Ketegangan yang terjadi di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat dalam dua minggu terakhir menjadi berita hangat yang dibicarakan masyarakat hingga saat ini. Masalah ini mencuat karena persekusi dan tindakan rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur, menjelang hari kemerdekaan RI 17 Agustus.
Aksi unjuk rasa mengecam tindakan rasial pun muncul di berbagai kabupaten/kota Papua dan Papua Barat, termasuk juga wilayah lainnya di luar Papua mulai 19 Agustus lalu.
Demonstrasi yang masif antara lain terjadi di Jayapura, Manokwari, Sorong, Fakfak, Timika, Nabire, Merauke, Paniai, Deiyai, hingga Dogiayai. Beberapa aksi tersebut berujung rusuh, seperti di Manokwari, Sorong, Fakfak, Deiyai, serta Jayapura. (www.cnnindonesia.com/4/9/2019)
Pemerintah Masih Abai
Referendum Papua mulai terangkat lagi pasca terjadinya kasus tersebut. Tuntutan Papua memisahkan diri dari Indonesia bukanlah barang baru. Suara itu sudah muncul sejak RI menganeksasi Papua pada medio 1969, namun kini semakin nyaring dan lantang usai kasus rasial terhadap mahasiswa Papua beberapa waktu kemarin.
Isu rasisme inilah yang menjadi akar dari tumbuhnya rasa ketidakadilan bagi masyarakat Papua. Di sisi lain, isu HAM mulai diangkat juga sebagai tameng untuk memantapkan kemerdekaan Papua.
Setelah lepasnya Timor Leste dari negeri ini, rupanya belum puas juga kaum imperialis menjarah negeri ini. Ini diungkapkan Benny Wenda selaku tokoh Papua merdeka dihadapan the guardian , dia dikabarkan akan menggunakan forum tersebut untuk mendesak PBB menggelar referendum kemerdekaan papua agar segera lepas dari bagian negara Kesatuan RI. (abc.net.au.12/8/2019)
Bahkan Benny pun pernah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Michelle Bachelet, akhir Januari 2019. (www.cnn.indonesia.com).
Gejolak Papua saat ini, tak lepas dari upaya kaum kafir penjajah untuk menyebarkan benih-benih disintegrasi, setelah bergejolaknya Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), serta lepasnya Timor Timur melalui referendum 1999, kini Papua kembali mengulang ceritanya. Intinya, ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan bumi cendrawasih merdeka.
Hal Ini diutarakan oleh Rektor Universitas Islam Internasional (UII) Komarudin Hidayat yang menyebutkan ada pihak-pihak yang merasa senang apabila melihat Papua dan Papua Barat terlepas dan memisahkan diri dari Indonesia. Komarudin juga meminta masyarakat Papuadan Indonesia untuk tidak terjebak pada iming-iming kemerdekaan.
Kita tahu, OPM(Organisasi Papua Merdeka) merupakan organisiasi yang merasa tidak ada hubungan dengan Indonesia. Termasuk negara-negara asia lainnya.
Organisasi ini telah lama menetap di negeri ini. Didirikan pada tahun 1965 dengan tujuan untuk mengakhiri pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, namun sebelumnya dikenal dengan nama Irian Jaya yang sudah lama memisahkan diridari Indonesia.
Peristiwa rusuh di Papua tak lepas dari upaya Papua merdeka yang dibawa oleh OPM. Tampaknya kita tahu beberapa tahun terakhir OPM semakin menampakkan aksi terornya di berbagai wilayah di Papua.
Namun langkah pemerintah dalam menangani OPM tersebut, belum terlihat hasilnya. Padahal jelas-jelas mereka melakukan ancaman dan teror yang membahayakan bagi persatuan Indonesia.
Konflik yang terjadi di Papua, tentu banyak faktor yang mempengaruhi, olehnya itu pemerintah harus bertindak cepat untuk mencari dalang dibalik kerusuhan Papua tersebut. Ditambah lagi pihak-pihak provokator yang membakar semangat kemerdekaan Papua.
