Beberapa waktu lalu kecelakaan laut kembali terjadi di perairan Pulau Bokori. Buntut dari peristiwa naas ini, 7 penumpang dinyatakan meninggal dunia, sementara 4 orang masih belum diketemukan. Menyikapi hal ini Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Kendari Letkol Marinir Benyamin Ginting, pihaknya enggan untuk disalahkan. Pasalnya, kapal kayu yang bernama KM Izhar ini berangkat dengan membawa penumpang dalam jumlah yang melampaui batas. Kapasitas kapal ini hanya 33 passanger on board (POB). Sementara pada malam itu, penumpang yang berlayar sebanyak 69 orang (Zonasultra.com, 18/08/2019).
Selain over kapasitas, kapal ini juga berangkat di luar jadwal yang telah ditentukan. Seharusnya kapal yang mempunyai rute pelayaran Kendari-Salabangka ini, berangkat pada pukul 05.00 WITA pada 17/08/2019. Akan tetapi pada kenyataannya, kapal malah berangkat pukul 11.30 malam hari (Zonasultra.com, 18/08/2019).
Atas pertimbangan ini, syahbandar menolak untuk disalahkan. Lantas siapa yang sebenarnya bersalah atas tragedi ini? Sepenuhnya salah Nahkoda kah atau there is something wrong?
Kecelakaan itu Musibah
Ya, kebakaran KM Izhar memang itu sebagian dari musibah. Dimana musibah datang tidak ada satupun manusia yang tahu. Bahkan secanggih apapun alat pendeteksi bencana hari ini, tidak mampu membaca kapan musibah itu datang. Lihatlah peristiwa belum lama ini, dimana terkait gempa di sebahagian Pantai Selatan Pulau Jawa. Kala itu BMKG telah merilis info bahwa akan berpotensi tsunami. Namun Qodarullah semua itu tidak terjadi. Hal ini menunjukan, sungguh musibah itu hanya sang Maha kuasa yang tahu.
Kendatipun kecelakaan itu adalah musibah yang mana tidak ada satupun manusia yang mampu menghentikan. Akan tetapi, dibalik semua itu ada posisi penguasa sebagai penyedia layanan transportasi terbaik, teraman dan ternyaman. Dimana mereka harus turut diseret dalam perkara ini. Mengapa? Sebab penguasa adalah pelayan atas rakyatnya dimana ia harus mampu menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup penduduknya baik dalam urusan eknonomi, pendidikan, kesehatan juga fasilitas penunjang dalam kehidupan.
Tragedi kapal terbakar, tenggelam dan lain-lain, tentu bukanlah hal baru terjadi di negeri ini. Menariknya rata-rata penyebab dari semua ini nyaris tidak banyak yang berbeda. Kalau bukan over kapasitas, cuaca buruk, kondisi kapal yang tak layak pakai, tidak mengantongi izin atau tidak terdaftar sehingga minim perhatian dari pengelola pelabuhan dan lain-lain.
Sebagaimana yang terjadi pada kapal kayu dengan kapasitas 33 penumpang ini ( baca: KM Izhar). Syahbandar kurang lebih mengatakan bahwa ini adalah akibat dari pembangkangan dari sang Nahkoda. Sayangnya dalam fenomena ini, jarang kita melihat disebalik semuanya. Seringkali kita menyalahkan pemilik kapal padahal dibalik itu ada minimnya perhatian pemerintah dalam tata kelola dan perencanaan pelayaran yang baik terhadap transportasi salah satunya transportasi laut. Dan ini adalah impact dari penerapan pola liberalisasi dalam industri transportasi.
Kapitalisasi Adalah Pemicunya
Pengadaan transportasi baik darat, laut maupun udara, harusnya menjadi tanggungjawab mutlak negara dalam mengadakan dan mengupayakannya. Namun dalam sistem ekonomi yang kapitalistik perkara ini diserahkan kepada swasta. Akibatnya, tidak ada penyeragaman standar operasional yang baku serta pengawasan yang cukup dan intensif bagi kapal-kapal yang berlayar beserta nahkodanya.
Diperparah lagi dengan kekeliruan pemahaman dalam mengelola fasilitas umum yang bukan murni lagi niat untuk memudahkan penduduk bumi namun berhitung untung rugi. Negara tidak hadir memberi bantuan. Maka pelaku usaha akan seenaknya mematok tarif. Selain itu pula, akibat harus memenuhi biaya akomodasi kapal, seperti membayar upah nahkoda, biaya perbaikan kapal dan lain sebagainya membuat ia akan berhitung untung rugi dalam tata kelolanya.
Maka tidak perlu heran ketika banyak nahkoda yang sampai berani menabrak peraturan demi mendapatkan pundi-pundi rupiah yang berlebih. Ditambah lagi dengan prinsip kebanggaan sistem ekonomi kapitalis yang enggan merogoh banyak kocek namun ingin pendapatan banyak. Modal yang sedikit dan untung yang besar. Bahkan kapal yang sebenarnya tidak layak pakai atau berlayar akan tetap dioperasikan.
Jadi, bagaimana untuk mengakhirinya? Tentu mental kapitalistik ini harus dicampakan. Kendatipun semua yang terjadi adalah bagian dari musibah dimana itu sudah menjadi ketetapanNya. Namun, tidak berarti sarana transportasi tidak diperhatikan dan negara berlepas tangan.
Dalam pandangan Islam, pengelolaan transportasi tidak boleh diberikan kepada pihak swasta. Perkara ini harus menjadi tanggungjawab penuh negara dalam menyediakan layanan yang terbaik dan ternyaman. Sebagaimana Umar bin Al-khathab ketika duduk di singgasana kekuasaan pernah berucap, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?”.
Harusnya, begini pula dengan penguasa hari ini. Jangankan binatang yang terperosok bagaimana dengan nyawa yang melayang? Bahkan pilunya, di sana ada lansia yang tentu ketika insiden kebakaran terjadi ia tak punya pilihan lain. Sebab terjun ke laut pun juga bukan jalan untuk menyelamatkan dirinya. Penguasa harusnya pun takut akan pertanggungjawabannya kelak di yaumil akhir nanti atas tragedi ini. Wallahu’alam.
ROSMIATI
Komentar