Habis Banjir, Sultra Kedatangan Duta Besar

Habis Banjir, Sultra Kedatangan Duta Besar
RISNAWATI

Setelah banjir melanda, kini Sultra bakal kedatangan duta besar di tahun 2019 ini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi tuan rumah kegiatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-39 yang akan dilaksanakan tanggal 19-12 Oktober 2019.

Seperti dilansir dari Zonasultra.Com, Kendari – Sebanyak 100 duta besar (dubes) dari berbagai negara bakal hadir pada perayaan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-39 yang dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). HPS ke-39 bakal dilaksanakan selama empat hari, 9 Oktober hingga 12 Oktober 2019.

Iklan Pemkot Baubau

Kepala Dinas Ketahanan Pangan Sultra Amal Jaya mengatakan, kehadiran 100 dubes di Sultra ini sesuai dengan konfirmasi dari Kementerian Pertanian ke pihak Pemprov Sultra.

“Kalau tahun-tahun sebelumnya itu hanya 40 dubes, yang terakhir kemarin di Kalimantan Selatan (Kalsel) itu hanya 44 dubes. Tahun ini diperkirakan yang terbesar,” kata Amal Jaya di Kantor Gubernur Sultra, Selasa (16/7/2019).

Selain 100 dubes dari berbagai negara, HPS ke-39 yang dilaksanakan di Sultra diperkirakan akan dihadiri sekitar 30 ribu tamu undangan dari berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara.

“Undangan itu dicetak di Kementerian Pertanian, kita hanya menyalurkan saja. Jadi diperkirakan sesuai informasi terakhir dari kementerian itu 30 ribu undangan,” terangnya.

Kegiatan HPS ke-39 ini bakal digelar di tiga daerah yakni Kota Kendari, Kabupaten Konawe, dan Konsel. Para dubes dari berbagai negara itu pun nantinya akan berkeliling, mulai dari mengunjungi pelaksanaan HPS yang berpusat di eks MTQ Kota Kendari, dengan tema kegiatan Pameran Pangan.

Kemudian, seminar di Hotel Claro Kendari dan upacara peringatan HPS ke-39 di lapangan apel Kantor Gubernur Sultra. Serta mengunjungi pelaksanaan panen raya dan gelar teknologi di Kecamatan Angata, Konsel. Serta melihat pengembangan sagu di Kabupaten Konawe.

Paradoks Ketahanan Pangan Di Indonesia

Indonesia adalah negeri yang Allah SWT anugerahi kekayaan alam yang sangat berlimpah, termasuk sumber daya bahan pangan. Bahan pangan negeri ini tersebar di darat dan di lautan dengan jenis beragam dan jumlah yang sangat besar. Segala produksi pangan tersedia melimpah di negeri ini. Indonesia ibarat surga dunia yang menyimpan banyak berkah. Ironisnya, kekayaan yang tersimpan di bumi Indonesia tidak sesuai dengan apa yang dirasakan rakyatnya. Kemiskinan dan kelaparan masih menjadi cerita. Krisis pangan kerap menjadi berita. Ada yang salah dengan tata kelola pangan di Indonesia.

Sebagai negara kaya raya, Indonesia memiliki amanat undang-undang untuk mewujudkan kedaulatan pangan, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012. Kedaulatan pangan artinya, Indonesia mampu meningkatkan kemampuan produksi pangan melalui penyediaan sarana produksi pertanian, menyediakan pangan yang beraneka ragam, tentunya pangan yang aman, bermutu dan bergizi. Mewujudkan tingkat kecukupan pangan terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau, mempermudah rakyat memperoleh kebutuhan pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas. Selain itu, tujuan dari kedaulatan pangan adalah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang bermutu dan aman, meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan. Serta, melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional. Pemerintah boleh saja mengklaim selama ini telah bekerja keras mewujudkan swasembada pangan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan. Namun faktanya, hingga saat ini kedaulatan pangan masih jauh dari kenyataan. Pemerintah belum mampu mengoptimalkan seluruh potensi dalam negeri yang dimiliki.

Faktanya berbagai macam produk pangan seperti beras, jagung, gula, cabai, kedelai, kacang tanah, nyaris semuanya impor. Contoh saja berdasarkan data statistik, Indonesia menjadi juara impor gula pada periode 2017-2018 dengan besar impor 4,47 juta metrik ton. Angka itu diikuti oleh Cina di posisi kedua dengan 4,2 juta metrik ton dan Amerika Serikat dengan 3,11 juta metrik ton. (tempo.co 22/1/2019)

