Ribuan masyarakat dari berbagai ormas dan aliansi mahasiswa se Sulawesi Tenggara, tergabung dalam satu gerakan Aksi Bela Ulama dan Mahasiswa. Aksi yang bergerak dari lapangan Lakidende menuju kantor DPRD, begitu antusias dengan berbagi atribut seperti bendera tauhid dll, (Kendari, Jum’at 25 Oktober 2019)
Bukan tanpa alasan, maraknya ketidakadilan yang terjadi ditengah ulama dan mahasiswa, menjadi sasaran utama dalam menyampaikan aspirasi massa terhadap pemerintah. Ya, menuntut keadilan atas hak setiap masyarakat merupakan sesuatu hal yang wajar.
Persekusi yang terjadi dikalangan ulama, dan penembakan mahasiswa oleh aparat kepolisian pada bulan lalu telah memancing empati dari berbagai elemen. Seperti kata pepatah, “dimana ada gula disitu pasti ada semut”, pun semua yang terjadi bukanlah hal yang kita inginkan. Sebab, persatuan adalah cita-cita sebuah negara.
Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dewasa ini demokrasi hanyalah sebagai konsep belaka, karena sejatinya demokrasi hanya sebagai alat bagi pengembannya, untuk melindungi serta membebaskan diri dari kejahatan nurani dan sistem yang rusak. Bersuara atas nama hak asasi, pun kini telah dibungkam. Lalu sistem apalagi yang kita harapkan?
Demokrasi tidak saja merusak moral dan politik, melainkan merusak aqidah secara berjamaah. Aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Akhirnya karena semua agama termasuk Islam, bukanlah hal yang penting dan sakral lagi di dunia ini, maka dengan dalih kebebasan beragama (freedom of religion), munculah paham-paham gila seperti Pluralisme, Liberalisme, dan Sinkretisme, akibatnya sebagaimana Aliansi Umat Islam (ALUMNI) melaporkan: di Indonesia aliran sesat yang mengatasnamakan Islam, sejak thn 1980 – 2006 jumlahnya mencapai 250 aliran (https://kuliahpemikiran.wordpress.com/2010/06/28/demokrasi-sistem-rusak/).
Melalui aksi damai itu pula, massa sangat berharap banyak kepada para pemerintah, bukan saja kepada para dewan perwakilan rakyat tetapi juga para petinggi pemerintah, dengan harapan dapat memberikan keamanan dan kesejahteraan pada masyarakat. Karena kesejateraan bukan saja tentang hak, melainkan kewajiban yang memenuhi syariat Allah terhadap urusan rakyat.
Dikutip dari Mediaumat.news, seorang orientalis dan sejarawan Kristen bernama T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam : A History of Propagation Of The Muslim Faith, dia banyak membeberkan fakta-fakta kehidupan dalam negara Khilafah. “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani–selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani–telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).”
Negara Islam memberikan jaminan keamanan bagi seluruh warga negaranya, muslim maupun non muslim. Rasulullah SAW memberikan jaminan aman (jiwa dan hartanya yang halal) pada orang-orang kafir (non muslim) saat membebaskan Makkah, beliau bersabda: “Barang siapa yang menutup pintunya maka dia aman.” (HR Muslim)
Rasulullah juga memberikan perlindungan kepada utusan-utusan orang musyrik dan melarang berkhianat kepada orang yang telah mendapatkan jaminan keamanan. Dari Abu Sa’id, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bagi setiap pengkhianat ada bendera di hari kiamat, ia akan diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah tidak ada penghianat yang lebih besar pengkhianatannya dari pemimpin masyarakat umum”. (HR Muslim)
Pun jika hari ini kita menuntut kesejateraan, maka yang patut diberikan adalah masyarakat, mengapa? Karena pemerintah adalah wakil rakyat yang bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya, bukan malah sebaliknya.
Olehnya, kita semua sangat berharap dengan adanya aksi damai tersebut, pemerintah dapat dibukakan pintu hatinya oleh Allah untuk bersungguh-sungguh menjalankan kewajiban dalam hal melayani rakyatnya dengan adil dan benar. Dan semua itu hanya akan terwujud dengan diterapkannya sistem Islam dalam segala aspek.Wallahu’alam Bishawab.
Yusriani Rini Lapeo, S.Pd
(Pemerhati Sosial/Komunitas WCWH, Asal Konawe, Sulawesi Tenggara)