Ketika Suara Rakyat Tak Lagi Berdaulat

Ketika Suara Rakyat Tak Lagi Berdaulat
Fitri Suryani

Sebagaimana diketahui bahwasanya demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan — dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Sementara itu, Abraham Lincoln menyatakan bahwa, “Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Adapun asas pokok demokrasi, yaitu, Pertama, pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umumbebas, dan rahasia serta jujur dan adil. Kedua, pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Sementara itu, ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah: Pertama, adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).

Kedua, adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).

Ketiga, adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang. Keempat, adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum.

Kelima, adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara. Keenam, adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.

Ketujuh, adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Kedelapan, adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.Kesembilan, adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya) (Wikipedia.org).

Dari gambaran di atas tentang konsep demokrasi, ternyata tak seindah realisasi. Karena tak sedikit yang tak sejalan dengan konsep yang ada di dalam demokrasi. Bagaimana tidak, konon semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan, tapi apakah faktanya seperti itu? Karena sesungguhnya keputusan maupun kebijakan berada di tangan para kapitalis, karena mereka adalah penguasa yang sesungguhnya.

Bagaimana dengan borok lainnya yang diemban oleh sistem tersebut?Setidaknya ada beberapa fakta tentang kebobrokan demokrasi, diantaranya: Pertama, dalam demokrasi kebenaran diukur dari banyaknya suara, bukan dari kebenaran itu sendiri. Sebagaimana contoh, apabila mayoritas menginginkan minuman keras maka itulah yang disahkan.

Kedua, demokrasi merupakan sistem yang sangat mahal. Sehingga tidak dapat dipungkiri, mereka yang sukses meraih jabatan yang dikehendaki, tentu sulit untuk tidak terjerat kasus korupsi, karena dalam rangka mengembalikan modal yang telah banyak dikeluarkan saat kampanye.

Ketiga, demokrasi sejatinya merupakan sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata: ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.” 

Selain itu, sebagaimana yang disampaikan pengamat politik dari Universitas Northwestern Amerika Serikat, Profesor Jeffrey Winters menilai Indonesia merupakan negara demokrasi tanpa hukum.

Hal ini berdasarkan pengamatannya bahwa pasca jatuhnya rezim Soeharto, sistem demokrasi di Indonesia justru beralih pada sistem oligarki. Sehingga dapat dipastikan, hukum yang diharapkan dapat membatasi serta mengawal pemerintahan tidak berfungsi sama sekali. “Demokrasi tanpa hukum dampaknya adalah demokrasi kriminal. Hukum di sini justru tunduk kepada penguasa,” kata Jeffrey.

Jika sudah seperti itu, Slogan demokrasidari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,seolah hanya sebatas kata-kata. Karena apabila ditelisik lebih jauh yang dimaksud sebenarnya rakyat yang mana? Apakah rakyat yang hanya berduit dan punya modal? Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwasanya suara rakyat tak lagi berdaulat.

Di samping itu, sistem tersebut pun berdasarkan aspek kemaslahatan, sehingga ada peluang tawar-menawar di dalamnya. Kalau sudah seperti itu, sulit dielakkan kebijakan yang dihasilkan akan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Karena ada pihak yang diuntungkan dan adapula pihak yang dirugikan.

Coba tengok, ketika rakyat meminta agar BBM tidak dinaikan, apakah aspirasi itu dengar? Begitu pun saat rakyat menolak eksploitasi tambang di daerah mereka, dengan alasan minim memberikan kontribusi dan nilai tambah terhadap kesejahteran masyarakat.

Belum lagi tak sedikit meninggalkan kerusakan lingkungan, karena tidak dikelola dengan baik. Sehingga berujung pada penderitaan yang mesti ditanggung oleh masyarakat. Seperti terjadinya bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia. Tentu masih banyak lagi berbagai suara rakyat yang terabaikan. Jika seperti itu, benarkah suara rakyat masih berdaulat?

Lebih dari itu, tentu demokrasi tak sejalan dengan ajaran-Nya. Maka dari itu, ganjil jika ada yang mengatakan Islam sesuai dengan demokrasi atau demokrasi tidak berlawanan dengan Islam. Mereka mengatakan, bahwa hakikat demokrasi tak berbeda dengan Islam, yaitu musyawarah, toleransi, keadilan dan persamaan. Padahal esensi dari demokrasi setidaknya ada dua hal yang mendasar yang berlawanan dengan Islam. Pertama, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua rakyat adalah sumber kekuasaan.

Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariat, bukan di tangan manusia. Artinya hanya Allah Swt. semata yang bertindak sebagai pembuat hukum. Penetapan halal dan haram, adalah hak Allah Swt. bukan melalui musyawarah. Sebagaimanan dalam alquran surah Al-An’am ayat 57 yang artinya, “Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah.”

Secara teknispun, sistem politik dalam Islam juga lebih mudah dan murah. Pemilihan kepala negara tak membutuhkan waktu yang lama, apalagi sampai menguras keuangan negara yang tak sediki, terlebih jika anggarannya bersumber dari rakyat.Begitu pula pemilihan kepala daerah baik gubernur ataupun bupati/walikota  cukup melalui pengangkatan yang dilakukan oleh kepala negara. Mereka diangkat tentu yang dinilai memiliki kapasitas, kapabilitas, cakap, adil dan amanah untuk memimpin sebuah daerah.

Dengan demikian, semua itu sangat sulit diwujudkan jika aturan yang diterapkan bukan bersumber dari-Nya. Olehnya itu, tidak ada pilihan yang lebih baik, selain kembali pada aturan yang maha baik yakni dari Allah SWT. Karena sesungguhnya Allah yang menciptakan manusia, maka pasti Dia pula yang mengetahui mana yang terbaik untuk hambanya. Sehingga dengan begitu Islam rahmatan lil ‘alamin dapat dirasakan, baik Muslim maupun non Muslim. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Fitri Suryani, S. Pd

Komentar