Indonesia merupakan negara maritim yang 70% wilayahnya merupakan wilayah perairan. Hal ini yang kemudian berdampak pada ketimpangan harga-harga barang atau komoditas antara wilayah Indonesia Timur dan Wilayah Indonesia Barat.
Disebabkan pendistribusian logistik lewat jalur laut tentu membutuhkan biaya yang besar, terkhusus didaerah 3TP (Terpencil, Tertinggal, Terluar dan Perbatasan) seperti Maluku dan Papua. Hal ini yang kemudian, menjadi dasar adanya Program Tol Laut. Diharapkan dapat menekan biaya logistik
Namun, pada faktanya biaya logistik di Indonesia masih tinggi. Program Tol Laut yang ditujukan untuk menekan biaya logistik dianggap belum memberikan dampak signifikan.
Ekonom Faisal Basri turut mengatakan proyek Tol Laut belum memberikan dampak signifikan pada penurunan harga barang. Dia mengakui, memang biaya atau ongkos angkutan yang menjalankan program tersebut sudah dapat ditekan, karena diberikan subsidi.
Menurutnya, penurunan ongkos tersebut hanya dinikmati oleh para pedagang dan tidak berdampak pada penurunan harga. (www.merdeka.com.04/11/2019). Hal ini kemudian yang membuat Presiden Jokowi kesal.
Jokowi mengaku telah mendengarkan aspirasi dari masyarakat dan kepala daerah yang meminta agar rute dan frekuensi kedatangan kapal-kapal ke setiap pulau bisa ditambah. Mereka juga mengeluh soal harga barang yang tak turun setelah ada program tersebut. dilansir cnnindonesia.com (30/10/2019).
Tol Laut dan Swastanisasi
Di bawah rezim neoliberal, infrastruktur adalah sesuatu yang amat penting. Baik bagi pembangunan ekonomi kapitalis dalam sumbangsihnya untuk memecahkan problem krisis dan kebutuhan akan pasar yang terus meluas dan waktu transaksi, yang makin singkat dalam istilah David Harvey (2008) disebut space-time compression- maupun menjadi bisnis itu sendiri, seperti bisnis infrastruktur atau yang paling ramai dekade terakhir ini adalah bisnis jalan tol, termasuk tol laut.
Tol laut yang telah mengahabiskan dana ratusan milyar dana APBN ini ternyata masih dikuasai oleh pihak swasta. Tol Laut jika dilihat dari konsepnya memang didesain untuk para korporasi sebagaimana Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengaku telah menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo soal tol laut yang dikabarkan dikuasai pihak swasta. Menurut Budi, hal tersebut terjadi di Maluku.
“Kemarin kan saya mengikuti, diskusi, terutama di Maluku. Memang kita sudah mensinyalir terjadi suatu penguasaan barang yang secara berlebihan,” ujar Budi di Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Jika ditelisik ada beberapa hal yang disinyalir adanya monopoli oknum swasta dibalik tol laut;
Pertama, adanya oknum perusahaan ekspedisi yang berusaha mengambil untung dan memonopoli jasa pengiriman barang lewat program tol laut. Modusnya, perusahaan ekspedisi menetapkan harga lebih mahal dari yang ditetapkan oleh operator kapal untuk setiap pengusaha yang ingin menggunakan jasa tol laut.
Harganya bisa mencapai 70 persen dari harga yang ditetapkan oleh operator kapal tol laut. Padahal pemerintah sudah mengeluarkan anggaran subsidi sangat besar untuk memastikan biaya pengiriman barang kebutuhan pokok lewat tol jasa laut bisa sangat murah. Untuk diketahui, anggaran subsidi tol laut untuk tahun 2017 mencapai Rp 335 milyar, sedangkan 2018 direncanakan mencapai Rp 447 milyar.
Kedua, adanya pengusaha yang menggunakan jasa tol laut mencampur barang yang dikirim memakai jasa tol laut dan yang tidak setelah tiba di pasar. Akibatnya, tidak ada perbedaan harga antara barang yang lewat tol laut dengan yang tidak. Ini juga menyebabkan disparitas harga tidak turun signifikan.
Persoalan selanjutnya, banyak kapal tol laut yang kembali dengan muatan kosong atau tanpa muatan balik, yang menyebabkan ketidakseimbangan hilirasi logistik nasional. Padahal, agar terjadi keseimbangan hilirisasi logistik dan menggerakkan ekonomi daerah yang disinggahi tol laut, kapal tol laut membawa muatan balik berupa komoditas lokal, baik yang mentah maupun sudah diolah.
Persoalan terakhir, lemahnya sinergitas antar lembaga terkait dalam mengawal dan mengawasi program tol laut dari pasokan, pengapalan hingga distribusi di pasar. Di program Tol Laut ini hanya Kementerian Perhubungan, belum hadir Kementerian Perdagangan.
Seharusnya dari pasokan hingga ke kapal, kemudian saat barang diturunkan hingga ke pasar, Kementerian Perdagangan melakukan pengawasan. Sehingga, pemerintah perlu membuat batasan kuota kontainer untuk ekspedisi, supaya tidak terjadi monopoli. Selanjutnya, operator kapal perlu memperketat pengawasan stuffing container agar tidak terjadi manipulasi data manifes.
