Karhutla dan Potret Riayah Penguasa

Karhutla dan Potret Riayah Penguasa
Siti Hartanti.

Kebakaran hutan dan lahan atau biasa dikenal karhutla kembali menerjang lokasi “paru paru dunia”. Sebelumnya ditahun 2015, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat sebanyak 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar dengan 120 ribu titik api yang memicu asap pekat hingga negeri tetangga, Malaysia dan Singapura (cnn.indonesia.com).

Hingga ditahun ini, karhutla kembali dan makin membara. BNBP mencatat area terbakar mencapai 328.724 hektare dengan titik panas hingga pada periode Januari hingga Agustus 2019. Akibatnya, sejumlah kota dilanda kabut asap, bahkan langit pun merah saga.

Iklan Pemkot Baubau

Laporan harian dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan data yang kian mencengangkan. Indeks PM (partikel mikron/semakin banyak partikel ini, semakin buruk kualitas udara) 2.5 udara Pekanbaru menyentuh angka dramatis: 331 alias berbahaya (https://www.bmkg.go.id/) juga mengutip Riau Pos, mulai awal tahun ini tercatat 281.626 orang mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Khusus September saja, sampai pekan kedua, jumlahnya menembus 4.306 orang.

Potret Riayah yang Gagal

Dari beberapa fakta tersebut, bisa dilihat bahwa rezim gagal meriayah umat. Karhutla ditahun sebelumnya, seyogyanya  telah menjadi pelajaran berharga. Bahwa musibah itu terjadi akibat ulah manusia, sebagaimana disampaikan dalam QS. ar-Rum: 41.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat)[1] manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Penguasalah yang akan mengingatkan dan memahamnkan warganya untuk senantiasa menjaga lingkungannya. Penguasalah yang harusnya melindungi dan menjaga dari eksploitasi lingkungan, baik yang dilakukan oleh warganya sendiri atau warga asing. Dan penguasalah yang akan mengedukasi dan mengarahkan hak hak umat dengan penuh keadilan.

Namun, nihil. Penguasa di negeri ini justru sebaliknya. Eksploitasi lingkungan bahkan diberi perizinan dan perlindungan dengan aturan yang telah ditetapkan. Keberpihakan pada kapitalis, asing aseng nampak begitu nyata.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho mengatakan ada 43 perusahaan yang disegel karena terlibat kasus karhutla. Dari 42 perusahaan itu, beberapa di antaranya diketahui memiliki modal dari luar negeri.

Terbitnya perizinan pembukaan lahan dan deforestasi  untuk sawit, tambang dan industri makin digalakkan.Hal ini dikarenakan  sektor ekonomi terus berkembang pesat khususnya dalam pengadaan bahan baku industri dan kertaas. Akibatnya, laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 Ha per tahun dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia.

Pada hakikatnya, karhutla adalah bagian dari cabang masalah lainnya. Akar permasalahannya terletak pada paradigma pemerintah yang keliru tentang riayah itu sendiri. Pasalnya, musibah sekarang merupakan pengulangan dari musibah masa lalu, yang terus berulang dan semakin parah.

Dalam meriayah, negara dalam hal ini pemerintah hanya berperan sebagai regulator saja, tidak sebagai pengontrol atau pelaksana . Ini artinya, hutan dikonsesikan ke swasta, lalu swasta itu tinggal bayar pajak. Tetapi swasta tentu saja akan lebih berpikir apa yang mendatangkan profit dalam masa konsesi miliknya. Selebihnya, swasta tidak akan berpikir soal lingkungan. Atau soal keselamatan penerbangan.

Masalahnya, para penguasa komprador yang dipilih melalui proses demokrasi, tentu saja akan ketakutan jika ditinggalkan para pengusaha. Siapa nanti yang akan membiayai kampanye, akan melobi anggota dewan, akan mengorbitkan para “pakar”, akan membayar pencitraan di media massa, dsb, jika bukan para pengusaha itu.

Tidak hanya itu, upaya curatif bahkan diambil alih oleh relawan. Akibatnya, banyak korban berjatuhan dikarenakan lambannya pemerintah merespon pertolongan para korban.

Rasul Saw. sendiri menyampaikan,

“Sesungguhnya seorang pemimpin itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya. Bila ia memerintah untuk takwa kepada Allah azza wa jalla serta bertindak adil, maka ia akan memperoleh pahala. Namun bila ia memerintah dengan selainnya, maka ia akan mendapatkan akibatnya.” (HR Muslim).

Solusi Islam atas Karhutla

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa islam menawarkan solusi preventif maupun curatif, diantaranya, Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis).

Secara tasyrî’i, Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul saw. bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan begitu kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah sepenuhnya sejak awal.

Adapun secara ijrâ’i, pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen, dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.

Hal ini tidak akan terwujud jika pemerintah masih berparadigma sekuler dan neoliberalis. Tetapi akan dapat terwujud saat siatem islam diterapkan secara menyeluruh. Allahu Akbar.

SITI HARTANTI