Hiruk-pikuk konstelasi politik acap kali berhasil menjadi kata;isator laju desas-desus umum hingga klasik. Yang awalnya terbatas di antara isu dalam negeri, hingga kini telah menjadi isu yang diinternasionalkan.
Jakarta, CNN Indonesia- Puluhan mahasiswa Papua kembali mengibarkan Bendera Bintang Kejora saat berunjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (28/8). Mereka juga meminta Presiden Jokowi agar menemui massa. Bendera Bintang Kejora juga sempat dikibarkan di depan Istana Negara oleh massa dari Papua yang berunjuk pada rasa pekan lalu.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, sejumlah mahasiswa terlihat mengibarkan bendera Bintang Kejora persis di depan Istana Merdeka. Ada empat bendera bintang kejora yang dikibarkan dengan menggunakan bambu berukuran panjang.
Setiba di depan Istana Merdeka, seorang orator sempat meminta Presiden Jokowi menemui massa aksi. Hal itu diminta sebagai bentuk respon atas permintaan massa yang menunut referendum bagi Papua.
Selain itu, mereka menuntut rasialisme terhadap masyarakat Papua dihentikan. Selanjutnya, mereka meminta aparat TNi/Polri yang melakukan provokasi untuk dipecat. Dalam pernyataan resminya, massa menolak perpanjang Otonomi Khusus di Papua. Sebab, mereka meminta pemerintah Indonesia memberikan hak bagi Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Geliat gerakan yang menuntut kemerdekaan yang dilakukan papua belakangan ini menuai simpati. Sebenarnya selain papua, kerusuhan atau konflik atas permintaan merdeka dengan jalan referendum atau berlepas diri dari Indonesia juga pernah ditempuh oleh beberapa wilayah di bumi pertiwi.
Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-nya pernah melancarkan gerakan bersenjata selama bertahun-tahun untuk tujuan tersebut. Disusul Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), Kalimantan, Minahasa, Bali, dan Timor Timur yang nyata jelas berhasil lepas sejak tahun 1999.
Riak upaya pecah belah alias ‘Disintergasi’ kembali digoreng. Bukan kali pertama. Jauh sebelum memanasnya isu ini, sebenarnya sejak tahun 1999 hingga kini kembali diisukan. Ini pula indikasi yang menguatkan kesimpulan ketidakseriusan pemeritah dalam menyelesaikan polemik papua.
Meski demikian, kerusuhan yang terjadi beberapa waktu lalu hanya akumulasi bara konflik alias dendam lama’ yang sempat terpendam. Tidak butuh waktu lama, kerusuhan yang memantik api permasalahan papua ini terjadi setelah Indonesia merayakan pesta rakyat atas peringatan hari kemerdekaan. Nyaris di waktu yang sama, papua juga meminta merdeka.
Duduk perkara polemik papua, akar masalahnya bersumber dari rapuhnya Integrasi. Manakala kesanggupan pemerintah dalam melayani, mengurusi dan memastikan integrasi tidak keropos, tentulah tidak menjadi alasan untuk berlepas diri.
Akan tetapi rapuhnya integrasi ini berangkat dari lemahnya pendekatan-pendekatan politik, ekonomi, ras maupun agama oleh pemerintah terhadap papua. Pendekatan politik yang lemah, mencuatlah persoalan politik yang belum tuntas yang berpacu pada keyakinan terhadap hak wilayah oleh papua.
Pendekatan ekonomi yang minus pemerataan kerap pula menjadi dalih pamungkas atas realitas pendanaan yang tidak benar-benar terintegrasi di setiap wilayah-wilayah lainnya. Juga tak dapat dipungkiri, isu rasisme turut memperburuk suasana.
Melihat konflik ini, maka pemerintah mengambil jalan pemberlakuan otonomi khusus (otsus). Pemberian otonomi khusus nampaknya disinyalir dapat menyelesaikan masalah. Jauh panggang dari api, cukup kenyataan pilu Timor Timut (Timtim) saat berhasil lepas dari ibu pertiwi yang berekspektasi bisa lebih baik jika berdiri dan menentukan nasib sendiri, realitasnya malah dengan enteng dikuasai Australia, satelit Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik.
Meskipun alibi otonomi khusus digaungkan akan menjanjikan kesejahteraan atas keadilan yang minus pemerataan, tetap saja dana apik yang digelontorkan untuk otsus papua ±8,4 trilliun pada tahun 2019 dan janji 12 trilliun di tahun mendatang (2020) ini tidak memastikan jaminan.
Jika ditelusuri dari 2 juta penduduk papua, harusnya peluang sejahtera lekas menyapa di tengah-tengah papua. Diikuti kebutuhan masyarakat terpenuhi, tidak ada lagi masalah, sebagaimana telah diberikan kewenangan untuk mengurus wilayahnya. Sayang berkali-kali, benarkah kesejahteraan menghampiri papua?
Nyatalah, bahwa otsus bukan solusi apalagi permintaan mendesak referendum. Ini jelas bukan solusi. Mengapa demikian?, sebab referendum justru membuka lebar pintu disintegrasi masuknya kepentingan di atas kegentingan. Upaya ini akan dimanfaatkan sebagai hotspot luangnya kepentingan baik dari dalam maupun luar negeri.
Dari dalam negeri dikompori oleh kepentingan pihak-pihak yang terganggu atas reaksi ketidakpuasan terhadap pembagian kue kekuasaan, upaya provokasi acap kali dilakukan. Kemudian dari luar negeri ada Amerika Serikat yang siap dengan pasukan Darwin dan komponen-komponen perlawanan lainnya, sehingga sewaktu-waktu ‘kayu bakar’ ini bisa dinyalakan kapan saja.
Jika demikian tak butuh waktu lama, papua yang lepas dari majikan bisa langsung kembali bertuan, tentunya jadi budak. Alhasil, papua ibarat kuliner berkelas dengan kekayaan alam yang melimpah bisa dibeli dengan disintegrasi saja. Wallahua’lam bi ash-shawab.
NURHIDAYAT SYAMSIR