Apa yang terpikir saat mendengara kata “tahanan”? Tentu seseorang yang ditahan karena dituduh melakukan tindak pidana/kejahatan. Tapi apa jadinya saat seorang tahanan yang harusnya berada di dalam sel, malah sedang melakukan pelesiran. Miris!
Sebagaimana terpidana kasus korupsi e-KTP yang juga mantan Ketua DPR RI Setya Novanto ketahuan pelesiran ke toko bangunan mewah di Padalarang. Menurut Arif Maulana selaku Direktur LBH, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly perlu memberikan tanggapan terkait hal ini. Karena hal ini bukanlah kali pertama Setya Novanto ketahuan pelesiran (Detik.com, 16/06/2019).
Terpidana kasus e-KTP tersebut pun kini menghuni Rutan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. Karena pelesiran tersebut juga dinilai bukan lagi menjadi hal baru bagi mantan Ketua DPR ini meski statusnya sebagai tahanan. Sebelumnya, Setya Novanto pernah pula muncul di restoran Padang di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, akhir April 2019 lalu. Pemindahan mantan Ketua DPR RI itu kesana dimaksudkan untuk memberi efek jera. Selain itu, ada konsekuensi lain yang diterimanya (Liputan6.com, 19/06/2019).
Padahal sejatinya, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan diantara tujuannya adalah membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik.
Selain itu pula, fungsi dari adanya lembaga tersebut adalah menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab (Pasal 3 UUD No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan).
Jika menengok fakta di atas, tentu tujuan dan fungsi lapas seolah telah jauh dari harapan. Karena hukuman yang seharusnya membuat orang jera, tidak didapatkan oleh para pelaku korupsi tersebut. Karena lapas kini seakan jauh dari tujuan dan fungsi awal didirikannya. Kalau sudah seperti itu, orang yang melakukan tindak korupsi tidak akan merasa jera untuk melakukan hal serupa. Karena toh masih dapat pelesiran walau berstatus sebagai tahanan.
Lapas yang memberikan kelonggaran terhadap tahanannya sehingga dapat pelesiran salah satu bukti buruknya penerapan sistem hukum dalam bingkai kapitalisme. Ini pun menunjukkan bahwasanya hukum yang ada seakan tebang pilih dan bagaikan mata pisau yang tajam ke atas, namun tumpul ke bawah.
Karena itu, pemberantasan kasus korupsi di negeri yang mengemban sistem kapitalisme merupakan hal yang utopis, karena sesungguhnya akar masalahnya adalah penerapan sistemdemokrasi yang merupakan sistem politik yang berbiaya tinggi, sekuleristik dan minus sistem hukum yang berfungsi sebagai pencegah.
Sementara itu, di dalam Islam terdapat tiga asas penerapan hukum, yaitu: Pertama, ketakwaan individu yang dapat mendorong seseorang terikat dengan hukum syara. Kedua, kontrol masyarakat di mana adanya saling menyerukan kepada yang makruf dan mencegah kepada kemungkaran.Ketiga, peran negara dalam memberikan sanksi yang tegas dan dapat memberikan efek jera terhadap mereka yang melanggar hukum.
Islam pun memandang bahwasanya sanksi yang diberikan kepada yang melanggar hukum berfungsi sebagai preventif, karena dengan diterapkannya sanksi , orang lain yang akan melakukan kesalahan yang serupa dapat diminimalisir bahkan dicegah sehingga tak muncul keinginan untuk melakukan hal yang serupa. Sanksi tersebut pun sebagai kuratif dengan harapan agar orang yang melakukan pelanggaran hukum tersebut dapat dipaksa menyesali perbuatnnya.
Dengan demikian, masalah korupsi yang terjadi saat ini sulit berakhir, jika hukuman yang ada tidak membuat efek jera. Olehnya itu, sesungguhnya tiada aturan yang lebih baik, selain kembali pada aturan yang maha baik, yakni dengan menerapkan aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga Islam rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
FITRI SURYANI, S. PD
Komentar