Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei tentang tingkat kepuasan masyarakat terhadap Presiden Joko Widodo, nasionalisme dan kebebasan sipil pada era pemerintahan Jokowi. Survei itu dilakukan LSI mulai dari 8 sampai 17 September 2019.
Survei melibatkan 1.550 responden yang dipilih secara acak, dengan margin of error 2,5 persen. Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, merilis hasil survei lembaganya, Minggu (3/11/2019). Berdasarkan hasil survei LSI, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Prsiden Jokowi menguat pada tahun 2019, dibanding tiga tahun sebelumnya, (Kompas.com, 4/11/19).
Survei merupakan suatu aktivitas atau kegiatan penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan suatu kepastian informasi (seperti jumlah orang, persepsi atau pesan-pesan tertentu), dengan cara mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok.
Tujuan dari survei adalah memaparkan data dari objek penelitian, menginterpretasikan dan menganalisa secara sistematis. Kebenaran informasi itu tergantung kepada metode yang digunakan dalam survei. Hasil survei LSI mengklaim tingkat kepuasan rakyat terhadap Presiden Jokowi menguat pada tahun 2019.
Padahal, hasil survei yang dirilis 3/11/2019 itu bertema “Tantangan Intoleransi dan Kebebasan Sipil serta Modal Kerja pada Periode Kedua Pemerintahan Joko Widodo.” Sorotan utamanya, seharusnya adalah kebebasan sipil yang kian menurun atau ketakutan publik dalam berekspresi meningkat di era Jokowi.
Di sinilah terjadi survei yang manipulatif demi politik pencitraan rezim. Ada yang terasa janggal dengan hasil survei ini, mengingat fakta-fakta yang menunjukkan hal sebaliknya justru melimpah ruah.
Nyatanya, betapa banyak kebijakan yang dirasa sangat merugikan rakyat. Sehingga suara-suara ketidakpuasan masyarakat pun kian hari terdengar kian nyaring, soal BPJS Kesehatan misalnya.
Banyak masyarakat yang protes saat pemerintah secara resmi menaikkan besaran iuran sebanyak 100 persen. Kebijakan ini diambil di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang makin sulit.
Setidaknya ini tercermin dari indikator konsumsi dan investasi yang terus menurun. Juga nampak dari lesunya perdagangan sebagaimana diakui Asosiasi Perdagangan Indonesia (Apindo) yang sekaligus menggambarkan kian lemahnya daya beli masyarakat atau menurunnya konsumsi rumah tangga masyarakat di Indonesia.
Manipulasi survei, telah menjadi lahan basah bisnis pencitraan seiring menguatnya kekuasaan mafia kekuasaan. Kepentingan melestarikan gurita bisnis para cukong, menjadikan mereka sanggup merekayasa opini yang pada faktanya tak pernah terjadi di tengah masyarakat.
Fenomena tersebut biasa terjadi di era demokrasi. Ini terjadi karena berpangkal pada akidah sekularisme. Sekularisme adalah pemisahan agama dari kehidupan.
Dengan sekularisme maka tindakan manipulatif dianggap tidak ada hubungannya dengan dosa. Dosa dianggap semata-mata masalah agama. Sementara menurut akidah sekularisme agama tidak boleh hadir dalam urusan kehidupan.
Inilah bentuk/cermin kegagalan sistem sekularisme. Munculnya survei-survei manipulatif di antaranya karena memang sistem ini cacat. Sistem politik demokrasi yang ada mendorong para politisi bersaing dengan segala cara untuk memikat rakyat agar memilih atau pro kepada mereka.
Berbeda dengan sistem Islam, yang menerapkan syariah Islam dan berlandaskan akidah Islam. Politisi Islam sejati akan berkomitmen untuk menunaikan tanggung jawab politiknya, yakni mengurus urusan rakyat. Hal inilah yang akan menarik rakyat untuk memilihnya, tanpa harus dipromosikan dengan survei-survei manipulatif.
Kata manipulasi, menurut Wikipedia Indonesia, adalah sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan, penyembunyian, penghalangan atau pengaburan terhadap sebagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta, ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai.
Sinonim dari kata manipulasi adalah kecurangan, kelicikan, muslihat, penyelewengan, tipu daya, dan lain-lain, (sinonimkata.com).
Kata manipulasi cenderung bersifat negatif. Menipu rakyat, menebar janji palsu ketika kampanye, curang ketika pemilihan umum nampak jelas dalam politik demokrasi. Kontras sekali dibanding dengan sistem Islam. Karena dalam pandangan Islam ingkar janji dan berkata bohong adalah haram dan termasuk di antara perbuatan munafik.
Janji-janji yang tidak ditepati itu pada akhirnya lebih dekat pada sebuah kebohongan. Pasalnya, sedari awal, berdasarkan pada apa yang selama ini terjadi, sudah bisa diduga bahwa janji-janji itu tidak akan ditepati atau sangat sedikit yang ditepati. Kenyataan seperti itu lebih dekat pada gambaran pemimpin yang menipu rakyat yang tidak akan masuk surga.
“Tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah untuk mengurus rakyat mati pada hari kematiannya, sementara dia menipu rakyat, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga.” (HR Muslim)
Janji-janji politik yang diobral itu biasanya berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan rakyat, pemenuhan berbagai kebutuhan mereka dan realisasi berbagai pelayanan terhadap mereka. Artinya, janji-janji itu adalah janji-janji yang terkait ri’ayah (pengurusan dan pelayanan rakyat).
Jika janji-janji ri’ayah itu hanya diobral oleh para politisi dan penguasa tanpa upaya keras untuk merealisasikannya, maka bisa dikatakan mereka bukanlah politisi sejati dalam pandangan Islam.
Politisi Islam sejati yang tidak suka obral janji dan berkomitmen untuk menunaikan tanggung jawab politiknya, yakni mengurus urusan umat (ri’ayah syu’unil ummah) hanya akan terwujud dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam, ri’ayah adalah tuntutan syariah. Dengan begitu maka kehidupan rakyat akan senantiasa mendapat limpahan berkah.
Namun, semua itu tidak akan pernah terwujud kecuali umat Islam melakukan langkah-langkah nyata untuk meninggalkan sistem demokrasi dan menegakkan sistem Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam sistem Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Wallahu a’lam bish shawab.
OOY SUMINI