Ketidakberdayaan pemerintah menghadapi kaum separatis, serta ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi warga disana dari para para provokator,hal itu semua menjadi signal bahwa gagalnya pemerintah menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, serta keamanan bagi rakyat Papua.
Salah satu bentuk abainya pemerintah terhadap Papua, bisa kita lihat dari pengelolaan tambang di Papua yang justru diserahkan negara kepada pihak asing. Negara berlepas tangan dalam mengelola sumber daya yang ada disana.
Akibatnya berdampak nyata pada kemiskinan dan tidak meratanya kesejahteraan di Papua, semua ini dapat dibuktikan dengan tingkat korban gizi buruk yang cukup tinggi. Ketika pemerintah tidak berhasil menyelesaikan masalah Papua, pemerintah dianggap gagal dalam menangani kasus tersebut. Mengingat, suara terbanyak yang didapatkan jokowi adalah 90 persen dari Papua.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa angka kemiskinan di Papua meningkat hampir 60 ribu orang sejak tahun 2014 hingga 2018. Jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 28%, sementara Papua Barat mencapai 23%. Meskipun banyak proyek investasi dalam pembangunan infrastruktur tapi belum menyelesaikan permasalahan hakiki yaitu “kemerdekaan ekonomi”.
Adanya rasa tak adil atas perhatian pemerintah terhadap Papua, menjadikan Papua mendapatkan perlakuan bak anak tiri. Meskipun memiliki kekayaan melimpah ruah, namun kekayaan alam tersebut tak menjadikan mereka unggul dari bidang pendidikan dan infrastruktur.
Mereka tertinggal jauh dari pembangunan. Termasuk sektor kesehatan, perekonomian dan sosial budaya. Papua dipandang sebagai daerah yang masih terbelakang dan terbilang primitif. Maka pantas mereka merasa tidak pernah merasa nyaman berada di kekuasaan pemerintah Indonesia dari dulu sampai sekarang.
Konsep negara bangsa atau nation state juga menambah rumitnya permasalahan ini, konsep ini semakin menguatkan bahwa Papua bisa hidup sendiri, mandiri dengan mengelola sumber Daya Alamnya sendiri, dengan alasan semua bangsa dengan identitas sejenis dapat menentukan nasibnya sendiri. Inilah yang tercantum dalam perjanjian Westphalia yang coba diungkit ke dunia internasioanl.
Upaya disintegrasi ini terus dihembuskan dengan pemahaman terhadap pemikiran nasionalisme, patriotisme, kedaerahan dan kesukuan. Kita tahu bersama, Papua menyimpan sejumlah kekayaan alam dengan emasnya, kesamaaan pada warna kulit dan etnis diklaim sebagai perbedaan mendasar untuk mereka dengan warga Indonesia yang lainnya.
Hal ini merupakan potensi yang menjadi alasan bahwa mereka bisa hidup mandiri untuk menentukan nasib mereka sendiri tanpa bergabung bersama NKRI. Wacana seperti inilah yang akan berpotensi menghancurkan persatuan Indonesia.
Kesamaan slogan yang dihembuskan barat ketika dulu memecah belah wilayah negara Islam, disintegrasi bukanlah solusi karena sejatinya akan membuat wilayah tersebut semakin lemah, terpecah belah dan menjadi sasaran empuk bagi kaum kafir pejajah.
Dari fakta diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa situasi keamanan Papua sedang terancam. Wilayah paling timur Indonesia, sejujurnya saat ini sedang mengalami guncangan, Sehingga peran pemerintah dalam menangani kasus tersebut sangat dibutuhkan.
Hilangnya peran pemerintah sebagai perisai dan pemelihara urusan rakyat mengakibatkan rakyat Papua terlantar tak terurusi. Di mana tanggung jawab pemerintah.
