPS patut diacungi jempol. Namun, dengan perjuangan yang ekstra, dengan sengenap waktu, tenaga yang mereka berikan, ternyata usaha para petugas KPPS seolah hanya sia-sia belaka. Kenapa? Karena KPU gagal menjamin pemilu berjalan dengan lancar, jujur dan adil. Masalah bermunculan. Mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, hingga adanya surat suara yang tercoblos lebih dahulu.
Dari data yang dihimpun oleh Tirto.id, setidaknya ada belasan Kabupaten/ kota yang terhambat melaksanakan pemilu, karena kegagalan KPU tersebut. Sampai mereka menggunakan barang seadanya untuk digunakan sebagai bilik dan penyimpanan suara yang diberikan.
Tak hanya itu, kasus pertama terjadi di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Ketua KPU TTU (Paulinus Veka) mengatakan ada kekurangan surat suara untuk surat suara Presiden dan surat suara anggota DPRD Kabupaten untuk empat daerah pemilihan.
Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, KPU menemukan ada 12 ribu surat suara yang rusak. Kerusakannya berupa kesalahan cetak, adanya bercak tinta dan sobek. Untuk kebijakannya, surat suara itu langsung dibakar agar tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi adanya surat suara yang kurang hingga menimbulkan banyak orang yang kehilangan hak untuk memberikan suaranya. Dan adanya surat suara yang tercoblos lebih dahulu yang dipertanyakan motifnya.
TPS 42 Desa Jenetalasa, Pallangga, Kabupaten Gowa, pemilihan terpaksa dihentikan. Penyebabnya, ada surat suara yang sudah tercoblos untuk capres nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf.
Pengorbanan petugas KPPS yang gugur karena kelelahan menggiring suksesnya pemilu kali ini terasa sangat memprihatikan jika melihat banyaknya kecurangan di lapangan. Hingga menimbulkan banyaknya berita hoaks yang bermunculan sana-sini hingga menimbulkan banyaknya opini-opini negatif masyarakat.
Namun, begitulah praktik politik dan pergelaran pemilu dari tahun ke tahun. Sangat rentan dengan adanya kecurangan terlebih banyak menimbulkan korban. Tak lupa, upaya menghalalkan segala carapun dilakukan demi mendulang suara. Baik fenomena surat suara tercoblos dahulu sebelum dilangsungkan pemilu sampai terjadinya money politic (serangan fajar). Alih-alih mereka berdalih memberi sumbangan partai, sedekah partai atau sejenisnya. Masyarakatpun tak kalah pintar dengan menerima uang namun tidak mencoblos personal atau partai, lantaran tak kenal orang yang akan diberi suara.
Sistem kapitalis yang saat ini berkuasa menjadikan kedudukan pemimpin sebagai sesuatu yang menggiurkan. Dan bisa dicapai dengan segala cara untuk menjadi penguasa. Padahal penguasa dalam konteks islam sangat jelas berbeda. Penguasa dalam islam bertugas sepenuhnya untuk menerapkan hukum tunggal, yaitu hukum Allah, hukum Sang Khaliq dan Mudabbir (Pencipta dan pengatur kehidupan).
Penguasa dalam sistem Islam adalah pelayan rakyat, bahkan tidak digaji melainkan sekedar santunan semata. Begitu sebaliknya rakyat akan menjadi partner kerja bagi penguasa, memberi dukungan penuh keputusan penguasa, demi terlaksanakannya Aturan yang Agung dari Rabbal Izzati. Kemudian kelak semua yang mereka lakukan baik penguasa atau rakyatnya, akan dimintai pertanggung jawaban di yaumul hisab. WaAllahualambisshowab.
PENGIRIM: Shofi Ayunin Tias (Aktivis Muslimah)
Komentar