Hampir seluruh daerah di Indonesia pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) memicu kegaduhan, hal ini disebabkan oleh sistem zonasi yang ditetapkan pemerintah melalui Permendikbud No.51 Tahun 2018 yang mengatur PPDB. Kuota zonasi dipatok minimal 90 persen, kuota siswa berprestasi dan non zonasi masing masing lima persen, ditambah harus antre panjang dengan mendaftar diawal-awal waktu sehingga kisruh ini tidak terselesaikan dengan baik.
Dewan pendidikan kota Kediri mencurigai banyak kartu kelurga (KK) titipan pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) jenjang SMA/SMK dikota Kediri. Akibatya, anak warga asli kota Kediri gagal masuk zona sekolah dekat rumah mereka “kuat dugaan warga yang punya anak masih SMP setahun atau dua tahun sebelum masuk sekolah jenjang SMA/SMK titip KK pada kerabat terdekat yang domisili dekat sekolah” ungkap Heri Nurdianto, Ketua Dewan Pendidikan kota Kediri (KOMPAS.com, 21/6/2019).
Di Yogyakarta puluhan warga menggelar aksi damai mengkritik sistem zonasi yang mengurangi kuota jalur siswa berprestasi yang digelar oleh Forum Masyarakat Yogyakarta Istimewa Peduli Pendidikan di Tugu PaI Yogyakarta. Ketua Formayo
Dapatkah Terwujud Pemerataan Dengan Sistem Zonasi?
Sistem zonasi awalnya dilandasi oleh pemerintah untuk menghilangkan kastanisasi pendidikan, tak boleh lagi ada istilah sekolah favorit dan non-favorit. Demi mewujudkan keadilan pendidikan itu maka setiap siswa berhak sekolah di sekolah terdekat dari rumahnya. Sehingga anak-anak yang pintar secara akademis akan terdistribusi secara merata, tidak terkonsentrasi di sekolah favorit. Terwujudlah pemerataan pendidikan. Sebenarnya ini adalah upaya yang kedengarannya “baik”, namun tidak adanya persiapan matang dan tanpa ada perencanaan yang baik akibatnya menimbulkan berbagai kegaduhan.
Orangtua yang khawatir akan nasib anaknya akhirnya menempuh segala cara agar sang anak diterima di sekolah yang dituju. Ada yang mendadak pindah rumah dekat sekolah, ada yang pura-pura miskin dengan mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), ada yang menyuap oknum panitia PPDB, dan sebagainya. Akibat sistem zonasi, jumlah siswa yang saling tumpah tindih tidak tersebar secara merata. Yang pada akhirnya masyarakat akan berasumsi tidak perlu rajin belajar asal rumah dekat sekolah, sungguh parah sekali ini.
Kisruh zonasi ini berpangkal pada masalah tidak meratanya sekolah di Indonesia. Dari kualitas saja terjadi ketimpangan layanan pendidikan sehingga muncul istilah sekolah favorit. Sekolah favorit memiliki dewan guru yang lebih berkualitas serta sarana prasarana yang lebih lengkap. Dari sisi lokasi, penyebaran sekolah tidak merata. Ada beberapa sekolah negeri yang berjajar di pusat kota. Tapi, di pinggiran jumlahnya sedikit. Bahkan ada daerah-daerah yang terkategori blank spot karena tak masuk zonasi mana pun.
Jika persoalannya adalah tidak meratanya layanan pendidikan, solusi yang dibutuhkan adalah peningkatan kualitas pendidikan secara merata. Dimulai dari pemetaan jumlah dan sebaran penduduk, lalu ditetapkan rasio ideal antara jumlah sekolah dan jumlah penduduk. Selanjutnya dibangun sekolah sesuai rasio tersebut. Misalnya pada 1000 penduduk harus ada sekian sekolah baik jenjang SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Sehingga bisa dijamin pasti ada sekolah yang dekat tempat tinggal warga.