Jika dilihat permasalahan yang terjadi di Tol Laut, maka sebenarnya hal ini wajar terjadi dan menjadi konsekuensi di negara yang menerapkan ekonomi Kapitalisme Neoliberal. bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, negara hanya sebatas regulator, pelayan, dan pemberi fasilitas bagi korporasi atau swasta.
Sedangkan korporasi bertindak sebagai operator di lapangan. Negara dengan sistem ini memang tidak diperkenankan menjadi pelayan masyarakat secara langsung, sehingga mustahil menguntungkan masyarakat. Permasalahan Tol Laut menjadi berlarut-larut bahkan sejak 5 tahun programnya baru sekarang dipertanyakan keefektifitas dari Tol Laut tersebut.
Islam dan Pengawasan Perdagangan
Sistem pengawasan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam perdagangan. Dalam islam, system pengawasannya tumbuh sesuai dengan prinsip-prinsip syariah islam dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam. Pengawasan menjadi salah satu bentuk kekuasaan dalam Islam.
Di dalamnya ada berbagai persyaratan bagi orang yang menduduki jabatan ini, syarat-syarat orang-orang yang diawasi dan syarat-syarat dalam melakukan tugas pengawasan. Itulah mengapa Islam tidak mengandalkan semata kejujuran orang dalam menjalankan sebuah aktivitas. Sebuah sistem yang mengatur dan memaksa untuk baik sangat diperlukan agar pribadi-pribadi yang jujur akan terjaga dan nyaman dengan lingkungan yang berisi aturan yang baik dan benar.
Sebaliknya, orang-orang yang curang dan berusaha curang akan tertutup rapat untuk menjalankan rencananya. Apalagi melakukannya. Semua tertutup rapat walau memang masih terbuka peluang bagi orang-orang yang culas untuk melakukan kemaksiatan.
Dirawikan bahwa oleh Al-Hafizh adz-Dzahabi dari Qatadah Khalifah Umar sangat ketat dalam melakukan pengawasan di pasar. Ia berkeliling di pasar-pasar sambil membawa cemeti dan menegur orang yang melanggar aturan dengan cemeti tersebut.
Dirawikan dari Anas bin Malik, “Suatu hari, aku pernah melihat Khalifah Umar mengenakan sarung yang padanya terdapat 10 tambalan. Sebagiannya ditambah dengan benang berwarna merah. Tidak mengenakan gamis panjang dan mengenakan sorban sambil membawa cemeti. Saat itu ia berkeliling di pasar Madinah.”
Kisah yang senada diriwayatkan; Khalifah Umar akan memukul pedagang yang berjualan di pasar yang tidak mengetahui hukum-hukum syariah tentang jual-beli. Khalifah Umar mengatakan, “Tidak diperkenankan berjualan di pasar-pasar milik kami orang yang tidak mengetahui masalah riba.”.
Saat ini, banyak orang yang terlibat di pasar dan diperdagangan tidak tahu bahkan tidak mau tahu tentang halal dan haram. Banyak yang tidak tahu tentang hukum-hukum jual-beli yang disyariatkan oleh Islam.
Yang ada saat ini adalah yang penting untung. Entah itu bagaimana jalannya. Entah dengan menipu, curang dalam timbangan atau yang lain. Islam jelas melarang itu semua. Khilafah memastikan itu semua berjalan dalam setiap relung terkecil dan tersembunyi di pasar.
Selain melakukan pengawasan melekat, Khalifah Umar juga melarang praktik monopoli di pasar-pasar milik kaum Muslim. Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hathib bin Abi Balta’ah, “Bagaimana cara Anda menjual barang, Hathib?” Ia menjawab, “Dengan utang.” Khalifah Umar lalu berkata, “Kalian berjualan di pintu, halaman dan pasar milik kami, tetapi kalian mencekik leher kami. Kemudian kalian menjual barang dengan harga sesuka hati kalian.
Juallah satu sha’ (1 sha’ = 2.172 gram). Bila tidak, janganlah Anda berjualan di pasar-pasar milik kami atau pergilah kalian ke daerah lain dan imporlah barang dagangan dari sana. Lalu juallah dengan harga sehendak kalian!”
Khalifah Umar tidak hanya membatasi praktik monopoli terhadap barang-barang kebutuhan pokok dan hewan, tetapi bersifat umum terhadap setiap barang yang mendatangkan madarat bagi orang-orang bila barang itu tidak ada di pasaran. Imam Malik merawikan dalam Al-Muwaththa’, bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah mengatakan, “Tidak boleh ada praktik monopoli di pasar-pasar milik kami.”
Sehingga kita seharusnya mencontoh keberhasilan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang terbukti berabad-abad lamanya menyejahterakan masyarakatnya.
Bangsa ini harus berkiblat pada kegemilangan dan kejayaan Khilafah Islamiyah dalam kesuksesannya mengelola transportasi laut hingga menguasai perdagangan global selama berabad-abad yang menyejahterakan masyarakatnya.
NINING JULIANTI