Peristiwa beruntun seperti itu, merupakan produk masalah yang dilahirkan dari sistem yang dianut oleh Indonesia yang akhirnya perlahan membawa Indonesia menuju pada kehancuran dan disintegrasi. Sistem demokrasi sekuler ini melahirkan pemerintah abai dan lepas tangan, tanpa menjadikan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama yang patut diperhatikan.
Demi kepentingan kaum imperialis, rezim rela menjadi antek antek penjajah dalam memuluskan jarahan mereka di bumi pertiwi. Tanah, laut, pulau, tambang termasuk negara bisa dibeli atas nama uang dengan jalan investasi dan jebakan utang. Inilah hakikat sistem kapitalisme-sekularisme.
Sistem ini berpeluang menjadi akar terpecah belahnya suatu bangsa dan negara. Hembusan nafas nasionalisme telah berhasil merobek-robek wilayah kaum muslimin yang dulunya bersatu padu dalam satu pemimpin satu bendara dan satu Institusi, tak heran Indonesia juga termasuk negeri yang sedang terpancing saat ini.
Solusi Tuntas Masalah Papua
Solusi final dari permasalahn ini adalah mencampakkan sistem sekuler kapitalis, lalu mengadopsi sistem terbaik dan benar yaitu sistem Islam.
Sistem inilah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah, mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan keamanan yang menjadi hak rakyat. Negara Khilafah akan menghasilkan pemimpin yang takut hanya kepada Allah, sehingga hal ini tercermin dari rasa tanggung jawab dalam mengurusi urusan umatnya.
Dengan meletakkan kewajiban pelayanan urusan rakyat secara penuh kepada negara, negara akan mengambil alih segala hal yang diperlukan untuk pengurusan urusan rakyat. Negara wajib memperhatikan terpenuhnya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya seperti bahan pangan, kesehatan, pendidikan, dan masalah sosial lainnya, semuanya terpenuhi secara merata.
Khilafah akan menjaga ketat dari masuknya paham paham penjajah asing, yang coba ditanamkan pada kaum Muslimin. Hal ini dilakukan sebagai upaya menjaga pemikiran rakyat dari penyebaran pemikiran kafir penjajah, seperti sekularisme, pluralisme, nasionalisme, sekaligus sukuisme. Semua ini akan ditindak tegas tanpa ada keraguan sedikitpun.
Negara akan mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk memberantas perusuh yang menyebarkan isu referendum. Sanksi yang tegas terhadap masyarakat yang memberontak dan memprovokasi harus menimbulkan efek jera.
Pemberontakan terkategori penyimpangan dalam Islam yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap negara. Dalam Islam dikenal dengan istilah bughat, yaitu sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap pemimpin dengan cara memisahkan diri, tidak mentaati perintah imam atau menolak kewajiban yang dibebankan kepada mereka.
Terkait sanksi yang diberikan negara oleh para pemberontak adalah diperangi sampai mereka kembali pada perintah Allah. Namun, sebelum diperangi, negara bertanggung jawab untuk mengajak mereka bertaubat dan menanyakan apa masalah mereka terhadap negara.
Jika mereka yang melakukan bughat itu tetap dalam pembangkangan, maka mereka diperangi agar kembali taat.Namun harus diingat, perang terhadap mereka adalah perang dalam rangka memberi pelajaran bukan perang untuk memusnahkan.
Sudah saatnya kita akhiri semua ini, Papua membutuhkan perhatian dari penguasa yang akan melindunginya. Pola asuh yang selama ini diterima Papua, justru menjadikan mereka semakin terpuruk. Pola asuh seperti ini lahir dari penerapan sistem kapitalisme-sekularime di Indonesia .
Sistem ini nyata-nyata membawa dampak buruk bagi kesejahteraan suatu bangsa. Kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, bahkan kesenjangan sosial adalah prestasi yang dihasilkan dari sistem ini. Sadarlah bahwa solusi dari permasalahan ini adalah kembali pada sistem Islam. Waalhu‘alam bi ash-shawwab.
RIMA SEPTIANI