Tidak berselang lama pasca rusuh Papua Barat, kerusuhan pun pecah di Wamena tepatnya (22/9/2019). Komandan Kodim 1702/Jayawijaya, Letkol Candra Dianto mengatakan masyarakat pendatang dan penduduk asli Papua perlu waktu dalam mengatasi trauma dan dendam konflik horisontal yang terjadi saat “Wamena Berdarah” tahun 2000 lalu. “Memang perlu ada waktu, sejarah pernah terjadi tahun 2000 yang namanya Wamena Berdarah, dimana konflik horisontal antara pendatang dan pribumi, terjadi pembantaian besar-besaran,” kata Candra.
Lebih dari 5.000 warga Wamena saat ini mengungsi di markas kepolisian dan militer menyusul kerusuhan, sementara sekitar 400 memilih pindah untuk sementara ke Jayapura hingga kondisi pulih(Kompas.com,27/9/2019).
Papua Barat dan Wamena tetap bagian dari NKRI
Seperti halnya kerusuhan di Papua Barat, kerusuhan di Wamena pun dimanfaatkan oleh negara lain untuk mengangkatnya sebagai isu kemanusiaan di Sidang PBB. Pada 28 September 2019, Perdana Menteri (PM) Vanuatu Charlot Salwai Tabismasmas berpidato di hadapan majelis bahwa “para pemimpin dunia harus membantu orang-orang Papua Barat”. Kami (juga) mengecam pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat Papua Barat,” lanjut Tabismasmas.
Mengggunakan hak jawab atas pernyataan PM Vanuatu di Sidang Majelis Umum PBB, delegasi Indonesia menyebut komentar negara Pasifik itu sebagai langkah tak bertanggung jawab berselubung “motif”. “Kami mempertanyakan motifdan langkah Vanuatu yang tidak bertanggung jawab,” kata Rayyanul Sangaji, Delegasi Perwakilan Tetap RI untuk Markas PBB New York.
“Mereka menyoroti isu hak asasi manusia di Papua, tapi motif mereka sebenarnya adalah mendukung kelompok separatisme Papua,” lanjut Rayyanul.
Sebagai informasi, Vanuatu merupakan tempat berdiri dan rumah bagi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pimpinan Benny Wenda sejak 7 Desember 2014. “Vanuatu menjual janji palsu…dan langkah provokasinya yang berlanjut telah memicu konflik. Provokasi Vanuatu (yang menyulut konflik) telah menyebabkan kerusakan infrastruktur di Papua, ratusan rumah terbakar, fasilitas publik rusak, dan nyawa warga sipil yang tak bersalah hilang,”—mereferendum demo berujung rusuh di Wamena pada awal pekan ini.
“Papua, sejak deklarasi kemerdekaan Indonesia, adalah bagian dan NKRI, yang diperkuat dengan resolusi Majelis Umum PBB 2504,” kata Rayyanul.
Delegasi Indonesia juga meminta agar semua negara untuk menghormati”kedaulatan dan integritas teritorial” serta mendesak untuk tidak mencampuri persoalan domestik negara lain(liputan6.com,29/9/2019).
Kerusuhan di Bumi Cendrawasih Butuh Solusi Islam
Berkaca dari kerusuhan pada tahun-tahun sebelumnya, akar masalah di Papua yaitu adanya ketidakadilan atas kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya, yang mana wilayah yang kaya akan emas ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan warganya.
Berbicara tentang keadilan, tidak diragukan lagi bahwa hanya Islam-lah yang membuktikan penerapannya. Tengok saja bagaimana Rasulullah saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Muhajirin hijrah ke Madinah dengan meninggalkan harta dan tanah mereka, sedangkan kaum Anshar merupakan penduduk Madinah yang kaya akan hasil pertanian. Kaum Anshar rela berbagi harta dan keterampilan bercocok tanam untuk saudaranya kaum Muhajirin. Setelah kaum Muhajirin mandiri, barulah kaum Anshar melepas mereka. Dari kisah ini tampak rasa keadilan telah terwujud.
Sebagai agama rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta alam), Islam memperlakukan keadilan pula pada kaum non muslim, sebagaimana Rasulullah saw memperlakukan kaum non muslim. Adapun akhlak Rasulullah terhadap non muslim (1) menolong non muslim yang lemah. Dalam kisah yang amat masyhur, bahwa Rasulullah adalah yang sangat perhatian terhadap keadaan pengemis tua Yahudi yang menetap di salah satu sudut pasar di Madinah (2) tidak membalas perlakuan jahat. Ketika di Mekkah, Rasulullah sering mendapat perlakuan buruk dari seorang Yahudi ketika hendak menuju Ka’bah. Tetapi Rasulullah tidak pernah membalasnya. (3) memberikan perlindungan dan pemahaman Islam. Rasulullah memperlakukan kaum non muslim sesuai QS At Taubah : 6,”Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudia antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”.
Jangankan kepada kaum non muslim, kepada lingkungan pun, umat muslim diwajibkan untuk peduli, sehingga terjadi keseimbangan antara manusia, hewan, tumbuhan dan sumber daya alam. Dengan kata lain juga tercipta keadilan diantara semua komponen alam semesta. Sebagaimana QS Al A’raf : 56,”Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan”.
Saking pedulinya terhadap keadilan dan cinta kasih, saat terjadi perang, kaum muslimin memiliki etika yang ketat yaitu dilarang membunuh perempuan, anak-anak, orang gila, orang tua yang telah pikun, orang sakit yang tidak ikut berperang, tunadaksa, tunanetra, tunaganda, orang yang lemah untuk berperang, orang yang kurang waras pikirannya, pendeta atau rahib di tempat ibadah, orang-orang yang berlindung di tempat ibadah dan para petani di sawah. Seperti sabda Rasulullah saw, “…Dan janganlah kalian membunuhorang tua yang fana (lanjut usia), jangan pula bayi, anak-anak, perempuan dan janganlaj kalian berlebih-lebihan. Lalu kumpulkanlah binatang ternak dan ciptakanlah kedamaian serta berbuat baiklan” (HR Abu Daud).
Sehubungan dengan keadilan sumberdaya alam, menurut Islam, kekayaan alam termasuk pertambangan merupakan bagian dari kepemilkan umum, sehingga pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara. Dengan begitu, hasilnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Olehnya itu haram hukumnya menyerahkan pengelolaan pertambangan kepada swasta, asing maupun aseng. Rasulullah saw bersabda, “kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : air, rumput dan api “(HR Ibnu Majah).
Berdasarkan paparan tersebut diatas, sangatlah jelas jika pemimpin yang lahir dari sistem Islam, tentunya adalah pemimpin yang taat syariah, sehingga kebijakan yang dibuatnya pastinya bersumber dari hukum-hukum Allah swt (Al Qur’an dan As Sunnah). Jika hal ini terlaksana, otomatis keadilan akan terwujud, yang juga berarti kesejahteraan masyarakat akan tercipta. Nilai plusnya juga, kelak akan kita peroleh kesejahteraan di akhirat. Lantas, masihkah kita ragu untuk menerapkan sistem Islam sebagai solusi kerusuhan di Bumi Cendrawasih?. Wallahu’alam bishowab[***].
ULFAH SARI SAKTI,S.PI (JURNALIS MUSLIMAH KENDARI)