Dengan demikian, soal pangan ternyata terus menjadi masalah yang tidak kunjung tuntas. Julukan sebagai lumbung pangan yang disematkan pada negeri ini juga tidak menggaransi Indonesia terbebas dari krisis pangan. Dalam seminar Food Security Summit 7 tahun lalu di Jakarta, telah dinyatakan kekhawatiran bakal munculnya krisis pangan kembali mengemuka. Sebabnya jelas, yakni ketersediaan lahan dan produksi pangan tidak mampu mengimbangi pesatnya pertambahan penduduk. Badan Pangan dan Pertanian Dunia menyatakan penduduk dunia kini sudah 7 miliar. Diperkirakan pada 2045 populasi dunia akan menggembung menjadi 9 miliar orang. Indonesia menghadapi kondisi serupa. Implikasinya, produksi pangan harus semakin banyak, tetapi lahan pertanian justru kian menyempit. Tingginya konversi lahan pangan ke nonpangan membuat produksi pangan cenderung stagnan.

Potensi negeri yang makmur apabila diurusi dengan tata kelola yang baik maka dipastikan akan mampu mewujudkan ketahanan pangan, yaitu diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman dan disarankan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal. Maka kebijakan impor sungguh sangat mengkhiananti makna dari perwujudan ketahanan pangan ini.

Solusi Islam Masalah Ketahanan Pangan

Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.

Karena itu, perlu dilakukan penelaan terhadap realita permasalahan ini, yaitu didapatkan bahwa pemerintah tetap mengimpor pangan adalah disebabkan oleh dua faktor utama yaitu; pertama, buruknya sistem pengelolaan pangan yang dilakukan negeri ini, dikarenakan mengadopsi konsep tata kelola pertanian neoliberal dan menjalankan sistem ekonomi kapitalis liberal. Kedua, adalah karena terperangkapnya Indonesia dalam agenda liberalisasi global, dan yang pasti tidak bia dihindari karena mengadopsi sitem kapitalisme liberal yang menyebabkan visi dan kebijakan pangan negara dikendalikan oleh kapitalis global, seperti kebijakan pasar bebas. Sehingga agenda liberalisasi global kian sukses dengan menjerat Indonesia dalam jebakan impor pangan, dengan membangun persepsi seakan-akan kita akan kekurangan pangan jika tidak melakukan impor.

Sehingga umat hari ini patut disadarkan, bahwa rezim neoliberal tidak akan mampu menjamin perwujudan ketahanan dan kedaulatan pangan yang dijanjikan. Rezim ini sama sekali tidak serius merealisasikan janji kesejahteraan yang digemakan, tentu hal ini tampak pada kebijakan pangannya yang berkebalikan dengan janjinya. Memang demikianlah karakter rezim neoliberal yaitu abai dan gagal mensejahterakan rakyat. Mereka tidak akan menjadikan pelayanan kemaslahatan rakyat sebagai arah politik.

Maka pilihan terbaik dan utama untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan adalah kembali pada sistem Islam yang diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah. Negara Khilafah mulai sejak berdirinya konsisten menjalankan politik dalam negerinya yaitu mengurusi kemaslahatan rakyat dan politik luar negerinya mengemban dakwah dan jihad.

Kebijakan pangan Khilafah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya adalah dalam politik pertanian Khilafah, yang diarahkan untuk peningkatan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi. Oleh karenanya perhatian khilafah pun akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian ini, agar kebutuhan pangan untuk rakyat terpenuhi. Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara, agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat khilafah Islam tanpa terkecuali.

Dalam hal ini negara akan memberikan subsidi yang besar bagi para petani agar mereka dapat memproduksi pangan, agar biaya produksi ringan, sehingga keuntungan yang mereka peroleh juga besar. Sebab, pangan adalah masalah strategis, dimana negara tidak boleh tergantung kepada negara lain. Ketergantungan pangan terhadap Negara lain bisa mengakibatkan Negara akan dengan mudah dijajah dan dikuasai. Dengan demikian tugas Negara adalah menjamin semua kebutuhan pokok bagi rakyatnya, termasuk pangan. Karena demikian pentingnya maka Daulah Khilafah Islam akan menjamin persediaan pangan ini, dalam kondisi apapun. Dan tugas mengupayakan kebutuhan primer tercukupi bagi rakyat ini wajib dimaksimalkan oleh Khilafah.

Jadi jelas, krisis pangan yang terjadi saat ini bukan karena jumlah pangan tidak mencukupi kebutuhan manusia, melainkan karena sistem distribusi yang buruk, akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme dan kurangnya (bahkan tidak adanya) tanggungjawab negara dalam sistem rusak seperti ini. Maka, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT.

Dengan implementasi politik ekonomi Islam yang diturunkan oleh Allah SWT, maka kemuliaan dan kesejahteraan rakyat benar-benar akan terwujud. Sebagaimana janji Allah SWT dalam firmannya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS . Al A’raaf: 96). Wallâhu a’lam bi ash shawâb..

RISNAWATI, STP (STAF DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KOLAKA)

Komentar