Antipati Rezim Terhadap Khilafah

Antipati Rezim Terhadap Khilafah
Hamsina Halisi Alfatih.

Di era mulkan jabariyan saat ini betapa sulitnya mendakwahkan hal- hal yang bersumber dari ajaran islam, salah satunya adalah khilafah. Bahkan tak tanggung-tanggung rezim ini pun memberlakukan pemecatan kepada para ASN yang mencoba mendakwahkan khilafah.

Salah satunya adalah unggahan konten berisi ideologi anti Pancasila di media sosial, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kemenkumham di bebastugaskan oleh Pelaksana tugas (Plt.) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Tjahjo Kumolo. ( InikataSultra.com, 17/10/19).

Iklan Pemkot Baubau

Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh Kapuspen yang juga Plt. Dirjen Politik dan PUM Kemendagri, Bahtiar melalui siaran pers pada kamis (17/10).  “Betul Pak Menteri baru me-nonjob-kan salah satu pegawai karena mengunggah konten ideologi lain yang non-Pancasila, tapi itu di lingkungan Kemenkumham, bukan di Kemendagri,” katanya.

Perlu dipahami dan ditekankan disini bahwa khilafah bukanlah sebuah ideologi seperti yang dimaksudkan. Khilafah adalah sebuah   sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengembangkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Artinya adalah khilafah merupakan benteng bagi umat muslim terhadap upaya hegemoni maupun invasi barat. Selain itu dalam institusi khilafah tidak mengenal adanya nation state yang didasari pada ide nasionalisme.

Semenjak runtuhnya daulah khilafah Utsmaniyah 1924 di Turki, ide sekulerisme maupun liberalisme mulai digencarkan dinegri-negri muslim. Ide-ide tersebut mulai dicokoli kedalam pemikiran masyarakat melalui pendidikan, perekonomian, politik dan sebagainya.

Hasil dari pencokolan invasi barat melalui sekulerisme dan liberalisme inilah yang menjadikan masyarakat jauh dari hal-hal terkait ajaran Islam. Sehingga beberapa pemimpin muslim didunia pun seolah alergi terhadap ajaran Islam yaitu khilafah.

Kenyataan itu bisa kita lihat sendiri atas kepemimpinan rezim saat ini. Dalam memberanguskan khilafah sebagai ajaran islam, isu radikalisme pun dijadikan sebagai senjata. Tak hanya itu saja, aktivis dakwah maupun ulama dikriminalisasi jika menyampaikan ide khilafah dimuka umum. Secara tak langsung hal ini bertentangan dengan paham demokrasi yang memberikan hak kebebasan kepada setiap individu dalam menyampaikan pendapat dimuka umum.

Tindakan represif itupun rupanya merembes kepada Aparatur Sipil Negara yang pro terhadap khilafah. Padahal menyampaikan ide-ide yang bersumber dari ajaran islam bukanlah suatu tindakan pelanggaran hukum. Dan sebagai ajaran Islam  Khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan ditengah-tengah umat.

Mendakwahkan ajaran Islam Khilafah termasuk menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan agama Islam, dimana hal ini dijamin konstitusi dan diatur dalam pasal 28E ayat 1 UUD 1945. Karenanya ketika menyampaikan ide khilafah di muka umum baik lisan maupun tulisan dikatakan sebagai sebuah ancaman atau ujaran kebencian maka hal termaksud sebuah pelecehan terhadap agama Islam sendiri.

Khilafah Ajaran Islam, Wajib Didakwahkan  dan Ditegakkan

Secara historis, dalam rentang sejarah selama 14 abad, tidak pernah umat Islam di seluruh dunia tidak mempunyai seorang khalifah, dan khilafah, kecuali setelah runtuhnya Khilafah pada 3 Maret 1924. Tidak ada satu pun hukum yang diterapkan, kecuali hukum Islam. Dalam seluruh aspek kehidupan, baik sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, semuanya merupakan sistem Islam.

Sehubungan dengan hal itu maka seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib.

Lebih dari itu, menurut Syeikh ad-Dumaji menukilkan kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:

“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.

Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya.

Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan khilafah [Lihat, Syeikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].

Maka dengan demikian mendakwahkan khilafah adalah kewajiban setiap muslim selama sistem kepemimpinan tersebut belum ditegakkan dimuka bumi.

Adapun tindakan represif yang dilakukan oleh rezim saat ini bukanlah suatu bentuk ketakutan untuk meninggalkan kewajiban tersebut. Sebab janji Allah dan bisharoh Rasulullah adalah pasti nyata adanya bahwa khilafah yang mengikuti metode kenabian, khilafah ala minhajji nubuwwah akan segera tegak.

Dari Hudzaifah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

“Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud al-Thayalisi dan al-Bazzar). Wallahu Alam Bishshowab.

HAMSINA HALISI ALFATIH