Dalam menyediakan sekolah negeri ataupun swasta dalam kuantitas yang ideal, pemerintah harus menjadikan kualitas semua sekolah sesuai standard. Semua guru harus mendapat pelatihan untuk meningkatkan kapabilitasnya. Pelatihan dibuat rutin dan kontinyu untuk semua guru. Sehingga tidak ada dikotomi guru negeri dan swasta, antara aparat Sipil Negara (ASN) maupun guru tidak tetap juga antara sertifikasi dan non sertifikasi. Semuanya harus di-upgrade kemampuannya sehingga layak ditempatkan di sekolah mana saja.
Tidak hanya pada pelatihan saja, guru juga haris dijamin kesejahteraannya. Sehingga guru bisa fokus mengajar tidak pusing memikirkan kebutuhan primer namun harus layak, sesuai dengan lelahnya dalam mencurahkan ilmu yang bermanfaat bagi murid .
Sarana prasarana sekolah juga butuh ditingkatkan kualitasnya secara merata. Mulai dari penyediaan lab sains, lab bahasa, perpustakaan dengan isi buku-buku berkualitas, asrama dan sebagainya.
Sistem pendidikan yang baik butuh ditopang kekuatan ekonomi dan political yang kuat negara, serta sistem sistem lain yang baik, dengan sistem ekonomi kapitalistik dan sistem politik sekuler demokrasi yang diterapkan hari ini akan sulit mewujudkan sistem pendidikan yang ideal. Karena peran penting pendidikan sebagai investasi masa depan peradaban. Pendidikan tak boleh diserahkan pada swasta sehingga menjadi komoditas bisnis. Sekolah swasta boleh saja ada tapi dibawah pengaturan negara.
Dalam sistem Pendidikan Islam.
Islam memiliki konsep pendidikan berbasis aqidah Islam, sehingga menuntut ilmu bukan cuma urusan dunia nan fana, namun juga urusan akhirat yang kekal. Kurikulumnya berkualitas tinggi karena bersumber dari wahyu Ilahi.
Negara memposisikan dirinya sebagai pelayan dan mengurusi urusan masyarakat, sehingga pendidikan bisa diakses semua orang dengan mudah. Bahkan bagi masyarakat yang terkendala transportasi, keuangan, domisili tidak menjadi penghambat dalam menuntut ilmu. Karena pendidikan adalah hak rakyat maka disediakan secara gratis. Dana pendidikan berasal dari pengelolaan kekayaan alam semisal tambang, laut, hutan dan sebagainya yang hakikatnya adalah kepemilikan umum, milik seluruh rakyat.
Mengenai zonasi, murid dalam sistem Islam berhak sekolah dimana saja yang dia inginkan. Karena semua sekolah sudah memenuhi standard. Namun bisa jadi murid ingin memperoleh ilmu dari guru tertentu yang disukainya. Dalam islam tidak ada batasan untuk menuntut imu itu dimana seperti halnya pada masa Khilafah Abbasiyah semua sekolah berkualitas bagus, namun Baghdad tetap menjadi berkumpulnya para pencari ilmu. Hal ini tak sampai menimbulkan masalah yang berarti, selain ramainya kota Baghdad, yang itu wajar adanya sebagai ibukota negara.
Bukti atas keberhasilan Islam dalam menyediakan pendidikan berkualitas adalah dalam pernyataan Montgomery watt yaitu: Cukup beralasan jka kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak di bangun oleh proses regenerasi mereka sendiri tanpa dukungan peradaban islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa. Juga dalam pernyataan Jacques C. Reister, cendekiawan barat, tentang khilafah, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi”.
Maka tak perlu terjebak pada pilihan zonasi atau tidak, karena dia merupakan persoalan cabang. Hanya penerapan islam kaffah yang mampu mewujudkan pendidikan yang adil merata dengan output generasi paripurna. Wallahu A’lam Bissawab [**]
M E G A
Komentar