Bulan Rabiul Awal merupakan bulan yang begitu istimewa. Pada bulan tersebut, manusia terbaik dan utusan Allah termulia dilahirkan di dunia. Pada 1400 abad yang lalu, tepatnya pada hari Senin 12 Rabiul Awal 576 M, baginda Nabi Muhammad Saw dilahirkan.
Nabi Muhammad lahir dari pasangan Sayyid Abdullah dan Sayyidah Aminah Radliya Allahu‘anhuma. Momentum lahirnya Rasulullah tersebut diperingati setiap tahunnya sebagai hari Maulid Nabi.
Momentum maulid nabi Muhammad Saw adalah momentum yang tepat untuk mengingat kembali betapa gigih perjuangan dan pengorbanan rasul dalam mendakwahkan serta mengembangkan ajaran Islam di tengah tradisi dan budaya Arab jahiliyah yang gelap nan beku.
Momentum maulid nabi bukan hanya sekedar seremonial belaka, bukan pula perayaan hura-hura. Namun, momentum maulid nabi adalah momentum pertunjukan cinta kita kepada sang nabi.
Pertunjukan cinta kepada sang nabi pun butuh pembuktian. Bukan cinta dusta di bibir. Bukan pula cinta khianat di akhlak tak beradab. Namun tubuh dan perilaku juga wajib menggemakan nada cinta. Yakni, dengan meneladani dan mempraktikkan akhlak mulia dari sang nabi. Tidak berpaling dari jalan sang nabi. Berserah diri dalam ketaatan menjalankan syari’at Islam.
Anas bin Malik ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya dan seluruh manusia”. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Namun, pertunjukan cinta kepada sang nabi tengah diuji. Penggunaan pakaian bercadar dan celana cingkrang yang notabene ajaran Islam pun tengah dipermasalahkan.
Fachrul Razi, menteri agama, mengeluarkan kebijakan terkait pelarangan cadar bagi ASN perempuan, dan pelarangan celana cingkrang bagi ASN laki-laki. Pelarangan mengenakan cadar dan celana cingkrang ini dianggap sebagai upaya deradikalisasi, karena baik cadar maupun celana cingkrang dianggap identik dengan Islam radikal.
Hal serupa pernah terjadi ketika Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, melarang mahasiswinya mengenakan cadar, dengan alasan menjaga kampus dari radikalisme Islam. (Detiknews.com, 04/11/2019).
Dilansir dari suara.com pada 2 November 2019, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, mengatakan bahwa rencana pelarangan ini bertentangan dengan konstitusi Indonesia yakni UUD 1945.
“UUD Pasal 29 ayat 1, Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Kedua, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu. Memakai cadar menyangkut keyakinan atau tidak? Jadi kalau ada larangan, maka secara hukum dia batal demi hukum karena bertentangan,” ujar Anwar, Jumat (1/11/2019).
Anwar mengatakan, cara berpakaian seseorang tidak berhubungan dengan atau menentukan tindakan yang mereka lakukan, dalam hal ini perihal masalah keamanan. Ia merujuk kepada kasus penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru.
“Yang membunuh orang di Christchurch pakai jubah atau pakaian barat? Kalau begitu seluruh orang pakai pakaian barat dilarang? Karena yang membunuh orang di Christchurch itu pakaian barat. Oleh karena itu jangan dilekatkan dengan simbol-simbol,” papar Anwar.
Penggunaan cadar maupun celana cingkrang termasuk bagian dari Islam dan Sunnah nabi. Rasulullah saw. bersabda:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan bagian dariku”. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Kontroversi pemakaian cadar dan celana cingkrang membuat hati setiap muslim bergejolak. Islamophobia kembali menjangkiti seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali menteri agama. Padahal kaum muslimin wajib memahami bahwa, mencintai nabi adalah mencintai syariat Islam secara totalitas.
Maka, siapa saja yang tidak suka dengan syariah yang beliau bawa, apalagi berpaling darinya, maka cintanya kepada Nabi hanyalah cinta dusta. Siapa yang mengaku cinta kepada Nabi saw tetapi alergi terhadap syariahnya, maka cintanya palsu.
Siapa yang mengaku cinta kepada Nabi tetapi ucapannya merendahkan syariah, tindakan dan kebijakannya terjangkiti penyakit islamophobia, maka cintanya dusta meski dia biasa memperingati Maulid Nabi saw dan mengaku cinta kepada beliau hingga berbusa-busa.
Singkatnya, rasa cinta kepada Nabi saw akan menghasilkan kecintaan pada syariahnya. Kecintaan pada syariahnya tentu akan menghasilkan kerinduan pada penerapan syariah tersebut. Sungguh seorang pencinta itu sangat taat kepada yang dicinta. Jadi cinta yang hakiki akan melahirkan ketaatan. Sebaliknya, ketaatan merupakan bukti kecintaan. Klaim cinta kepada Nabi saw bisa dinilai dusta jika ternyata selain Nabi lebih ditaati daripada beliau. Petunjuk Nabi saw diganti oleh petunjuk selainnya serta hukum-hukum yang beliau bawa ditinggalkan dan diganti dengan hukum-hukum yang lainnya.
Ketaatan menunjukkan kecintaan. Kecintaan menunjukkan akan bersama siapa kelak di akhirat karena Rasul saw. bersabda, “Al-Mar`u ma’a man ahabba (Seseorang akan bersama orang yang dia cintai).” Oleh karena itu, sudah seyogyanya umat Islam melakukan pertunjukan cinta yang sebenar-benarnya, dengan pasrah dan taat secara totalitas terhadap syariat Islam. Momentum maulid nabi Muhammad Saw bisa menjadi ajang muhasabah diri, bagi diri sendiri, masyarakat dan bangsa Indonesia untuk tidak gampang menuduh, mengklaim, melabeli dengan kata radikalisasi terhadap simbol dan syariat Islam yang mulia. Karena me-radikalisasi simbol dan syariat Islam bukan bagian dari keimanan, baik iman kepada Rasulullah Saw, maupun iman kepada Allah. Nauzubillah tsumma naudzubillah.
Anas bin Malik ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya dan seluruh manusia”. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, al-Hakim dan Ibnu Hibban). Wallahu’alam bi ash shawab.
ERNI YUWANA